Kolom

Digitalisasi: Solusi Bisnis Bertahan di Tengah Pandemi

Ilustrasi : Siti Hannnah Alaydrus

Oleh: Shafa Maura Zahwa*

Sejak munculnya awal tahun  lalu, hingga sekarang pandemi Covid-19 belum juga berakhir. Segala upaya dan usaha telah dikeluarkan untuk menanggulangi wabah ini. Banyak orang mengeluh sejak munculnya wabah penyakit ini. Tak sedikit orang yang menyebutnya sebagai malapetaka. Hampir seluruh aspek kehidupan dibuat lumpuh akibat dari pandemi, tak terkecuali sektor ekonomi.

Banyak perusahaan dan pelaku usaha yang terpaksa gulung tikar. Yang mengakibatkan banyak pekerja diberhentikan. Melansir dari tempo.co, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertanggal 15 Januari 2021 sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja, dimana 2,56 juta menjadi pengangguran, 760 ribu penduduk menjadi bukan angkatan kerja. Dan sisanya sebanyak 24,03 juta penduduk bekerja mengalami pengurangan jam kerja.

Melihat data tersebut, dapat dipastikan bahwa mencari pekerjaan di masa pandemi adalah hal yang sulit. Selain itu pandemi pun berdampak hingga usaha mikro kecil menengah (UMKM). Terbukti dari survei Katadata Insight Center (KIC) yang dilakukan di Jabodetabek pada Juni 2020, 57% UMKM mengaku dalam kondisi buruk, dan 25% hanya bisa bertahan hingga September. Diperkirakan ada sekitar 47% yang terancam gulung tikar. Padahal sektor tersebut menyerap 97% tenaga kerja serta kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional sebanyak 60%.

Adapun UMKM yang bertahan bahkan terus tumbuh adalah mereka yang mampu beradaptasi bisnis, melakukan orientasi usaha, berinovasi, serta dapat merespon perkembangan pasar yang berada di dunia digital. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, pelaku UKM yang memanfaatkan teknologi digital, khususnya platform e-commerce baru sekitar 8,3 juta atau 13% dari 64,2 juta pelaku UMKM secara nasional. Hal ini terjadi karena adanya faktor penghambat yang membuat UMKM bisa berkembang. Siapa lagi kalau bukan para pelaku usaha UMKM yang masih belum terjamah oleh canggihnya teknologi.

Tidak adanya digitalisasi dalam sebuah usaha, jelas membuat banyak UMKM yang mengalami keterpurukan. Kebanyakan usaha masih menggunakan cara tradisional dengan mengandalkan tatap muka antara penyedia bahan baku dan konsumennya. Di masa pandemi ini, cara tersebut tidak bisa diandalkan karena menghendaki tidak boleh adanya kontak fisik antar manusia.

Perlunya transformasi digital

Bisa disebut salah satu penyebab UMKM terpuruk dikarenakan caranya yang masih tradisional. Sebagaimana diketahui banyak UMKM yang dijalankan oleh beberapa yang gagap teknologi (Gaptek). Hal tersebut dinilai menjadi salah satu penghambat berkembangnya sebuah UMKM. Tentu jika ingin ada perubahan harus mau belajar dan beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Upaya proses digitalisasi pada UMKM ini tentu tidak mudah. Dibutuhkan pendampingan dari stakeholder tertentu yang bentuknya bisa bermacam-macam. Seperti diadakannya training, coaching, gathering, dan adanya konsultasi tambahan untuk membantu para pelaku usaha tersebut lebih berkembang. Selain itu, pemerintah harus bisa memberikan sejumlah stimulus tambahan untuk membantu dari sisi supply dan demand. Seperti diberikanya bantuan berupa insentif pajak, program relaksasi yang berkaitan dengan pembayaran ke negara, restrukturisasi kredit, serta bantuan pembiayaan baru untuk UMKM yang membutuhkan.

Tak hanya dilakukan di masa pandemi, transformasi digital juga harus tetap dilakukan secara konsisten. Mengapa demikian, karena kemajuan teknologi telah membawa perubahan pada perilaku pasar. Saat ini, sebagian besar konsumen lebih cenderung untuk melakukan transaksi secara online. Jika sebuah perusahaan ingin tetap bersaing di era digital, maka kemudahan ini juga harus disediakan di dalam bisnis.

Saat teknologi digital diadaptasi kedalam bisnis, sebuah perusahaan akan memperoleh keuntungan. Yakni dari sisi efisiensi waktu dan penghematan biaya pengeluaran. Sebagai contoh, apabila usaha kita memiliki cabang di beberapa tempat, lalu memerlukan adanya pengeriman dokumen ke antar cabang. Hal itu bukan lagi menjadi masalah, karena teknologi penyimpan data atau dokumen bisa menjadi jalan keluarnya.

Beralihnya sebuah usaha ke era digital juga memungkinkan UMKM untuk menjangkau target pasar semakin luas. Jika sebelumnya pemasaran dilakukan dengan konsep pemasaran word of mouth atau dari mulut ke mulut, pemasaran akan lebih efektif dan terasa hasilnya jika dilakukan secara online. Contohnya bisa dengan membayar promosi kepada seorang influencer.

Tidak hanya memperluas target pasar, dengan beralih ke media digital pelaku usaha bisa dengan sigap meningkatkan kualitas layanan. Melalui kolom review atau ulasan yang disediakan oleh platform e-commerce, memudahkan para pelaku usaha mengetahui kepuasan para konsumennya. Keuntungan lainnya ialah konsumen dengan mudah dapat mencari berbagai informasi mengenai produk yang kita sediakan selama 24 jam nonstop. Dengan segala keuntungan dan kemudahan yang didapat, sudah saatnya perlu dilakukan transformasi digital dalam sebuah bisnis.

Maraknya bisnis online

Disamping para pelaku usaha ‘gaptek’ yang masih bersiap beralih ke era digital, banyak anak muda yang siap digali potensinya untuk membuka bisnis digital. Hadirnya mereka seakan menjadi harapan baru untuk sektor ekonomi Indonesia. Pun jika tidak menjadi pelaku dibalik usaha, mereka bisa menjadi penggerak dalam membantu dan mempersiapkan pengembangan UMKM yang ada. Peran mereka diharapkan dapat membantu pemulihan ekonomi Indonesia pasca pandemi.

Ternyata, selama pandemi banyak bisnis online baru bermunculan. Sebagian besar diinisiasi oleh anak muda dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Di latar belakangi kejenuhan akibat pembelajaran daring dan keinginan untuk hidup mandiri, mereka mencoba untuk membuka bisnis online. Berbekal rasa percaya diri, kemauan, dan pemahaman atas teknologi mereka mampu menjalankan bisnis tersebut.

Melansir dari antaranews.com, sejak April 2020 hingga November 2020 terdapat sekitar 450 ribu UMKM digital tambahan yang telah terdaftar di aplikasi Grab, belum lagi yang terdaftar di platform digital lainnya. Bisnis baru yang dijalankan anak muda ini biasanya bergerak di bidang makanan, pakaian, aksesoris, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, di awal pandemi banyak tersebar tutorial memasak. Potensi yang didapat secara cuma-cuma tersebut disalurkan untuk meraup keuntungan, dengan cara berjualan makanan yang viral saat itu.

Diwajibkannya memakai masker saat berada di luar rumah, membuka peluang untuk berjualan masker. Dikarenakan terbatasnya jumlah masker medis, sebagian orang berinovasi dengan membuat masker berbahan dasar kain. Dengan desain dan aksesoris yang menarik dengan menambahkan strap mask dan connector mask membuat sebagian orang beralih dan memilih masker kain.

Namun bisnis online yang baru bermunculan ini tidak akan berkembang jika jumlah partisipatif masyarakat lokal sendiri masih rendah. Contohnya dengan membeli dan memakai produk lokal. Karena sebagaimana diketahui, tak sedikit masyarakat Indonesia yang memiliki kebiasaan untuk membeli produk luar negeri. Dengan pertimbangan memiliki kualitas dan gengsi yang lebih tinggi. Perlu adanya himbauan atau ajakan dari pemerintah selaku stakeholder untuk mencintai produk lokal. Agar beberapa UMKM lokal bisa berkembang dan membantu dalam pemulihan ekonomi Indonesia.

Timbulnya perilaku konsumtif

Mulanya, situasi pandemi dinilai dapat mengurangi tingkat konsumerisme masyarakat. Mereka akan memilih hidup lebih sederhana, dengan hanya membeli barang-barang yang dibutuhkan. Berbanding terbalik dengan yang diharapkan, situasi pandemi ini justru menimbulkan tingginya jumlah konsumsi masyarakat Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah akses yang mudah dalam transaksi jual beli online. Masyarakat yang tidak memiliki kesempatan untuk berkunjung ke toko secara langsung, kini dimanjakan dengan kemudahan transaksi. Mulai dari proses pembayaran hingga pengiriman barang.

Memang, jika dilihat dampak positifnya hal tersebut dapat mendorong aktivitas ekonomi. Terutama bagi sektor yang terdampak secara langsung akibat pandemi. Namun disisi lain, perilaku konsumtif dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat itu sendiri. Seperti terganggungnya finansial para individu. Intinya, masyarakat harus menjadi konsumen yang cerdas dan rasional.

Karena tidak semua masyarakat memiliki kestabilan ekonomi yang sama. Untuk meminimalisir hal tersebut, harus ada kesadaran yang muncul dari masyarakat itu sendiri. Seperti lebih menentukan skala prioritas sesuai dengan kebutuhan, bukan atas dasar keinginan. Selain itu, masyarakat harus mulai terbiasa dalam membuat perencanaan keuangan. Jangan sampai melupakan pentingnya alokasi dana darurat. Dengan begitu keberlangsungan ekonomi akan lebih menjadi aman dan stabil.

* Penulis merupakan mahasiswa UIN SGD Bandung jurusan Ilmu Komunikasi dan Jurnalistik semester empat, serta anggota magang LPM Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas