Kolom

COVID-19: Ada ‘Udang’ di Balik Corona

Ilustrasi: Shania Anwar/Suaka

Oleh: Refkyan Mauldan*

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) atau yang akrab di telinga kita sebagai virus corona dewasa ini telah melumpuhkan banyak negara, ekonomi, politik, hampir semua sisi terkena imbasnya. Korban jiwa terus berjatuhan, belum lagi keluarga yang ditinggalkan, kesedihan yang terus memuncak ditambah obat dan vaksin yang diharapkan datang di saat genting, belum juga muncul batang hidungnya.

Melihat bagaimana wabah pandemi ini terus menjalar ke segala penjuru dunia, kebutuhan akan vaksin sebagai pencegah dan obat untuk penyembuh menjadi penting adanya. Ancaman wabah serupa di masa lalu menghantui lagi kini, wabah terkenal seperti Wabah Maut Hitam atau Black Death yang terjadi pada kurun waktu 1348-1353 yang menyebabkan sepertiga warga Eropa tewas, bukan tidak mungkin terjadi lagi.

Klaim demi klaim penemuan vaksin dan obat COVID-19 disuarakan banyak negara, tapi tak satupun yang memang benar-benar menemukannya. Keuntungan penjualan vaksin akan sangat menggiurkan melihat chaos-nya penyebaran virus ini, wajar saja banyak negara berlomba untuk menjadi yang pertama menemukan vaksin dan obat COVID-19.

Dilansir Tirto-ID, dari China, Jerman hingga Israel sudah menyiapkan ancang – ancang untuk menguji vaksin mereka, bahkan dua perusahaan farmasi besar di Jerman yaitu BioNTech dan CureVac sudah memproduksi secara massal vaksinnya. China pun tidak mau kalah, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China yang ada di Hubei dan Shanghai berkolaborasi mengembangkan vaksin dan mengumumkan permintaan pencarian sukarelawan untuk uji klinis vaksin yang berlangsung April mendatang.

Memang penemuan obat dan vaksin sebuah penyakit-apalagi penyakit terbaru-tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Perlu riset dan pengujian berkali-kali untuk bisa mendapatkannya, namun dengan banyaknya negara yang sudah mengembangkan vaksin COVID-19, menjadi kabar gembira bagi masyarakat dunia yang sedang dilanda ketakutan akan wabah pandemi virus corona.

Yang pasti wabah yang telah masuk kategori pandemi berdasarkan pengumuman WHO ini sudah menjadi bencana yang banyak merugikan kita sebagai warga dunia. Segala ativitas terhambat oleh kebijakan lockdown, kebutuhan pangan mulai merangkak naik diakibatkan perilaku panic buying segelintir orang. Sudah jatuh tertimpa tangga, belum habis kita khawatir akan penyakit mematikan yang mengancam jiwa ini, kita terancam kehilangan kemampuan ekonomi yang menjadi penopang hidup kita selama ini.

Virus Corona Tak Selamanya Buruk

Bagai dua sisi mata uang, yang selamanya buruk belum tentu buruk, yang baik pun sama, tidak selamanya baik. Sama halnya dengan corona ada sisi positif tersembunyi yang bisa kita ambil. Bukan berarti kita bersyukur dengan adanya wabah pandemi virus corona ini, tapi dengan adanya wabah ini, ada hikmah atau pembelajaran yang bisa dipetik.

Pikiran liar kita tertuju pada satu hal, bahwa virus corona lahir sebagai wujud “istirahat” bumi dari penatnya menghadapi segala hiruk-pikuk aktivitas manusia. Bumi pun mungkin perlu waktu menghela napas, merebahkan diri, memperbaiki segala kekacauan yang ada di tubuhnya. Tidak bisa dipungkiri dengan kebijakan lockdown atau langkah social distancing yang diambil pemerintah Indonesia, tidak banyak manusia bertebaran di luar rumah, tidak banyak mobil berlalu – lalang di jalanan, yang otomatis membuat polusi udara di bumi menurun pesat, semua itu “berkat” wabah pandemi virus corona.

Hal ini menjadi ironi, bahwa perlu sebuah penyakit menular dengan tingkat penyebaran masif dan cepat untuk memaksa orang-orang mengurangi polusi udara mereka, memperbaiki kualitas udara yang setiap hari mereka hirup. Dilansir CNN Indonesia, menurut pantauan NASA dan Badan Antariksa Eropa, kualitas udara di Cina dan Italia meningkat secara signifikan sejak kedua negara tersebut menerapkan kebijakan lockdown. Isolasi sosial dan lockdown berefek positif besar pada penurunan emisi CO2, hal ini diakibatkan oleh lalu lintas yang jauh menurun. Fasilitas yang dianggap sering memproduksi gas berbahaya, seperti pembangkit listrik dan pabrik industri pun banyak yang ditutup.

Penurunan polusi udara di China agaknya menjadi angin segar di tengah masifnya penyebaran virus corona, mengurangi angka kematian dini akibat polusi udara sekitar 50 ribu hingga 100 ribu. Padahal setiap tahunnya 1,15 juta hingga 1,24 juta orang di China meninggal diakibatkan polusi udara. Partikel halus atau PM2,5 yang disebut sebagai polusi paling mematikan di dunia yang berukuran hampir 2,5 mikrometer, tingkat polusinya di China turun sekitar 20 hingga 30 persen dibandingkan rata-rata di tahun sebelumnya, sebagaimana dilansir CNN Indonesia.

Saking sepinya, hewan liar pun yang “dianggap” sebagai biang keladi penyebaran virus corona banyak berkeliaran ke tempat yang tidak wajar, seperti di jalanan kota yang biasanya riuh oleh lalu-lalang manusia. Ini menjadi fenomena yang jarang ditemui sebelumnya. Seperti di Venesia, kota kanal yang terletak di bagian utara Italia ini telah menjadi primadona turis bila berkunjung ke Italia. Setelah bertahun-tahun Venesia disesaki wisatawan, akhirnya kawanan lumba-lumba bisa berenang secara bebas berseliweran di kanal-kanal air Venesia, imbas penutupan kawasan diakibatkan kebijakan lockdown yang diterapkan Italia.

Selain itu, dengan kebijakan social distancing yang memaksa kita berdiam diri di rumah menjadi ajang kita untuk lebih memperbaiki hubungan dengan keluarga. Berkumpul, mengobrol tentang banyak hal, bermain permainan. Karena sebelum wabah ini merebak, kita selalu sibuk dengan aktivitas masing-masing; orang tua dengan kesibukan pekerjaannya maupun anak yang selalu sibuk dengan sekolah atau kuliahnya.

Bukankah kita sudah sering menghabiskan waktu rata-rata 13 jam di luar rumah dengan asumsi jam kerja dari jam 9 hingga 5 sore, belum lagi ada keperluan lain. Apa salahnya saat ini dengan keharusan “di rumah aja”, kita memakainya untuk lebih mengenal rumah kita, apa saja isinya dan semua penghuninya, mengerjakan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan, memperbaiki komunikasi yang selama ini tidak efisien.

Dan yang lebih penting, dari semua dampak positif wabah pandemi corona adalah mengajarkan kita agar lebih aware terhadap kesehatan dan kebersihan. Sepert kuda yang dipecut dulu agar lari, wabah pandemi corona membuat orang lebih peduli terhadap kesehatan, mulai rajin cuci tangan dengan sabun sehabis memegang banyak hal, menerapkan pola hidup sehat dan memakan makanan yang bergizi.

Tidak bisa dipungkiri, kesadaran cuci tangan masyarakat Indonesia masih jauh dibawah harapan, dilansir dari katadata.co.id, WHO dan UNICEF pernah melakukan riset pemenuhan fasilitas cuci tangan dasar di seluruh negara termasuk Indonesia pada tahun 2017. Hasilnya Indonesia saat itu mendapatkan skor indikator 71,60 dari 100, jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam (92,54), Myanmar (91,95), dan Kamboja (88,24).

Hal ini disebabkan sulitnya akses terhadap fasilitas cuci tangan seperti wastafel di area publik, lalu ketersediaan air bersih juga menjadi masalah lainnya. Masyarakat miskin yang akhirnya kena getahnya, dengan pencemaran sungai, dan mahalnya air bersih menjadi faktor lainnya masyarakat malas mencuci tangan.

Wabah ini Pasti Berakhir

Badai pasti berlalu, bukan tidak mungkin wabah pandemi corona bisa berakhir dalam waktu dekat. Mengikuti tren China sebagai negara epicentrum virus corona yang bisa melewati fase kritis penyebaran dengan baik, kota Wuhan pun bisa pulih dan akhirnya kebijakan lockdown-nya pun bisa ditarik.

Indonesia sebagai negara yang mulai memasuki fase puncak penyebaran, diharapkan bisa berkaca kepada negara yang telah berhasil menekan kurva penyebaran dengan angka yang sembuh bisa melewati angka kematian setiap harinya. Gerakan social distancing dan physical distancing harus terus digalakkan agar mata rantai penyebaran virus corona ini bisa diputus. Kebiasaan mencuci tangan pun harus lebih ditingkatkan, jangan keluar rumah bila tidak ada keperluan yang mendesak.

Walaupun dengan kebijakan social distancing, berdiam diri di rumah tentu sangat membosankan, tapi hal ini dilakukan demi kebaikan bersama. Toh, dengan itu kita bisa menikmati udara yang sedikit lebih bersih, pohon dan tanaman terlihat lebih segar, kemacetan yang terus merongrong jalanan setiap harinya hilang tak berbekas. Terlepas dari banyaknya korban yang berjatuhan, ada banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik dari wabah virus corona ini.

*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Jurnalistik semester enam dan Anggota Magang LPM Suaka 2020

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas