SUAKAONLINE.COM- Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka menggelar diskusi publik dalam rangka memperingati milad LPM Suaka ke-37 di Aula Student Center lt. 1, Kampus 1 UIN SGD Bandung, Sabtu (28/10/2023). Dengan mengangkat tema “Mahasiswa Disabilitas dalam Kampus Inklusif”, salah satu mahasiswa penyandang disabilitas UIN SGD Bandung, Hazar Maliki menyampaikan keresahan di kampus.
Menurutnya, saat suatu lembaga menerima mahasiswa penyandang disabilitas diperlukan sarana dan prasarana yang optimal. Salah satunya dengan kampus melek terhadap teknologi seperti adanya speech to text dan audio book untuk membantu penyandang disabilitas untuk mandiri.
“Kita ingin inklusif, kita ingin berjalan bareng temen-temen, ingin mandiri juga, bukan berarti kita ingin menjadi beban atau stigma yang hadir setiap harinya. Tapi kita ingin berjalan hingga akhirnya gelar sarjana ini bukan hanya gelar S.Pd atau semacamnya, tapi gelar yang berdampak di masyarakat juga,” ungkapnya, Sabtu (28/10/2023).
Selain sarana dan prasarana, baginya regulasi juga sangat penting. Namun, sampai saat ini di beberapa perguruan tinggi khususnya PTKIN, regulasi bagi mahasiswa disabilitas masih belum ada. “Kampus ini mau menerima penyandang ya dikuotakan, nanti regulasi dan sarana prasarana bisa terdorong karena penyandangnya juga ada. UU disabilitas ini sudah ada dari tahun 2016 tapi sampai hari ini masih nihil di banyak kampus,” jelasnya.
Di samping itu, Kepala Bidang Sosial Politik HIMA Pendidikan Khusus UPI Bandung, Naura Fauziah menjelaskan bahwa kampus inklusif harus mengikutsertakan seluruh individu tanpa ada tembok pembatas antara penyandang disabilitas dan bukan penyandang disabilitas. Juga, lembaga pendidikan harus memberikan hak-hak berupa kemudahan aksesibilitas baik fisik seperti guiding block, lift, serta aksesibilitas non fisik seperti adanya Juru Bahasa Isyarat (JBI) dalam perkuliahan.
“Kampus sebagai lembaga perguruan tinggi yang dengan bangganya mengekspos di media bahwa ia kampus yang ramah disabilitas, itu harus memenuhi fasilitas-fasilitas dan kebutuhan individu dari setiap teman disabilitas,” jelasnya.
Lebih lanjut, menurut Naura, lembaga pendidikan inklusif tidak akan terwujud apabila pihak birokrasi kampus serta mahasiswa lainnya masih memiliki pandangan bahwa penyandang disabilitas merupakan makhluk lemah, serta individu yang tidak mampu melakukan kegiatan yang biasa dilakukan oleh individu lainnya.
“Kampus atau lembaga inklusif tidak akan pernah terbentuk apabila masih ada anggapan bahwa disabilitas adalah makhluk yang lemah, makhluk yang selalu membutuhkan bantuan. Padahal kita semua ini setara memiliki kesempatan yang sama, memiliki kelebihan dan kekurangannya,” kata Naura.
Sama halnya Naura yang tegas akan kerjasama antar mahasiswa dan kampus, salah satu peserta, Alena Mansika mengatakan bahwa hal paling mendasar untuk membantu penyandang disabilitas di UIN Bandung adalah dengan melakukan pendataan, audiensi, serta advokasi di setiap jurusan melalui Himpunan Mahasiswa Jurusan. Ia juga menyampaikan perlu adanya sosialisasi bagi mahasiswa lain agar diperhatikan lagi bahwa di UIN Bandung ada mahasiswa penyandang disabilitas.
“Mari kita mulai dengan cara pendataan di setiap fakultas ataupun setiap jurusan melalui HMJ kemudian ke DEMA, kemudian kita berdiskusi dengan rekan-rekan disabilitas, adakah suatu permasalahan yang selama ini mereka rasakan dan belum ada jalan keluarnya. Jadi kita melakukan advokasi dan audiensi, menyampaikan ke pihak dekanat kemudian sampai ke rektorat untuk ditindak lanjuti,” jelas Alena.
Reporter: Nia Nur Fadillah/Suaka
Redaktur: Mohamad Akmal Albari/Suaka