Rekam jejak kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis yang dilakukan oleh aparat semakin meningkat. Rekan-rekan jurnalis pers mahasiswa (persma) dan aktivis lainnya terus saja dibuat gusar oleh perilaku intimidatif yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada jurnalis saat melakukan tugas jurnalistiknya.
Senin 7 Januari 2019, sekira pukul 13.30, Citra Maudy tiba di kantor Polda Provinsi D.I. Yogyakarta. Ia diperiksa oleh penyidik sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan kepada Agni yang dilaporkan oleh Arif Nurcahyo, Kepala Satuan Keamanan Kampus Universitas Gadjah Mada (SKK UGM). Menurut penyidik, laporan ini mendasarkan pada berita berjudul Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan yang diterbitkan Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung di situs web http://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/, sehingga jurnalis BPPM Balairung tersebut dirasa perlu untuk dimintai keterangan. Namun, terhadap pemanggilan tersebut, kami nilai ada hal yang ganjil.
Saat Citra diperiksa, penyidik justru banyak mengulik isi berita dan proses reportase/liputan yang dilakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang garis besarnya seperti, siapa saja narasumber yang ditemui, di mana menjumpainya, apa yang disampaikan si narasumber hingga pertanyaan aneh: apakah berita ini benar atau hoax, malah dimunculkan oleh penyidik. Sudah barang tentu, materi pertanyaan ini tidak selaras dengan unsur-unsur pasal yang digunakan sebagai basis penyidikan, yakni pasal 285 dan pasal 289 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara, penting diketahui, dalam kasus Agni, posisi BPPM Balairung hanya sebagai pewarta yang mencari berita, yang kerjanya terikat dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal 4 ayat 4 UU 40/1999 sudah terang dinyatakan, dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan punya hak tolak. Tujuan utama hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Serupa dengan pasal 4 ayat4, di dalam Pasal 7 KEJ juga sudah memberikan batasan bagi jurnalis, di mana jurnalis punya hak tolak. Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya. Namun polisi tampaknya abai terhadap ketentuan ini.
Kesan hendak mempersoalkan BPPM Balairung makin nampak dari pernyataan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Provinsi DIY, Kombes Hadi Utomo. Seperti dimuat https://kumparan.com/@kumparannews/penulis-nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan-diperiksa-polisi-1546859150423335320?ref=rel, ia mengatakan institusinya memeriksa Balairung Press lantaran ada indikasi berita bohong dengan nomenklatur kalimat pemerkosaan. “Kami akan panggil, mereka-mereka itu kok bisa menemukan nomenklatur pemerkosaan itu dari mana,” ujar Hadi. “Ini yang sebenarnya mau kami ungkap. Kalau faktanya tidak benar jangan disebar-sebar itu apa bedanya dengan hoax.” Pernyataan ini tentu jauh dari unsur-unsur perbuatan pemerkosaan dan pencabulan yang dilaporkan Arif Nurcahyo. Padahal, laporan tersebutlah yang dijadikan sebagai salah satu dasar pemanggilan Citra Maudy.
Selain itu, bila merujuk pada berita Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan tersebut, frasa perkosaan yang digunakan sudah sesuai dengan definisi yang dirilis oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan. Dalam buklet “15 Bentuk Kekerasan Seksual” yang dirilis di laman Komnas Perempuan, perkosaan dapat diidentifikasi dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis ke arah vagina, anus, maupun mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan. Definisi tersebut dapat diakses oleh publik melalui laman Komnas Perempuan. Lima belas bentuk kekerasan seksual tersebut juga masuk dalam salah satu agenda advokasi yang sedang berusaha diperjuangkan melalui Rancangan Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Maka, penggunaan definisi tersebut oleh BPPM Balairung, kami nilai sebagai salah satu langkah untuk mengenalkan perspektif tersebut kepada masyarakat. Bukan menyebarkan berita bohong atau hoax.
Bertolak dari keganjilan itu, kami menengarai ada alamat untuk mengkriminalisasi wartawan BPPM Balairung. Bila memang demikian, UGM betul-betul melakukan kesalahan fatal dengan mencelakakan mahasiswanya sendiri yang telah mengungkap kebenaran lewat kerja jurnalistik. Pun demikian dengan polisi. Bilamana polisi sampai memasalahkan bahkan mengkriminalkan jurnalis BPPM Balairung, karuan saja akan semakin mencederai nilai demokrasi yang tumbuh dan hidup di Indonesia.
Perlu digarisbawahi, kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Sehingga, pemberitaan BPPM Balairung adalah bagian dari pengejawantahan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam pasal 28E ayat 3 Undang – Undang Dasar 1945. Di samping itu, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 4 ayat 1 UU 40/1999 pun sudah menegaskan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Yang dimaksud dengan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Berlandaskan pada spirit menegakkan keadilan dan kebenaran itulah, berita berjudul Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan terbit. Sehingga tak patutlah polisi menyerang pemberitaan BPPM Balairung dengan memunculkan kesan ‘berita bohong’, terlebih bila memiliki pretensi hendak mengkriminalkan jurnalisnya. Kami meyakini bahwasanya berita tersebut merupakan buah karya dari kerja jurnalistik yang mana ia harus dilindungi dari tindak-tanduk anti demokrasi yang agaknya ingin menutupi kebenaran.
Berangkat dari pembacaan di atas, kami atas nama Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB) menyatakan sikap:
1. Menolak segala upaya pengaburan isu penyelesaian kasus kekerasan seksual di UGM;
2. Menuntut pihak-pihak berkepentingan untuk menuntaskan kasus Agni;
3. Mengecam keras intimidasi dan kriminalisasi terhadap kerja-kerja yang dilakukan jurnalis pers mahasiswa;
4. Menolak kriminalisasi terhadap jurnalis BPPM Balairung;
5. Menuntut aparat dan pihak kampus untuk menghormati dan melindungi jurnalis yang tengah melakukan tugas jurnalistik sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
6. Mendesak Rektor UGM untuk melindungi penyintas dan pihak-pihak yang melakukan kerja-kerja pengungkapan kasus kekerasan seksual di UGM.