Infografik

Dilematis Urgensitas dan Ambiguitas Peraturan Mendikbudristek Nomor 30/2021

SUAKAONLINE.COM, Infografis – Peraturan Kementerian Pendidikan Budaya Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 menuai protes dari sejumlah pihak. Aturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang diundangkan pada 3 September 2021 itu, pada beberapa poin justru berakhir menjadi polemik panas di dalam negeri akhir-akhir ini.

Polemik itu sendiri terdapat dalam beberapa pasal seperti data di atas. Namun yang paling disoroti oleh masyarakat adalah adanya frasa “tanpa persetujuan” dalam pasal 5 peraturan tersebut. Frasa tersebut dianggap sebagai frasa yang ambigu sehingga melahirkan berbagai multi tafsir diantara masyarakat. Frasa ‘tanpa persetujuan’ ini dapat ditafsirkan melegalkan zina jika kedua belah pihak saling menyetujui tindakan seksual.

Bahkan melansir dari cnn.com menurut Ketua Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, Lincolin Arsyad, dia menilai peraturan ini membuat penilain standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, persetujuan dari para pihak. Hal ini pun diperparah dengan pasal sebelumnya yaitu pasal 3 yang mana tidak dimasukkannya landasan agama pada prinsip pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Di lain sisi, pihak Mendikbudristek pun menanggapi hal tersebut dengan sanggahan bahwa tidak ada satu pun kata dalam peraturan ini yang memperbolehkan perzinaan. Tajuk di awal peraturan ini pun adalah ‘pencegahan’, bukan ‘pelegalan’. Sehubungan dengan itu Mendikbudristek memiliki alasan yang jelas bagaimana penting dan urgennya penerbitan Peraturan Mendikbudristek Nomor 30/2021 ini.

Dalam laporan Mendikdubristek yang disampaikan Menteri Pendidikan Budaya Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, mencatat bahwa 77 persen dosen mengakui tindak kekerasan seksual terjadi di lingkup perguruan tinggi. Dari 77 persen tersebut, 63 persen diantaranya memilih untuk tidak melaporkan tindak kekerasan seksual yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan mereka khawatir terhadap stigma negatif dari masyarakat yang akan disematkan kepada penyintas.

Kondisi inilah yang dirasa melandasi betapa urgennya peraturan ini, apalagi kasus-kasus yang terdeteksi selama ini hanyalah segelintir dari banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang masih belum terungkap. Sehingga diharapkan dengan adanya peraturan ini tindak kekerasan seksual di intansi pendidikan dapat ditekan serendah mungkin dan nantinya akan memberi rasa aman dan nyaman bagi seluruh sivitas akademik ketika beraktivitas di dalam dan luar kampus.

Dalam perdebatan sengit antara urgensitas dan ambiguitas yang  masih bergulir hingga sekarang, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dengan tegas mendukung kebijakan Mendikbudristek Nomor 30/21 tersebut. Dukungan itu pun direalisasikan dengan dibuatnya Surat Edaran Sekretaris Jendral Kemenang kepada Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) di seluruh Indonesia. Walau pun perihal pengimplementasian dan tindak lanjut Surat Edaran dukungan tersebut dikembalikan pada masing-masing rektor terkait.

Peneliti:                      Nurhasanah

Sumber:                     CNN Indonesia

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas