SUAKAONLINE.COM – Salah satu anggota jurnalis Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Progress Universitas Indraprasta (Unindra) menerima kekerasan setelah menulis opini berjudul “Sesat Berpikir Kanda HMI dalam Menyikapi Omnibus Law”. Tulisan tersebut merupakan sebuah kritik terhadap HMI yang mendorong DPR untuk mengesahkan Omnibus Law. Inisial penulis opini yang dimuat pada Jumat (20/3/2020), ARM menerima kekerasan dari oknum yang mengaku sebagai kader HMI Komisariat Perisapan FTMIPA Unindra.
Mulanya, Sabtu (21/3/2020), oknum HMI menyambangi kosan Pemimpin Umum LPM Progress, YF, yang sebelumnya dijadikan Sekretariat LPM Progress. Lalu oknum tersebut mulai mengintervensi dan meminta agar tulisan yang telah dimuat untuk segera dihapus dan meminta ARM segera datang pada malam tersebut. YF menghubungi ARM dan berjanji akan bertemu kembali pada Minggu (22/3/2020) pukul 12.00. ARM tiba pukul 15.00, dan telah berkoordinasi dengan salah satu oknum HMI agar pertemuan berlangsung pada pukul 19.00 di Kampus B Unindra, ARM diminta datang bersama YF.
Pukul 19.00, keduanya pun bertemu untuk membicarakan tulisan yang ditulis ARM. LPM Progress menawarkan hak jawab dengan memberikan ruang kepada HMI Komisariat Perisapan Unindra untuk membantah tulisan yang diterbitkan oleh LPM Progress. Namun, diskusi pun mulai memanas dan kembali menuai ancaman kepada ARM. Salah satu oknum tersebut pun mengatakan dirinya akan membawa parang, tak lama kemudian ARM pun diserang dari arah belakang oleh oknum HMI.
Beberapa rekan ARM yang melihat kejadian tersebut pun mencoba untuk melerai, namun semakin banyaknya orang yang berdatangan membuat perkelahian semakin membabi buta. Dari kejadian tersebut, akibatnya ARM mengalami sobekan pada bibirnya dengan darah terus mengalir. Kini, ARM telah dilarikan ke Rumah Sakit tedekat untuk mendapatkan penanganan yang lebih lanjut.
Melihat kondisi tersebut, LPM Suaka UIN SGD Bandung mengutuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh Oknum HMI Komisariat Perisapan FTMIPA Unindra kepada jurnalis LPM Progress Unindra. Karena perbuatan tersebut tidak mencerminkan seorang mahasiswa. Yang mana seharusnya mahasiswa berperan sebagai Agent of Change, atau penggerak masyarakat untuk melakukan suatu perubahan ke arah yang lebih baik dengan menggunakan gagasan yang dimiliki.
Selain berperan sebagai Agent of Change, mahasiswa pun berperan sebagai Iron Stock, yaitu mahasiswa menjadi generasi penerus bangsa. Kemudian Social Control, mahasiswa diharapkan bisa menjadi pengontrol suatu kehidupan sosial pada masyarakat dengan memberikan saran, kritik, serta solusi untuk suatu permasalahan yang ada. Sebagai kaum yang memiliki kemampuan intelektual, serta memiliki sikap kritis yang tinggi, mahasiswa pun seharusnya bisa menjadi jembatan bagi masyarakat.
Namun, semua peran mahasiswa yang sebagaimana mestinya telah hilang jika dihadapkan dengan problematika yang dilakukan oleh Oknum HMI Komisariat Perisapan FTMIPA. Kendati demikian, sebuah tulisan merupakan bagian dari bentuk berekspresi setiap orang atau suatu cara untuk menyuarakan pendapat, alangkah baiknya dibalas dengan tulisan pula, bukan dibalas dengan kekerasan.
Telah diatur dalam Undang Undang kebebasan berpendapat di muka umum dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagainya ditetapkan dalam undang-undang”. Selain itu kebebasan berekspresi pun merupakan hak setiap individu dari sejak lahir dan telah dijamin secara konstitusi. Kebebasan berfikir dan mengeluarkan pendapat diatur dalam perubahan keempat UUD 1945 Pasal 28 E ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Kemudian, dalam UU Pers Pasal 18 menyebutkan, pihak yang menghalang-halangi tugas seorang jurnalis masuk dalam pelanggaran hukum pidana. Tak berbeda dengan pers pada umumnya, aktivitas pers mahasiswa adalah kerja jurnalistik; mencari, mengumpulkan, mengelola, dan menyampaikan informasi. Dan kebebasan pers hanya omong kosong tanpa ada kebebasan berekspresi. Sedangkan pada Pasal 170 KUHP tentang tindakan kekerasan paling lama lima tahun enam bulan penjara.
Adanya hak jawab yang sebelumnya telah ditawarkan oleh LPM Progress kepada Oknum HMI Komisariat Persiapan FTMIPA pun bukanlah menjadi solusi untuk melerai dinamika yang ada. Yang mana hak jawab merupakan hak seseorang, kumpulan orang, organisasi, atau badan hukum untuk disetujui dan disanggah terkait pemberitaan atau karya jurnalistik yang ditentang kode etik jurnalistik, terutama kekeliruan dan ketidakakuratan yang berkaitan dengan nama yang akan dikirim. Pers wajib dilayani setiap hak jawab karena merupakan hak keadilan umum, proposionalitas, dan profesionalitas.
Fungsi hak jawab adalah sebagai pemenuhan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat, menghargai martabat dan menghargai orang yang dirugikan karena pemberitaan pers dan sebagai bentuk pengawasan masyarakat terhadap pers. Hak jawab bertujuan untuk memenuhi pemberitaan atau karya jurnalistik yang adil dan seimbang. Maka, dengan adanya kejadian tersebut Suaka menyatakan sikap:
1. Menuntut Universitas Indraprasta PGRI untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap Jurnalis LPM Progress.
2. Mengecam serta mengutuk semua tindakan kekerasan, intimidasi, dan penganiayaan, terhadap seseorang yang mengeluarkan pendapat.
3. Mendesak kepada semua pihak untuk tidak melakukan penghalangan, kekerasan, intimidasi dan penganiayaan terhadap Jurnalis.
4. Mendesak kepada semua pihak untuk melindungi keselamatan Jurnalis.
Semoga kejadian yang menimpa LPM Progress bisa menjadi pelajaran untuk seluruh Lembaga Pers Mahasiswa di seluruh Universitas yang ada. Jika tulisan dibalas dengan kekerasan, maka reduplah peradaban.