Aksi Kamisan

Aksi Kamisan UIN Bandung Ke-63, Tuntut Penghapusan Komersialisasi Pendidikan

para aktivis Aksi Kamisan UIN Bandung menggelar Aksi Kamisan ke-63 bertajuk “Hapuskan Komersialisasi di Dunia Pendidikan”, di Tugu Kujang, Kampus I UIN Bandung, Cibiru, Kamis (11/5/2023). (Foto: Ighna Karimah Nurnajah/Magang)

SUAKAONLINE.COM – Menanggapi peringatan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh tanggal 2 Mei lalu, Aksi Kamisan UIN Bandung menyelenggarakan aksi dengan tema “Hapuskan Komersialisasi di Dunia Pendidikan” di Tugu Kujang UIN Bandung, Kamis (11/5/2023). Para peserta aksi, yang terdiri dari mahasiswa dan aktivis, berkumpul untuk menyuarakan sikap prihatin mereka terhadap masalah komersialisasi pendidikan yang merajalela di Indonesia.

Salah satu aktivis Aksi Kamisan UIN Bandung, Goblay (nama samaran) menyerukan tuntutan yang ia usung, yaitu untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa. “Campaign ini untuk menyadari orang-orang bahwa pendidikan kita saat ini dicederai oleh adanya komersialisasi pendidikan. Makanya jargonnya bukan selamat datang di kampus, tetapi selamat datang di pasar pendidikan dan pendidikan model pasar,” ujarnya ketika diwawancarai Suaka, Kamis (11/5/2023).

Menurut Goblay bahwa komersialisasi pendidikan telah melenceng dari makna sejati pendidikan itu sendiri. Ia mengungkapkan fakta pendidikan saat ini dianggap sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan, sementara makna sebenarnya dari pendidikan yang seharusnya membebaskan dan memberdayakan individu yang diabaikan.

“Sebenarnya ngerespon dari Hari Pendidikan Nasional kemarin, bahwa sekarang masih hadir permasalahan di dunia pendidikan di kampus juga, yaitu permasalahan komersialisasi pendidikan. Pendidikan sekarang hanya jadi bahan jual beli, jauh dari makna pendidikan sebenarnya,” lanjutnya.

Salah satu orator aksi, Faray mengungkapkan bahwa pendidikan saat ini bukan melahirkan pemikir, melainkan menyiapkan tenaga kerja. Hal ini tercermin dari kurikulum yang telah ada. Ia juga menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia saat ini terikat erat oleh kehendak para penguasa yang tidak ingin diganggu kepentingannya.

“Kita bisa lihat dari berbagai kurikulum yang ada, tidak membuat kita menjadi pemikir tapi menyiapkan tenaga kerja, itu emang udah dari pusatnya. Indonesia belum mampu menjadi negara yang menyiapkan pemikirnya karena ada kepentingan satu dua yang tidak mau diganggu kepentingannya, hingga akhirnya komersialisasi pendidikan ini terus berjalan,”tuturnya.

Permasalahan dalam komersialisasi pendidikan ini tidak hanya berhenti pada biaya pendidikan yang tinggi, tetapi juga mencakup fasilitas yang tidak memadai dan kurangnya kualitas pengajar. Faray menekankan bahwa banyak dosen yang tidak mampu mencapai tujuan universitas karena seleksi tenaga pendidik lebih didasarkan pada kepentingan bisnis daripada kualifikasi akademik yang sesuai.

Selain itu, Faray juga mengeluhkan bahwa transparansi dalam penentuan UKT (Uang Kuliah Tunggal) harus diperhatikan dengan lebih serius. Ia juga menyoroti perlunya proses banding UKT yang dapat dilakukan tidak hanya pada awal semester, tetapi juga selama masa studi untuk mengakomodasi perubahan keuangan yang mungkin dialami oleh mahasiswa selama masa perkuliahan. Hal ini akan membantu mengurangi beban finansial yang tidak stabil bagi mahasiswa dan keluarganya.

“Nah finansial itu kan tidak selalu stabil, maka dari itu, banding UKT harusnya tidak dibatasi oleh semester satu dan semester dua. Semester lainnya, bahkan semester atas yang bahkan orang tuanya tidak mau bertanggung jawab itu harus diadakan lagi banding UKT, ini tidak dilakukan sama birokrat yang sekarang,” keluhnya.

Reporter: Fadhilah Putri Sutiyani & Ighna Karimah Nurnajah/Magang

Redaktur: Mohamad Akmal Albari/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas