Advertorial

Bahas Politik Perspektif Sirah Nabawi, Asep: Apakah Rasulullah Berpolitik?

Komunitas Tanya Sejarah gelar webinar dengan tema “Politik Dalam Perspektif Sirah Nabawi” melalui Zoom Meeting pada Rabu (15/9/2021). (Foto: Alisya Darmayanti)

SUAKAONLINE.COM – Komunitas Tanya Sejarah menggelar webinar dengan mengusung tema “Politik Dalam Perspektif Sirah Nabawi” melalui Zoom Meeting pada Rabu (15/9/2021). Majelis Cibiru (Cinta Nabi dan Rasul) ini merupakan kegiatan rutin Komunitas Tanya Sejarah yang dilaksanakan setiap bulan dengan berbagai tema.

Salah satu panitia acara Assena Fadila menyampaikan tujuan diadakannya majelis ini, yakni untuk menjelaskan sirah nabawi yang dibahas dalam berbagai perspektif. Sehingga kajian sirahnya bisa dinikmati oleh semua kalangan, khususnya kaum milenial. “Sasaran kegiatan ini adalah masyarakat luas, baik itu dari pegiat komunitas tanya sejarah itu sendiri, mahasiswa UIN SGD Bandung, dan masyarakat umum,” ujarnya saat wawancara via WhatsApp, Rabu (23/9/2021).

Acara ini dihadiri sekitar 117 peserta dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa UIN SGD Bandung hingga mahasiswa luar kampus. Hadir Ketua Jurusan Ilmu Politik UIN SGD Bandung, Asep Abdul Sahid Gatara, sekaligus menjadi narasumber dalam diskusi. Di awal pemaparan Asep menyampaikan mengenai pengertian serta sejarah mengenai politik.

“Sebelum membahas lebih jauh, kita harus tahu politik itu apa dalam sirah nabawi. Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang berarti kota atau negara. Politik selalu berhubungan dengan kota, negara, warga negara, dan kekuasaan. Aristoteles mengatakan politik berhubungan dengan peristiwa, adanya keteraturan tatanan hidup dan itu yang dijadikan rujukan dari polis atau politik itu sendiri, dan juga  politik ada jauh sebelum lahirnya Rasulullah,” jelas Asep, Rabu (15/9/2021).

Kemudian Asep menyebutkan Rasulullah telah berpolitik sejak dulu. Hal itu dibuktikan dengan keputusan Rasul hijrah dari Makkah ke Madinah. Saat keadaan kota Madinah sedang terjadi pertempuran dan perselisihan antar golongan, mereka mengundang Rasulullah dengan bertujuan dapat menyelesaikan masalah yang sedang terjadi.

Contoh lain praktek politik pada zaman Rasulullah bisa dilihat dari Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah membiasakan untuk mengalah agar terciptanya kedamaian dan kemanusiaan. Sekilas, perjanjian Hudaibiyah memang merugikan dan menempatkan kaum muslim pada posisi kalah. Namun jika dilihat lebih teliti lagi, ada kemenangan didalamnya.

“Bentuk kemenangannya itu damai, tidak ada pertumpahan darah. Namun jika dilihat, itu sebenarnya memang melanggar akidah dan tuntunan. Karena saat Rasulullah dan rombongan yang ingin melaksanakan ibadah umrah saat itu diblokade. Lalu, terjadinya perjanjian di Hudaibiyah yang menghasilkan bahwa umrah bisa dilaksanakan tahun berikutnya,” ucap Asep.

Kemudian Asep menyampaikan beberapa tantangan orang muslim ketika berpolitik saat ini. Salah satunya orientalis formalisme, yakni masuk kedalam jebakan pentingnya formalitas ketimbang substantial. “Keimanan di formalitaskan, itu yang menyebabkan umat muslim yang berpolitik semakin ricuh. Dilihat dari tahun ketahun saat Indonesia lahir, belum ada kebangkitan atau kemajuan berpolitik umat muslim. Karena apa? Ya, karena formalism. Namun, beberapa partai sekarang sudah lebih mengarah ketengah, tidak ekstreme seperti dulu,” lanjutnya.

“Selanjutnya itu krisis keteladanan atau ketokohan, idealnya partai politik yang berbasis atau berasaskan islam, harus berkemauan menghasilkan tokoh yang bisa diterima sejuta umat. Saat ini pun belum ada tokoh yang bisa dijadikan teladan di negara yang katanya bermayoritaskan islam. Hal itulah yang sebenarnya menjadi kesempatan bagi umat islam untuk bangkit secara berpolitik,” tutupnya.

Reporter         : Alisya Darmayanti

Redaktur        : Fuad Mutashim

1 Comment

1 Comments

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Ke Atas