Lintas Kampus

Hari Raya Galungan, Maknai Kebaikan Melawan Keburukan

Sejumlah umat Hindu tengah mendengarkan dharmawacana (khotbah) dari Pemangku di Pura Sweta Maha Suci, Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Rabu (16/9/2020).(Faiq Rusydi/Suaka)

SUAKAONLINE.COM – Sejumlah umat Hindu berkumpul untuk melaksanakan upacara Hari Raya Galungan di Pura Sweta Maha Suci, Desa Balun, Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan pada Rabu (16/9/2020). Dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, upacara tersebut rutin dilakukan setiap tujuh bulan atau 210 hari sekali. Upacara ini diartikan sebagai pemaknaan atas kemenangan kebaikan (dharma) melawan keburukan (adharma).

Menurut Pemangku Pura Sweta Maha Suci, Tadi mengatakan bahwa kata Galungan sendiri berasal dari bahasa Jawa Kuno, yang berarti pertarungan atau pergulatan, yakni pertarungan dharma melawan adharma atau kebaikan melawan keburukan. Hal ini diperingati karena sifat kebaikan dan keburukan selalu berlomba-lomba untuk menguasai diri, sehingga umat Hindu selalu berusaha berbuat baik agar sifat keburukan, sifat tidak baik, sifat kebutaan atau sifat setan tidak menguasai diri manusia.

Lebih lanjut, Tadi menjelaskan dalam diri manusia itu ada dua sifat, dipengaruhi sifat kedewatan dan sifat kebutaan. “Dalam diri manusia itu ada dua sifat, yaitu dipengaruhi sifat kedewatan dan sifat kebutaan. Dengan menangkan dharma, maka tidak gampang dikuasai oleh sifat kejelekan, sehingga bisa lebih tenang dan lebih jernih dalam berfikir. Karena dharma jalan untuk menuju surga,” ujarnya, Rabu (16/9/2020).

Upacara ini tidak hanya dihadiri oleh umat Hindu dari Kabupaten Lamongan saja, umat Hindu yang berasal dari daerah lain seperti Kabupaten Gresik dan Kabupaten Bojonegoro juga turut menghadiri upacara tersebut. Upacara ini juga diikuti oleh semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang tua.

Persiapan upacara sudah dilakukan sejak pagi hari dimulai dengan menyiapkan sarana ibadah seperti sarana banten atau sajen, air dan dupa. Kemudian acara dimulai dengan dharmawacana dilanjut ibadah, dilaksanakan dari jam tiga sore sampai petang atau setelah magrib. Kekhusyukan umat Hindu dalam melaksanakan upacara Hari Raya Galungan tidak terganggu dengan aktivitas azan magrib dari masjid yang bersandingan dengan pura.

Tadi juga mengatakan saat pelaksanaan ibadah Galungan ini, umat-umat beragama di sekitar Pura Sweta Maha Suci saling menghormati dan saling toleransi. Ketika waktu menunjukan untuk azan magrib, biasanya sebelum pelaksanaan azan itu ada pembacaan ayat Al-Qur’an (Qira’ah) terlebih dahulu. Namun karena menghargai agama lain yang sedang beribadah, kegiatan Qira’ah tersebut ditiadakan sehingga langsung mengumandangkan azan magrib.

Dengan adanya sikap tersebut, Tadi pun menambahkan bahwa Desa Balun lebih dikenal dengan julukan Desa Pancasila. Dimana umat beragama tersebut hidup saling berdampingan dengan damai dan tentram. Bahkan ketika ada peringatan hari raya besar keagamaan, umat agama lain turut berkontribusi dalam alur keamanan acara.

“Kalau Galungan ini tidak diperlu dijaga oleh umat agama lain, itu hanya terjadi ketika Hari Raya Nyepi, pemuda masjid dan pemuda gereja turut membantu menjaga keamanan dan kenyamanan. Begitu juga sebaliknya, kalau umat Kristen dengan Hari Raya Paskah dan umat Islam dengan Hari Raya Idul Fitri, pemuda pura yang turut membantu,” tambah Tadi.

Salah seorang pengunjung pura, Kelvin juga memaknai Hari Raya Galungan sebagai kemenangan kebaikan atas keburukan. “Pelajaran rohani mengenai ketenangan pikiran dan ketenangan lahir batin. Karena pada dasarnya manusia yang tenang lahir batinnya adalah manusia yang benar-benar berhasil melawan adharma dalam diri. Tapi setiap orang termasuk Saya sendiri tidak tahu apakah kita sudah menang melawan adharma atau belum.” Tutupnya, Kamis (17/9/2020).

Reporter: Faiq Rusydi

Redaktur: Hasna Fajriah

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas