oleh: Abdul Azis Said
Dalam tulisan ini penulis mencoba menguraikan sejumlah keresahannya tentang perubahan gaya hidup mahasiswa yang makin mendewakan keindahan yang penuh dosa. Terutama dalam urusan mode yang telah tumbuh pesat, yang mana industri jahit-menjahit adalah kunci atas perekonomian dan kebutuhan sandang manusia. Sementara itu, mahasiswa justru ikut terjebak ke dalam maksiat sosial lewat budaya fesyen yang tidak beretika atau fast fashion. Istilah ini merujuk pada pola hidup era kekinian yang gemar gonta-ganti pakaian baru dalam waktu yang cepat.
Dimana titik persoalannya? Ada pada mahasiswa itu sendiri. Insan muda dengan gairah kecintaan pada mode yang tinggi dibumbui rasa gengsi, mahasiswa adalah satu bagian penting dari rantai konsumsi pakaian dunia. Ini ada kaitannya dengan tren berbusana ala anak muda yang begitu cepat berganti, walhasil adanya hasrat untuk memperbarui isi lemari sudah seperti sebuah kewajiban. Padahal tidak ada adab yang baik dari belanja baju baru secara terus-terusan, melainkan biaya mahal yang harus dibayar atas masalah lingkungan dan kemanusiaan.
Selain itu, kehadiran sistem belanja online adalah pengacau utamanya. Pengalaman belanja baju baru secara instan, potongan harga yang super murah, gratis ongkos kirim sehingga tingkat konsumsi mahasiswa terhadap produk pakaian baru ikut meningkat. Alih-alih melakukan diet sampah, kebiasan ini justru menjadi penyebab utama tingginya timbunan sampah tekstil di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Tingginya konsumsi pakaian baru memacu pabrik-pabrik bekerja ekstra untuk memenuhi tingginya permintaan. Ini berpengaruh terhadap meningkatnya kebutuhan atas energi untuk menggerakkan mesin-mesin produksi, yang mana zat sisa pembakarannya makin masif di lepas ke atmosfer bumi. Selain itu intensitas pembuangan zat kimia bekas produksi ke perairan makin sering, termasuk pula dampaknya bagi bencana kekeringan di wilayah sekitar pabrik. Belum lagi serat sintetis pakaian yang banyak diambil dari bahan plastik poliester menyisakan jejak karbon yang dua kali lebih bersifat destruktif ketimbang serat alami. Sehingga tiap-tiap baju bekas tak terpakai yang dibuang di tempat sampah atau dibakar juga ikut memperpendek umur bumi.
Dampak Sosial: Fast Fashion Berkontribusi terhadap Banyaknya Pelanggaran terhadap Buruh
Lebih kompleks lagi, fast fashion bukan hanya kabar buruk bagi lingkungan tapi juga malapetaka bagi industri pengolahan pakaian. Masalah ini bersilang sengkarut dengan persoalan kemanusiaan, yang mana berdasarkan data International Labour Organisation (ILO) pada tahun 2014, industri mode dan alas kaki adalah sumber penghidupan bagi lebih dari 60 juta penduduk dunia. Sehingga sulit jika tidak menyebut ada banyak masalah sosial menyangkut buruh di pabrik-pabrik produksi garmen.
Beberapa negara berkembang di Asia adalah rumah bagi pabrik-pabrik produsen pakaian branded yang banyak dipakai mahasiswa. Merek pakaian pakaian mahal seperti Uniqlo dan GAP bahkan pemasoknya adalah pabrik-pabrik di Indonesia, baju-baju H&M adalah hasil kerja buruh di Bangladesh yang terkenal sebagai salah satu negara eksportir garmen terbesar dunia dengan sekian banyak persoalannya yang menyangkut buruh dan lingkungan.
Tragedi Rana Plaza di Bangladesh pada April 2013 menjadi alarm paling kuat yang mengingatkan umat manusia perihal dampak buruk fast fashion, meski sebenanrnya selama kurun 2005-2016, Reuters merincikan ada 11 kecelakan kerja berskala besar di industri garmen Bangladesh. Runtuhnya bangunan delapan lantai tersebut merupakan pukulan telak terhadap industri mode dunia. Kecelakaan kerja yang menewaskan lebih dari 1.100 buruh ini mendorong digalakkannya revolusi fesyen, sebuah tuntutan agar pebisnis fesyen besar dunia mengevaluasi rantai pasok mereka.
Masa lalu kelam runtuhnya Rana Plaza adalah satu bukti buruknya pengelolaan dan layanan yang didapatkan oleh pekerja di kebanyakan pabrik pakaian. Standar kerja berupa ketentuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) kerap kali dilewatkan, sehingga absennya jaminan keselamatan kerja menghadirkan perasaan was-was jika sewaktu-waktu bencana Rana Plaza jilid dua mungkin akan menyusul. Tidak terkecuali pekerja Indonesia, karena berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, sepanjang 2018 sedikitnya ada 173.105 kasus kecelakaan kerja yang dilaporkan, dan dari keseluruhan didominasi oleh sektor pabrik.
Bukan hanya itu, gemerlap parade fesyen di Paris, Milan hingga baju-baju yang menyentuh peradaban kosmopolitan saat ini adalah hasil kerja perempuan-perempuan buruh di pabrik garmen di Bangladesh, anak-anak di India dan negara-negara berkembang lainnya sebagai pabrik pemintal benang berharga murah. Siapa sangka disinilah permulaan istilah baru perbudakan modern, sebuah sistem kerja tidak manusiawi yang menjadi rahasia umum banyak terjadi di pabrik-pabrik garmen.
Akibat fast fashion jugalah buruh di banyak pabrik menghadapi aturan waktu kerja yang tidak jelas akibat target produksi yang fantastis. Seperti kabar miris tentang kehidupan buruh di kota Leicester, pusat garmen terbesar di Inggris. Berdasarkan laporan House of Commons United Kingdom pada awal tahun 2019, setidaknya ada 10 ribu pekerja di industri garmen yang tersebar di 700 pabrik. Dalam seminggu pabrik-pabrik tersebut memproduksi hingga 1 juta item pakaian untuk peritel online saja. Sehingga jika diasumsikan semuanya adalah buruh produksi yang bekerja selama seminggu penuh, setiap buruh punya target 14-15 pakaian baru dalam sehari.
BBC juga pernah melaporkan temuan investigasinya terkait jam kerja yang tidak manusiawi dan melibatkan pekerja anak-anak di Turki, yang bekerja untuk dua perusahaan mode terkenal Inggris, Marks & Spencer dan ASOS. Anak-anak tersebut kebanyakan berusia 7 hingga 8 tahun yang diperintahkan menjahit celana dengan waktu kerja hingga 60 jam perminggu, bahkan kabarnya pabrik-pabrik tersebut melarang mereka untuk bersekolah.
Meski dalam hitung-hitungan ekonomi makro meningkatnya permintaan produksi sering kali mejadi bobot yang baik untuk mengukur kuatnya pasar domestik, namun ini bukan sepenuhnya berkah. Karena praktik kapitalisasi keuntungan oleh pemilik bisnis kerap kali menyendat distribusi keuntungan yang berakibat pada konglomerasi. Sehingga tak heran mengapa Bernard Arnault, pemilik dari brand Louis Vuitton (LVMH) berhasil naik banyak ke peringkat tiga sebagai orang terkaya dunia. Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa buruh-buruh pabrik dari rantai pasok produk mewah Louis Vuitton memiliki kesejahteraan yang layak, lagi-lagi persoalannya ialah distribusi kekayaan yang tidak adil.
Target produksi, waktu kerja dan gaji buruh berjalin kelindan, sehingga isu krusial terkait persoalan buruh pabrik kebanyakan menyangkut upah yang tidak realistis. Dalam sebuah investigasi yang dilakukan oleh sebuah surat kabar lokal Inggris, pabrik-pabrik garmen di Leicester bahkan tidak membayar buruhnya sampai pada setengah dari upah minimum nasional. Dari standar minimum gaji 7,83 Poundsterling per jam sepanjang tahun 2018 hingga awal 2019, rata-rata pekerja hanya diupahi 3,5-4 Poundsterling. Meski masih terhitung besar, ini tidak mengabaikan fakta bahwa perusahaan-perusahaan di negara maju sekalipun tidak patuh aturan.
Lebih parahnya kekacauan pada industri ini sepertinya sistemik, karena masih banyak pemilik pabrik yang tidak permisif menyangkut hak-hak pekerjanya. Sehingga kesewenang-wenangan membuat banyak pekerja tidak punya akses dalam menegosiasikan masalah gaji dan waktu kerja. Bahkan tidak sedikit pabrik-pabrik yang masih membatasi pekerjanya untuk terlibat dalam aliansi atau serikat pekerja. Sehingga secara tidak langsung, mahasiswa yang mendewakan fast fashion justru mendukung masifnya perbudakan di rumah-rumah produksi pakaian.
Selain pelanggaran terhadap hak pekerja, industri garmen adalah gerbang bagi pekerja ilegal. Apalagi kawasan industri besar yang sudah tersentralisasi seperti di Leicester, kota Dhaka di Bangladesh, dan kota-kota pusat pabrik pakaian di India, isu-isu terkait distribusi pekerja adalah persoalan fundamental. Pabrik-pabrik yang besar membutuhkan pekerja-pekerja yang banyak, sehingga memungkinkan adanya migrasi dan pemindahan manusia dari daerah yang minim lapangan kerja ke pusat-pusat pabrik.
Sayangnya, tidak sedikit pemilik pabrik yang menerapkan praktek nakal menyeleksi pekerja dengan kualifikasi ‘rela’ digaji murah, sehingga membuka potensi adanya tindak kejahatan perdagangan manusia. Ini bukanlah histeria semata tentang gelapnya industri garmen, karena sebuah laporan yang dirilis oleh Center for Intelligence-Led Prevention (CfILP) tahun lalu, mengidentifikasi Leicester sebagai salah satu hotspot perdagangan manusia. Kemana larinya pekerja-pekerja illegal tersebut kalau bukan ke pabrik-pabrik pakaian, karena siang malam produksi pakaian tersebut adalah untuk mencapai target jutaan item pakaian baru penikmat fast fashion.
Isu menyangkut perbudakan dan penggaran HAM dalam industri mode bahkan sampai ke gedung kamp-kamp pendisiplinan muslim Uighur di Xinjiang Cina yang pertama kali terungkap pada Desember 2018 lalu. Merek pakaian ternama asal Amerika, Badger Sportswear pada akhirnya tergiur biaya pekerja yang murah di negeri-negeri timur khususnya Cina dengan mempekerjakan muslim Uighur di dalam kamp pendisiplinan. Ini adalah konsekuensi dari meningkatnya permintaan produksi atas baju-baju murah, sementara banyak perusahaan-perusahaan mode yang mengejar profit sebesar-besarnya sekalipun itu melanggengkan pelanggaran HAM.
Dampak Sosial: Ketimpangan Gender hingga Menguatnya Sentimen Negara Miskin dan Negara Kaya
Sadar atau tidak mayoritas pemilik perusahaan mode besar dunia adalah laki-laki. CEO dari perusahaan mode sekelas LV, Gucci, Adidas, Zara, H&M, Uniqlo, GAP, semuanya adalah laki-laki. Sementara di garda terbawah, buruh-buruk produksi didominasi oleh kelompok perempuan. Bahkan berdasarkan data BPS tahun 2016, perempuan mendominasi jumlah pekerja di pabrik garmen yang angkanya hampir 2,5 juta pekerja perempuan. Sehingga agaknya tidak berlebihan jika dunia fesyen dilumuri oleh nilai-nilai patriarki yang kental, kelompok laki-laki tampil sebagai pemain dominan yang punya kuasa lebih menggerakkan pasar.
