Kolom

Berpikir Jernih Menjelang Panasnya Politik Kampus

Dok. Suaka

Dok. Suaka

Oleh Muhammad Iqbal

Tahun 2017 sedang berlangsung, politik kampus akan lebih menggerung. Tahun baru dan ajaran baru mengajarkan untuk berpikir baru, dan tetap berpikir maju. Bukan berarti melupakan masa lalu. Masa lalu dijadikan sebuah pengalaman yang memajukan, seharusnya.

Sudah sejak 2015, mahasiswa berada di masa mengambang. Tak ada sosok pemimpin, tak ada lembaga non-struktural birokrasi yang menampung aspirasi, mengadvokasi masyarakatnya, masyarakat dibiarkan kebingungan tanpa ada kebijakan tegas dari birokrasi. Masyarakat di sini adalah mahasiswa.

Seperti yang tercantum dalam Pedoman Organisasi Kemahasiswaan Intra (POKI) UIN SGD  Bandung tahun 2015 yang disahkan 23 Februari 2016, bahwa kini kedudukan organisasi intra adalah sebagai kelembagaan non-struktural UIN SGD Bandung. POKI ini merupakan turunan dari Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam Nomor 1741 tahun 2013 tentang Penetapan Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Perguruan Tinggi Agama Islam atau sering dikenal dengan sk dirjen 2013. Organisasi non-struktural ini terbagi atas empat lembaga yang diakui sah oleh kampus di dalam POKI.

Pertama, Senat Mahasiswa Universitas (Sema-U) dan Dewan Mahasiswa Universitas (Dema-U) yang berkedudukan di Universitas. Kedua, Senat Mahasiswa Fakultas (Sema-F) dan Dewan Mahasiswa Fakultas (Dema-F) yang berkedudukan di Fakultas. Ketiga, Himpunan Mahasiswa Jurusan/Program Studi (HMJ/HM-PS) yang berkedudukan di tingkat Jurusan/progran studi. Dan, keempat, Unit Kegiatan Mahasiswa/Unit Kegiatan Khusus yang berkedudukan di tingkat Universitas.

Bukan menganggap tak penting atau mengesampingkan Sema-F, Dema-F, HMJ/PS atau UKM/UKK, tapi Sema dan Dema Universitas dirasa sangat penting dan perlu untuk dibahas. Dan lebihnya, karena ini merupakan bentuk partisipasi politik yang mana salah satunya pendidikan politik ada di dalamnya.

Sema-U adalah lembaga legislatif yang memegang fungsi kontrol pada pelaksanaan Garis Besar Haluan Program (GBHP) Dema-U. Sekaligus sebagai lembaga normatif dan perwakilan tertinggi di lingkungan mahasiswa UIN SGD Bandung yang berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi.

Dema-U adalah lembaga eksekutif yang bertugas untuk melaksanakan ketetapan Sema-U. Dema-U berstatus sebagai pengkoordinir kegiatan kemahasiswaan tingkat universitas dan sebagai subsistem kelembagaan non-struktural tingkat universitas. Ditekankan kembali, bahwa Dema-U adalah subsistem dari badan non-struktural kampus yaitu Sema-U. Jelas memang, kini yang menjadi lembaga tertinggi bukan lagi Dema-U melainkan Sema-U.

Kata ‘lembaga tertinggi’ mengingatkan kembali pada sistem pemerintahan pusat, zaman Orde Baru yang mana peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai ‘lembaga tertinggi’ kala itu. Terlepas dari baik dan buruknya, tapi bukan itu yang akan dibahas.

Kembali pada fungsi dan tugas Sema-U dan Dema-U. Sema-U, selain menentukan GBHP Dema-U, juga memiliki tugas mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan program Dema-U. Lalu, bertugas pula menyerap dan mengakomodir aspirasi mahasiswa dan menyalurkannya kepada pihak-pihak terkait. Juga, memperjuangkan hal-hal akademik dan kemahasiswaan. Serta, merumuskan Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi mahasiswa dengan berdasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku.

Dema-U selain memiliki fungsi sebagai pelaksana dan pengkoordinir kegiatan kampus, juga memiliki tugas yaitu; pertama, menjabarkan dan melaksanakan ketetapan Sema-U lainnya dalam bentuk program kerja. Kedua, mengomunikasikan dan menginformasikan kegiatan kemahasiswaan di tingkat universitas. Ketiga, melaksanakan koordinasi dan sinkronisasi kegiatan kemahasiswaan.

Pemisahan antara tugas, fungsi, dan wewenang dari Sema-U serta Dema-U dimaksudkan untuk mehindari terjadinya tumpang tindih fungsi. Tumpang tindih ini dihindari karena akibatnya akan membingungkan kepada masyarakat, nantinya.

Bukan hanya itu, masih banyak lagi sebenarnya yang harus dibahas. Namun ada yang umum dan perlu diketahui. Yaitu bagaimana pertanggungjawaban kedua lembaga ini. Beberapa waktu lalu, permasalahan mengenai pertanggungjawaban ini selalu membingungkan peserta musyawarah lebih luasnya masyarakat kampus.

Sema-U sebagai badan normatif dan perwakilan tertinggi lembaga mahasiswa, Sema-U wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada mahasiswa dalam Musyawarah Tinggi Universitas (Musti-U). Musti adalah forum pertemuan mahasiswa untuk mencapai mufakat yang dilakukan Sema baik tingkat universitas atau fakultas.

Lalu, sebagai subsistem kelembagaan non-struktural tingkat perguruan tinggi, Sema-U bertanggung jawab kepada rektor/ wakil rektor bidang kemahasiswaan, alumni, dan kerjasama. Dan Dema-U pun sama, menyampaikan pertanggungjawabannya kepada mahasiswa pada Musti-U dan bertanggung jawab kepada rektor/wakil rektor bidang kemahasiswaan, alumni, dan kerjasama.

Dalam pelaksanaan tugasnya Sema-U terdiri dari Pimpinan Sema-U, komisi-komisi yang berdasarkan tugas, wewenang, tata kerja dan susunan anggotanya ditentukan sendiri oleh Sema-U sesuai dengan prinsip dan tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku.

Berbeda dengan Sema-U yang harus memiliki anggota terlebih dulu melalui Pemilihan Umum Raya (Pemira), Dema-U harus menunggu terbentuknya Sema-U. Setelah terbentuk, Sema-U membentuk panitia pemilihan untuk memilih Ketua Dema-U. Tata cara pemilihan diatur di SK Dirjen 2013.

Hanya untuk mengingatkan kembali, bahwa tulisan ini berdasarkan pada apa yang terlampir dalam POKI 2016. Tidak ada maksud menggurui, hanya ini bentuk partisipasi politik penulis dari beberapa kebimbangan masyarakat kampus. Yang mana, ada anggapan bahwa mahasiswa kini apatis, atau acuh pada kondisi politik kampus. Namun, penulis menawarkan bahwa dengan penyampaian ataupun pendidikan politik seperti ini, maka masyarakat setidaknya tahu dan membaca. Karena, memang selembaran atau kopian mengenai POKI ini terbatas serta tidak semua orang memiliki. Juga belum ada tindakan berkelanjutan dari kemahasiswaan atau pihak terkait dalam mensosialisasikan ini, karena yang bertanggung jawab di sini adalah wakil rektor III bidang kemahasiswaan.

Ada baiknya, mahasiswa perlu berpikir jernih. Ketika sekarang kondisi politik kampus dalam keadaan keruh, maka akan sulit untuk membersihkannya. Ada baiknya membersihkan sedikit demi sedikit, bila ada lumpur maka ambil dan buang pada tempatnya. Bukan malah mengotorinya dengan kotoran yang lain. Jangan sampai ikut dalam arus yang tidak mengedepankan pemikiran jernih dan kritis tapi malah berpikir dangkal yang hanya berpikir sampai dengkul.

Menjelang pemira universitas yang entah kapan akan digelar. Alangkah baiknya, mahasiswa sebagai masyarakat ikut memantau dan bersikap. Tapi itu kembali pada pembaca, pilihan ada pada pembaca sesuai dengan sikap masing-masing. Ini hanya anjuran dan sikap dari penulis yang menganggap bahwa pendidikan politik yang baik dan benar adalah suatu yang penting untuk meperbaiki partisipasi politik lebih luasnya lagi politik dan lebih lebih luasnya lagi adalah demokrasi di kampus sendiri.

 

Tulisan ini akan berlanjut. Tulisan selanjutnya akan membahas mengenai mekanisme pemilihan umum raya (pemira) baik fakultas ataupun universitas. Serta, membahas mengenai mekanisme pemilihan ketua Dema Universitas ataupun fakultas.

*Penulis merupakan Kepala Penelitian dan Pengembangan (Litbang) LPM Suaka UIN SGD Bandung 2016-2017

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas