SUAKAONLINE.COM – Aksi kamisan kembali digelar di Taman Rektorat UIN SGD Bandung, Kamis (19/4/2018). Aksi kamisan yang ke delapan tersebut digelar dengan membahas intimidasi oleh aparat kepada warga dan jurnalis. Menurut koordinasi aksi, Bagus aksi kamisan ini tidak hanya diperuntukkan bagi mahasiswa UIN Bandung saja, tetapi siapapun boleh ikut berorasi di aksi tersebut.
Seperti yang diketahui bahwa dewasa ini banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap warga maupun jurnalis, seperti kasus yang baru terjadi yaitu pemukulan oleh aparat terhadap warga Tamansari dan jurnalis LPM Suaka, Muhamad Iqbal saat aksi demonstrasi warga Tamansari di depan Balai Kota (Balkot) Bandung pada Kamis (12/4/2018) lalu. Hal tersebut banyak menimbulkan aksi-aksi solidaritas yang salah satunya aksi kamisan ini.
Dalam orasinya, Bagus mengatakan bahwa deklarasi Kota Bandung anti hoax adalah bohong, karena dengan adanya kasus kekerasan polisi terhadap Iqbal dengan meminta Iqbal untuk menghapus foto yang sudah diambilnya, itu merupakan salah satu bentuk kebohongan dan menutupi apa yang sudah dilakukan oleh aparat. “Kita jangan tinggal diam, kalau kita diam bisa saja kasus seperti ini bisa menimpa kita selanjutnya. Maka lawan dan jangan diam!,” ujar Bagus dengan lantang.
Selain itu, Bagus juga mengatakan bahwa polisi seharusnya mengawal aksi massa sama seperti mengawal presiden. Di mana polisi selalu setia berada di samping presiden dan mengamankan presiden, begitu pula seharusnya polisi mengawal aksi massa; mengawal, mengamankan, dan menjaga massa dan mahasiswa yang melakukan aksi, bukan malah sebaliknya.
Tak hanya Bagus, mahasiswa jurusan Sejarah Peradaban Islam semester 6, Diana, ikut menyampaikan orasi dan menceritakan kejadian saat ia mengikuti aksi pada 12 April lalu. “Tak hanya warga dan jurnalis yang diintimidasi pada aksi 12 April lalu, tapi banyak juga sebenernya kawan-kawan dari universitas yang diintimidasi, dipukuli, ditampar pada saat itu. Ah! Pokoknya miris kalau polisi bilang polisi juga manusia yang gak mau diperlakukan seperti itu oleh masyarakat, tetapi malah polisi duluan yang mulai kekerasan pada aksi saat itu,” pungkas Diana dengan nada sedikit tinggi.
Senada dengan Diana, peserta aksi lainnya, Ridwan juga berorasi seperti Diana. Dia yang berada langsung pada aksi di depan Balkot itu mengatakan bahwa slogan ‘mengayomi masyarakat’ itu tidak benar, karena pada aksi itu banyak rakyat yang ditendangi, dipukuli, bahkan berdarah-darah. Ridwan juga meminta agar seluruh mahasiswa dapat bersatu dan melawan agar tidak ada lagi kekerasan terhadap rakyat dan terhadap jurnalis yang tugasnya mencari dan menyebarkan informasi kepada khalayak tetapi dicegah oleh aparat.
Sebelum kasus yang menimpa Iqbal dan warga di Balai Kota, kekerasan terhadap jurnalis dan warga pun sudah terjadi pada saat aksi di Tamansari yang terjadi hingga malam hari. Hal itu disampaikan oleh Arif, mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam semester 6 yang berada langsung di tempat kejadian. Di sana saat warga akan mundur dan membubarkan diri tapi malah ditahan oleh aparat dan didorong serta dilontarkan kata-kata kasar. Tak hanya itu, banyak media-media yang diminta dengan paksa agar menutup kameranya oleh aparat dengan ancaman kalau tidak mau menutup kameranya maka akan diambil paksa kamera tersebut.
“Bahkan ada kawan kita dari UIN juga yang ikut aksi sampai ditarik dan diseret oleh aparat, dan saya salut dengan Iqbal, meskipun dia cuma jurnalis kampus tapi itu bagus dan berani, itu juga bisa jadi cerminan buat jurnalis-jurnalis lain. Karena ada beberapa jurnalis juga yang kadang ada keberpihakkan dan Iqbal ini bisa jadi cerminan buat jurnalis-jurnalis media lain,” tutupnya.
Reporter : Rizky Syahaqy/ Magang
Redaktur : Muhamad Emiriza