SUAKAONLINE.COM – Memperingati 90 tahun kongres perempuan Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Perempuan Mahardhika, RVN dan Radio Marsinah menggelar opera bertajuk “Derap Perempuan Membangun Bangsa Melawan Penyingkiran” di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Minggu, (24/12/2018).
“Bahkan ketika negara belum jujur menghidupkan sejarah perempuan. Rebut kembali sejarah gerakan perempuan! Rebut kembali sejarah pergerakan perempuan!” Tegas Jumisih ketua Forum Buruh Lintas Pabrik saat memberi sambutan sebelum opera dimulai.
Jumisih mengutarakan “Acara hari ini mengenang kembali tonggak-tonggak penting dan pergerakan perempuan. Kami sengaja menjahit acara ini untuk tidak sepi dengan nuansa santai, akan dihiasi dengan dangdut koplo, bahkan kami menyebutnya bukan konferensi pekerja yang diselingi seni tapi seni yang diselingi konferensi buruh perempuan pekerja dalam opera buruh perempuan”
Ia menambahkan bahwa organisasi perempuan telah lantang menyuarakan bahwa perempuan harus merdeka dengan sepenuhnya sebagaimana kaum laki-laki. 90 tahun [setelah] kongres perempuan belum mendapat kesetaraan Jumisih menyebutnya penyingkiran perempuan.
Opera sebagai Bentuk Perlawanan
Opera terdiri dari empat babak, babak pertama bertajuk poligami dan perjanjian nikah. Kedua dengan tema organisasi dan pergerakan perempuan, ketiga pendidikan dan perkawinan anak, keempat hak perempuan di tempat kerja. Tiap babaknya tidak kurang dari 15 menit diselingi dengan iringan dangdut koplo dan diakhiri dengan pembacaan kitab sejarah
Opera dibuka dengan lantunan lagu Ibu Kita Kartini oleh dua sinden. Selanjutnya, dipandu Dalang Teteh dan Kakak Dalang yang mengatur jalanya opera. Selain opera yang disajikan ada spot khusus Kitab Sejarah, mengulas bagaimana sejarah berbicara atas kiprah-kiprah perempuan. Kitab sejarah itu dibacakan oleh Dian Trisentati.
Sebelum memasuki pertunjukkan kedua dalang itu membawa caping. Simbol perlawanan ketika perempuan memperjuangkan hak-haknya. Kongres perempuan pertama belum ada perwakilan dari serikat buruh padahal 2 tahun sebelumnya ketika 1926 ada perlawanan massal di Semarang,aksi tersebut mengenakan caping sebagai simbol buruh.
Teteh dalang menuturkan dalam prolognya saat itu tuntunya upah, sistem kerja, perlindungan kerja, penghapusan buruh anak, dan tentang poligami. Selepas aksi tersebut di tahun yang sama ada pemberontakan, banyak aktivis perempuan ditangkap kemudian diasingkan dan dibuang di Budigul. nitu 1926 juga ada pemeberontakan, banyak aktivis perempuan ditangkap, di buang di Budigul itu menjadi alasan mengapa tidak ada pewakilan dari serikat buruh.
Dia adalah Tami, buruh garment yang sedang hamil anak ketiga, usia kandunganya 3 bulan. Suaminya Bagyo seorang sopir truk. Ia memulai bercerita tentang kisah cintanya di masa lalu. Atasanya di pabrik mendekatinya, orangnya bersih, berkumis tipis, tapi kalau ngomong agak mesum dan ia risih. “Di Whatsapp chat aku cuekin ditelfon ngga aku angkat. Untung di awal kerja aku sudah kenal serikat jadi aku lebih waspada. ” Belum berhenti sampai sana ia mendapat penawaran menjadi buruh tetap dengan syarat harus mau menjadi istri kontrak. Ia lantas marah dan membentak atasanya terebut “Emang aku perempuan apaan!” lalu kontraknya tidak di perpanjang.
Tempat ia ngekos pun tak jauh beda. Tami diiming-imingi fasilitas dengan memberinya kalung emas, AC di kamarnya asal ia mau menjadi istri kedua, ia menolak. Sebab kepuitisan Bagyo ia menerima pinangan dan menikahinya dengan membuat surat perjanjian bermaterai salah satu isinya bebas beraktivitas dan berkembang. Jadilah ia pasangan aktivis, Tami menjadi ketua serikat buruh dan Bagyo menjadi ketua serikat sopir.
Mereka juga menyatir dalam opera babak kedua pentingnya organisasi dan pergerakan perempuan. Salah satu pemain yang ingin pensiun dari bajak laut lantaran merasa berdosa karena jauh dari rumah dan tidak bisa berbagi peran dengan istrinya. Ia mengungkapkan sambil ketakutan “Aku harus kerja yang nggak lama ninggalin rumah. Harus gantian jaga anak di rumah. ” Istrinya selain bekerja di pabrik juga tergabung dalam serikat, ia ingin mengikuti jejak istrinnya mau belajar dan berjuang melalui organisasi.
Hal lain yang tak kalah penting disampaian dalam babak ketiga adalah pendidikan dan kawin anak. Ketika penjual jamu tengah menawarkan jamunya . Datanglah seorang perempuan buruh yang dilema ditinggal pacarnya lantaran ia mengambil keputusan untuk kursus menyanyi. Sayangnya, keputusan itu tidak didukung oleh kekasinya.
“Jadi perempuan harus kuat dan percaya diri. Perempuan banyak beban bahaya kalau gampang galau. Petuah Mbok Jamu Merasa ketika muda tidak memiliki kesempatan makla ia tak membiarkan anak-anaknya mengalami apa yang ia arsakan anpa pendidikan.”
Ia menambahkan “Karena pengetahuan sebagai bekal hidup. Selain pendidikan yang dibutuhkan adalah kesempatan berkarya. Masih banyak perempuan yang belum mendapat kesempatan bekerja di luar rumah.”
Belum selesai menghadapi masalah pribadinya, adik dari perempuan itu memesan jamu agar dewasa lebih cepat. Sontak ia dan Mbok Jamu marah terlbeih mendengar alasan keinginanya yang ingin menikah di uisa dini yang belum cukup memenuhi persyaratan dari segi usia.
Berbicara masalah hak perempuan di tempat kerja, diceritakan pula oleh seorang petani yang kerap mendengar keluh-kesah istrinya. Seorang buruh tani yang memiliki istri bekerja di buruh pabrik. Setiap pulang menceritakan masalahnya di pabrik. Bahkan untuk cuti haid saja tidak bisa. Ketika hari Ibu, ia mengirimkan sebuah puisi untuk istrinya. Salah satu penggalan puisi dalam bait-baitinya
Kita tahu negara tanpa buruh runtuh /Maka kita berani yakin dan menang /Maka kita tidak perlu ragu /Di pabrik buruh ibu tanpa jaminan/Di kantor buruh ibu dijucilkan /Di tortoar buruh ibu kakinya memar/Di semua tempat kerja buruh ibu sakit hati /Di semua tempat tak boleh menyusui.
Reporter : Anisa Dewi Anggriaeni
Readaktur : Muhamad Emiriza