Meski begitu sebenanrnya bukan masalah siapa yang lebih banyak menjadi penguasa, melainkan siapa yang lebih memiliki kuasa atas kebijakan kerja. Perihal jaminan terhadap pekerja perempuan termasuk perlindungan dari ancaman kekerasan seksual tidak akan terwakilkan lewat mulut-mulut laki-laki pemilik perusahaan yang patriarki, ini karena buruh produksi perempuan berada pada posisi tawar yang lemah untuk menegosiasikan hak-hak mereka.
Ketimpangan gender yang lebih parah juga masih terus diproduksi lewat budaya Sumangali yang banyak terjadi di pabrik-pabrik tekstil India. Budaya kerja tersebut bertanggungjawab atas tingginya pelanggaran terhadap hak-hak anak di India. Pekerja perempuan di bawah umur tersebut kerap terikat kontrak berjangka panjang hingga bertahun-tahun atas inisiatif orang tuanya. Anak-anak tumbuh besar untuk diperas keringatnya, bahkan tak jarang mereka adalah korban pelecehan yang dilakukan oleh pemilik pabrik.
Kabarnya anak-anak perempuan itu juga dinikahkan paksa oleh orang tuanya agar bisa bekerja dan menjadi istri dari pemilik pabrik, yang lagi-lagi di bawah sebuah kontrak kesepakatan. Sehingga bisa dibayangkan betapa nistanya setiap untaian benang yang terpajang di banyak mal mewah dunia adalah jerih payah anak-anak perempuan di India. Produk atas pelanggaran kerja lewat tekanan secara fisik juga mental akibat sistem industri yang telah mengakar darah-darah patriarki.
Selain itu, Fast fashion juga mengorbankan banyak hal dari negara-negara berkembang menyangkut pemerataan pertumbuhan dunia. Bangladesh, Pakistan, Myanmar, Kamboja dan negara-negara berkembang lainnya masih menghadapi pertumbuhan yang lambat meskipun di negara tersebutlah pakaian berharga mahal dunia berasal. Sementara pajak yang lebih besar justru mengalir ke kas negara-negara maju lewat gerai-gerai yang didirikan oleh perusahaan mode yang menjadi pengecer.
Dalam laporan House of Commons United Kingdom juga mengungkapkan bahwa banyak pengecer online di Inggris yang kerap kali melakukan seleksi yang tidak adil, dengan mematok harga beli yang murah kepada pabrik-pabrik garmen kecil. Sehingga ujung-ujungnya memaksa pabrik menekan biaya produksi dengan cara memangkas gaji buruh menjadi lebih murah. Sebenarnya dari sinilah salah satu cara mengapa banyak pengecer online bisa menjajakan pakaiannya super murah dengan diskon.
Sementara itu, pemerintah Indonesia saat ini dan di waktu mendatang akan terus bersaing menggaet investor. Dengan cara menggadaikan kesejahteraan pekerja terutama di sektor produksi, lewat terbitan regulasi yang katanya untuk ‘mempermudah’ investasi namun tidak pro-buruh. Ini adalah masalah yang rumit, sehinga sangat disayangkan jika banyak mahasiswa yang hanya berkoar menyoal nasionalisme dan kesejahteraan buruh, sementara pola konsumsi kebanyakan dari kita masih menyuburkan adanya perbudakan di pabrik-pabrik produksi.
Langkah paling tepat yang harus mahasiswa lakukan ialah berpikir realistis, pakain murah diproduksi lewat modal yang kecil yang jaminanya adalah upah dan hak-hak pekerja. Berhasil membeli satu set pakaian murah di situs belanja online lewat diskon bukanlah pencapaian yang patut diapresiasi, melainkan pertanyaan darimana sisa uang yang harus dibayarkan itu diambil. Selain itu, penting pula menerapkan diet sampah tekstil demi mengontrol dampak negatifnya terhadap lingkungan. Etika berbusana salah satunya bisa disalurkan lewat tren belanja pakaian thrifter atau secondhand.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Semester 6 dan pengurus bidang Riset, Data dan Informasi LPM Suaka.