SUAKAONLINE.COM – Menghentikan stigma dan stereotip terhadap korban kekerasan seksual sangat diperlukan. Penekanan pada masyarakat bahwa setiap tindak kekerasan termasuk kekerasan seksual adalah kejahatan. Negara berperan dalam membuat kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, mencabut kebijakan yang diskriminatif dan harus memberikan pendidikan seksual secara komprehensif.
Kalimat tersebut muncul atas kekhawatiran pada seminar nasional bertema Kekerasan Seksual dan Diskriminasi Dunia Kerja yang digelar oleh Organisasi Perempuan Mahardika di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Selasa (27/11/2018). Menghadirkan tiga pemateri yaitu Komisioner Komnas Perempuan, Yunyanti Chuzaifah, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos dan Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (Sindikasi), Ellena Ekarahendy.
Menurut Yunyanti Chuaifah organisasi merupakan wadah untuk perempuan berlindung dan bernaungan sehingga memiliki satu visi yang sama. Yunyanti menjelaskan kondisi ini dalam perspektif sejarah. Ia berkisah tentang organisasi perempuan pada masa orde baru banyak dikekang oleh pemerintah. Sementara hari ini jangan sampai kondisi rezim atau kondisi politik menghentikan semangat- semangat dalam berorganisasi.
“Tantangan kita dalam berorganisasi itu pasti beragam, perempuan berhak mengikuti organisasi apapun baik itu kecil maupun besar, tapi permasalahannya adalah jangan namanya organisasi perempuan tapi sebetulnya tidak ramah terhadap perempuan,” tutur Yulyanti. Dengan organisasi perempuan utamakan kekompakan pada visi yang penting, lanjut Yulyanti visi merupakan salah satu jalan agar organisasi perempuan tidak gampang terkontaminasi hal-hal eksternal yang berbau politik praktis.
Hal yang serupa juga disampaikan oleh Nining Elitos dalam beberapa kasus yang dia amati, kekerasan berbasis gender berupa pelecehan seksual di tempat kerja rata-rata buruh perempuan tidak mau melapor karena takut kehilangan pekerjaan, “Permasalahan pada buruh perempuan sangatlah beragam seperti mereka wajib memenuhi target produksi tertentu, mereka tidak mendapat uang insentif dan lain sebagainya,” ujar Nining Elitos saat menjadi pemateri kedua.
Ia menambahkan bahwa posisi buruh perempuan yang secara individual lemah terpaksa membiasakan diri untuk mengerjakan pekerjaan tersebut. Dalam situasi semacam ini buruh perempuan membutuhkan bantuan sebuah organiasi buruh yang kuat dan berpihak kepada buruh perempuan sehingga dapat membangun hubungan industrial yang lebih adil, lanjut Nining.
Berbeda halnya pada pola kekerasan seksual di industri kreatif, Ellena Ekarahendy mengatakan bahwa, relasi di industri kreatif bagi pekerja baru akan sangat mengenal istilah senior atau junior dan yang pasti pekerja baru tersebut akan mengenal sosok yang harus menjadi sebuah panutan dan rata-rata seorang panutannya itu laki-laki.
“Pada pekerja media khususnya, tempat kerjaan mereka meluas tidak hanya dikantor saja tapi ditempat mereka liputan kadang suka mendapan kekerasan seksual, pernah ada suatu kasus yang dia bercerita kepada saya ketika sedang liputan aksi payudaranya diremas dan kakinya diinjak menggunakan sepatu pantopel laki-laki yang sangat berat itu,” ujar Ellena sembari meneruskan cerita tersebut.
Mahasiswa Insitut Kesenian Jakarta, Zahra mengungkapkan bahwa kekerasan seksual adalah masalah bersama yang harus diakhiri sekarang juga, bukan hanya dikalangan pekerja ditingkat universitas sudah banyak sekali kejadian kekerasan seperti ini, “Sebenarnya kasus pelecehan seksual ini bagaikan fenomena gunung es, yang terlihat kecil tetapi didalmnya sangat dalam sekali,” ujarnya.
“Dukungan support dan pemberian pendidikan sangat penting bagi kita semua agar para korban berani melapor jika merasa dilecehkan, saya pribadi sangat senang sebagai relawan untuk menerima aduan dari para korban pelecehan seksual agar kita semua dapat mengawal isu ini bersama,” pungkas Mahasiswi jurusan teater semester tujuh.
Reporter : Fani Nabilah Farsi
Redaktur : Muhamad Emiriza