Kampusiana

Dunia Tersembunyi: Angkat Isu Kesenjangan Sosial dari Perspektif Perempuan

Sekar berkonflik dengan badut yang menggambarkan halusinasinya dalam pementasan “DUNIA TERSEMBUNYI: Bercak Merah dalam Bayang Tangga Kuasa” oleh Teater Awal Bandung di Gedung Student Center UIN Bandung lantai 4, Sabtu (23/11/2024). (Foto: Dandi Muhammad Hanif/Suaka).

SUAKAONLINE.COM – Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Awal Bandung menggelar pertunjukan teater bertajuk “Dunia Tersembunyi: Bercak Merah dalam Bayang Tangga Kuasa” pada Sabtu (23/11/2024). Pertunjukan yang berlangsung di Gedung Student Center UIN Bandung lantai 4 ini merupakan kegiatan insidental dan sebelumnya pernah ditampilkan di Gandrung Milad XXXVII Teater Awal Bandung.

Pertunjukan ini mengangkat isu kesenjangan sosial yang dikemas apik dalam rentetan halusinasi gadis kecil bernama Sekar yang baru saja datang bulan. Cerita bermula ketika Sekar sedang memulung sampah, lalu ia melihat cermin retak, kemudian ia tenggelam dalam halusinasi akibat dari ketidakteraturan emosi dan kesakitan setiap bulan yang kerap menyergap perempuan tatkala menstruasi bertandang.

Halusinasi Sekar mencerminkan beragam isu sosial yang kerap menghantam psikis hingga fisik perempuan. Keempat badut menjadi simbolisasi dunia dalam pikiran Sekar sendiri. Alur diawali dari keempat badut yang terus memaksa Sekar menerima bahwa ia akan segera datang bulan dan merasakan kesakitannya. Tentu Sekar, gadis kecil piatu yang ditelantarkan ayahnya dan memulung sampah demi sesuap nasi, menolak sekuat-kuatnya.

Seram halusinasi Sekar tidak berhenti di situ. Bayang-bayang trauma masa lalu seperti pertengkaran orang tua, pengusiran yang ia dan ibunya alami dari ayahnya, kematian ibunya, hingga gambaran diperkosa tokoh agama, menghantui pikirannya. Ada kalanya Sekar tertawa menerima kenyataan lewat simbolisasi memainkan balon merah sambil tertawa getir.

Representasi Kritik terhadap Isu Sosial

Isu sosial yang lebih luas tak luput dari kritik pementasan ini. Terdapat adegan di mana Sekar dipaksa memakan kepala yang sudah rusak dan meminum segelas darah. Ketika Sekar menolak, seorang badut berseru, “Lihatlah para penguasa! Mereka memberikan makan dan minum pada keluarganya tanpa mengetahui sumbernya dari mana!” Sebuah kritik sosial atas keserakahan para pejabat korup yang memeras rakyat, termasuk rakyat yang terlunta memulung sampah yang digambarkan sosok Sekar.

“Maka nikmatilah dunia ini, seakan kamu bisa hidup di dalamnya,” merupakan salah satu kutipan dari seruan empat badut yang menggetarkan hati penonton. Penampilan ditutup dengan riuh tepuk tangan dan sorakan kebahagiaan penonton, setimpal dengan persiapan pertunjukan yang memakan waktu 8 bulan. Setiap kata, gerakan, alur, bahkan properti pertunjukan pun mengandung maknanya tersendiri.

“Ada satu objek yang cukup kuat ya, yaitu cermin yang ada di tempat sampah ini. Nah, cermin ini jadi bentuk jembatan bagaimana si tokoh utama Sekar ini bisa masuk ke dalam dunia yang ada di pikirannya sendiri. Nah, cermin ini menjadi simbol juga bagaimana kita bisa merefleksi diri. Jadi, melambangkan ataupun menyimbolkan bahwasannya pikiran diri sendiri itu lebih bahaya daripada omongan-omongan orang lain dari luar,” ujar sutradara pertunjukan “DUNIA TERSEMBUNYI: Bercak Merah dalam Bayang Tangga Kuasa”, Azhar Libun.

Pertunjukan ini bermaksud mengangkat isu kesenjangan sosial dengan cara yang lebih unik dan perspektif yang lebih luas. Hal ini tergambarkan dari pembukaan pertunjukan di mana Sekar dengan rambut berantakan dan pakaian lusuh, sedang memulung sampah sendirian di malam hari. Rangkaian adegan selanjutnya menyentil isu perempuan dengan menunjukkan penolakan Sekar akan tibanya masa ia datang bulan. Namun, sebagaimana masa tersebut tak dapat ditolak, keempat badut memaksa menarik tubuh Sekar dengan kain merah dan mengatakan bahwa dengan menerima datang bulan, Sekar akan mengetahui dunia lebih luas lagi.

Rentetan halusinasi Sekar pun tidak menunjukkan keadaannya yang membaik. Salah satunya, terdapat adegan ketika ia dipersilakan beristirahat di sebuah tempat oleh ustadz. Setelah itu, ustadz tersebut menyuruh Sekar memakai selimut sebelum akhirnya membungkus tubuh Sekar dari belakang dengan selimut itu, mengilustrasikan pemerkosaan oleh tokoh keagamaan. Pertunjukan ditutup dengan adegan di mana Sekar marah dan menangis di bawah lampu listrik dengan mengenakan pakaian pengantin, penggambaran dari sebuah pernikahan yang gagal, namun juga menunjukkan keberhasilannya bertahan hingga sejauh itu.

Walau sudah pernah dipentaskan sebelumnya pada Gandrung Milad XXXVII, Azhar menyatakan bahwa terdapat perbedaan pertunjukan ini dengan pertunjukan sebelumnya, yakni perbedaan dekorasi, improvisasi konsep karena perbedaan tempat pertunjukan, dan pengembangan bentuk pertunjukan yang signifikan. Kreativitas ini tentu sukses memukau penonton yang berasal dari kalangan mahasiswa hingga para pengamat seni.

Salah satu penonton yang merupakan mahasiswa UIN Bandung semester tiga, Zahra Aulya Asikin, menyatakan bahwa durasi pertunjukan yang berlangsung selama kurang lebih 1 jam ini tidak terasa lama, saking terhanyutnya ia dengan penampilan para aktor dan aktris pertunjukan, “Keren banget, sih, mereka bisa membawakan cerita yang kompleks tapi enggak bikin kita pusing juga,” ungkap Zahra.

Zahra juga takjub dengan pertunjukan teater yang sangat menyentuh emosinya. Penggambaran kesendirian Sekar sebagai anak sebatang kara sukses memasuki relung hatinya. “Menstruasi itu hal pertama yang dia rasakan dan dia enggak tahu harus kayak gimana. Tapi di sisi lain, tadi kan dilihatin sampai dia nikah ya. Itu berarti dia bisa survive meski dia sendiri. Dia bisa berdiri di atas kakinya sendiri,” komentar Zahra.

Zahra juga menunjukkan rasa puasnya akan pertunjukan teater yang telah ditampilkan. Ia berharap agar Teater Awal dapat terus mempertahankan kualitas pertunjukannya. “Sebenernya ini tuh udah sangat bagus gitu, udah bener-bener ngasih kita, wah, gila nih ini keren banget gitu. Harapan aku, semoga teater yang sekarang ditampilkan itu bisa … bukannya ini gak keren, ini udah keren banget, tapi, semoga (pertunjukan teater lainnya) bener-bener bisa bikin kita semerinding itu gitu, seemosional itu,” tutupnya.

Reporter: Hanifah Flora Reine & Dandi Muhammad Hanif/Suaka

Redaktur: Zidny Ilma/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas