
Seorang mahasiswa menunjukkan poster tanggapan mengenai aksi kartu kuning mahasiswa di mading lobi Student Center, UIN SGD Bandung, Kamis (15/2/2018). Harisul Amal/Magang
SUAKAONLINE.COM – Polemik seputar kartu kuning yang diberikan oleh Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Zaadit Taqwa, kepada Presiden Joko Widodo pada puncak perayaan Dies Natalies UI 2 Februari lalu, hingga kini masih menyisakan perdebatan, terutama di kalangan sesama mahasiswa.
Presiden BEM Unpad, Izmu Tamami Roza, secara pribadi mengatakan tidak sepakat dengan apa yang dilakukan Zaadit. Ia menyoroti cara menyampaikan pendapat yang dilakukan oleh Zaadit ketika Dies Natalies UI, menurutnya cara tersebut kurang tepat, karena itu dapat menurunkan harkat martabat universitas secara langsung.
“Hal yang kemudian membuatnya menjadi kontroversi adalah pada caranya, tempatnya, dan juga konteksnya. Walaupun aksinya mengatasnamakan BEM UI tapi kan tindakannya itu juga mempresentasikan mahasiswa UI secara keseluruhan, tindakan yang diambil Zaadit sebagai seorang ketua lembaga kemahasiswaan, harusnya juga merupakan representasi yang mutlak daripada keinginan mahasiswa UI itu sendiri,” ungkapnya, Kamis (15/2/2018).
Izmu menambahkan, setelah Zaadit melakukan aksinya yang kemudian menimbulkan kontroversi, ia menyayangkan Zaadit tidak bisa menguatkannya kembali lewat argumetasi yang kuat pasca aksi, sehingga landasan aksinya terlihat lemah, hal itu yang membuat Zaadit menjadi sorotan ketika berbicara di acara Mata Najwa.
“Ada kapasitas yang cukup besar disitu, dimana ketika Zaadit melakukan aksi tersebut, dia mengatasnamakan BEM UI, tapi ketika hal itu telah menjadi sensasi, maka kapasitasnya menjadi lebih besar, kapasitasnya mengatasnamakan mahasiswa Indonesia secara keseluruhan, termasuk kita disini,” tambahnya.
Berbeda dengan Izmu, Ketua Sema-U UIN SGD Bandung, Acep Jamaluddin mengaku mendukung apa yang dilakukan Zaadit, ia sepakat dengan konteks yang diangkat, yaitu pertama mengenai Asmat, kedua mengenai dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), ketiga mengenai aturan Pedoman Organisasi Kemahasiswaan Intra (POKI). Dari ketiga isu tersebut ia sebagai mahasiswa sepakat, karena menurutnya ini merupakan titik balik mahasiswa untuk bergerak kembali.
“Saya sepakat konteksnya, bagaimana bisa Polisi menjadi PLT Gubernur, dulu mahasiswa pas reformasi itu dengan suara lantang menolak Dwifungsi ABRI, ternyata sekarang malah lahir lagi, maka dari itu kita harus menolak dengan lantang lagi,” ujarnya, Rabu (14/2/2018).
Mengenai banyaknya pernyataan yang menyerang Zaadit, Acep menganggap itu adalah hal biasa. Karena menurutnya, itu merupakan permainan politik dari pihak oposisi pemerintah, ia pun percaya bahwa kasus ini diviralkan oleh orang-orang politik, dan sekarang posisi Zaadit sedang diserang oleh orang-orang politik.
“Makanya bagi saya, jika ada mahasiswa yang tidak sepakat dengan Zaadit itu bodoh, itu salah. Harusnya kita saling membahu mendukung Zaadit, karena Zaadit ini kan punya keberanian namun kurang dalam argumentasi,” tutupnya.
Reporter : Harisul Amal/Magang
Redaktur : Muhamad Emiriza