Erwin Setia*
Hari itu saya pulang telat dari kampus. Sumber cahaya bukan lagi bola panas bernama matahari, melainkan sepotong bulan, gugus bintang, dan lampu-lampu kendaraan serta lampu-lampu kios yang bergelantungan. Rumah kos saya dekat saja, dapat ditempuh kira-kira lima menit dengan menaiki motor. Tapi kali ini saya memilih jalan kaki dan itu menghabiskan waktu sekitar tiga kali lipat dibanding bermotor.
Saya berjalan terus, kadang menunduk barangkali menemukan lembar uang tercecer di jalan, kadang memerhatikan sekeliling, melirik perempuan-perempuan cantik melintas atau kuliner-kuliner yang terjaja di sepanjang jalan.
Saya mempercepat langkah agar lekas sampai rumah dan terus menambah kecepatan, sebelum seorang bocah lelaki yang terduduk menangis dan memegangi perutnya di tepi jalan dekat gorong-gorong membuat langkah saya terhenti.
Saya mendekati bocah itu dan berusaha membangun percakapan dengannya. Pada detik-detik awal komunikasi sama sekali tidak berjalan seimbang. Saya terus bicara dan bertanya macam-macam, sedang dia masih saja menangis. Situasi itu membuat saya merasa bersalah. Terlebih beberapa orang lewat dan memandangi saya dengan mata bak pistol yang menembak saya seolah-olah saya tersangka suatu kasus kriminal.
Lima menit kemudian—saya suka melihat jam tangan dan itulah kenapa saya bisa menyebut waktu secara presisi—bocah itu berhenti menangis. Tangannya yang penuh bekas luka gatal dan kurus kering beralih dari perutnya ke tangan saya. Ia memasang wajah minta dikasihani, dan itu membuat rasa iba saya yang sudah terbit sejak awal berlipatganda.
“Saya lapar. Saya lapar. Saya lapar,” kata bocah itu, tiga kali persis jumlah dalam syarat pengucapan mantra. Tapi saya yakin betul ia tidak sedang mengucap mantra, melainkan bersungguh-sungguh bahwa ia sedang butuh pengisi perut.
Sebelum saya menimpali perkataannya itu, saya mengingat-ingat isi dompet, dan saat saya merasa kondisi dompet saya cukup menggembirakan, saya katakan padanya, “Iya, Dik. Tenang dulu. Nanti kita beli makanan buat kamu.”
Ia mengulangi lagi keluhannya.
“Saya lapar. Saya lapar. Saya lapar.”
Tangannya yang nyaris kehabisan tenaga berusaha mengguncangkan tangan saya. Sepertinya ia betul-betul kelaparan dan itu membuat saya langsung menggaet tangannya. Saya akan membawanya ke lapak nasi goreng langganan. Tidak jauh dari tempat saya berada.
“Gendong. Saya tidak kuat berjalan,” pinta bocah itu. Menatap wajahnya membuat saya tak dapat bereaksi apa-apa selain langsung mengangkat tubuhnya dan membiarkannya mencangkung di punggung saya.
Saya melanjutkan langkah, menuju lapak nasi goreng. Sambil berjalan saya memikirkan tentang apa yang tengah saya perbuat. Mengapa saya mau menolong anak itu dan tidak mengabaikannya saja sebagaimana kebanyakan orang.
Pikiran itu menggiring saya kepada pikiran dan ingatan lain. Pikiran itu serupa kunci yang membuka pintu-pintu masa silam saya. Di balik pintu saya melihat sebuah buku dan sebentang masa kecil.
Saya ingat, saya pernah membaca novel Lapar karya Knut Hamsun. Selain menggambarkan penderitaan seorang penulis, buku itu juga menambah kepekaan saya terhadap masalah lapar, kelaparan, dan orang-orang yang lapar. Saya juga ingat ketika kecil saya hidup susah payah. Saya tumbuh dalam keluarga yang penghasilannya gampang membuat orang lain bersikap meremehkan dan merendahkan. Sehari-hari, dulu, untuk makan saja rasanya sulit minta ampun. Tak heran kerap berhari-hari saya, kakak-kakak saya, dan orang tua saya mesti menanggung kelaparan. Itu lampau dan kondisi saya sekarang telah jauh membaik.
Dua hal itu, saya kira, ikut andil membuat saya mudah saja memutuskan untuk menolong bocah itu. Bocah tak bernama yang kelaparan.
“Nama kamu siapa, Dik?” tanya saya masih sambil berjalan.
“Saya tidak punya nama.” Suaranya terdengar lemah.
“Bagaimana mungkin?” Tentu saja saya heran.
“Saya memang tidak punya nama. Saya bahkan tidak punya orang tua.”
Kata-katanya itu kian meruncingkan rasa penasaran saya.
“Saya tidak punya nama. Tapi orang-orang punya sejumlah panggilan untuk saya. Kadang saya dipanggil Jangkumel, Sigoblok, Kucel, Bocah gak berguna, dan masih banyak lagi. Bisakah itu disebut nama?”
Saya memandang ke belakang, memandang wajah bocah itu. Ada semacam jarum yang tiba-tiba jatuh dan menusuk hati saya. Gendongan saya pererat. Langkah saya percepat. Lapak nasi goreng telah terlihat. Waktu yang melingkar di tangan menunjukkan bahwa saya sudah menggendongnya sekira empat menit.
Ketika akhirnya tiba di lapak nasi goreng, saya memesan dua porsi. Dua porsi untuk bocah itu, sementara saya hanya akan menemaninya. Saya belum lapar. Lagi pula, di rumah masih ada nasi dan sisa lauk tadi siang.
Lapak masih sepi. Dengan cepat, sepiring muntung tersaji di meja. Bocah tanpa nama yang duduk di hadapan saya menatap piring berisi nasi goreng itu dengan berbinar-binar. Berbinar-binar barangkali bukan kata yang tepat. Yang jelas ia terlihat amat senang, dan kesenangannya kian bertambah ketika ia mulai menyuap makanan di hadapannya.
Ia makan lahap sekali, penampakan makan paling lahap yang saya pernah temui. Melihatnya demikian saya bungah. Setidaknya saya telah membebaskan perut satu orang manusia dari rasa lapar. Meskipun barangkali hanya sebentar dan selanjutnya perut itu akan kembali lapar.
Dalam waktu relatif tak terlalu lama—tujuh belas menit—nasi di piringnya tandas beserta acar dan cabainya. Ia menenggak air putih dan tampak puas sekali. Saya semakin senang.
Setelah membayar dan keluar dari lapak itu, saya berjalan bersamanya. Kali ini ia tidak minta digendong. Ia punya tenaga cukup untuk jalan kaki.
Kami berjalan beriringan dan ia mengucapkan terima kasih kepada saya berkali-kali.
“Setelah ini kamu akan ke mana?”
“Saya akan menuju ke kebahagiaan.”
Ia ringan saja berkata seperti itu. Bahkan sambil menyunggingkan senyum. Seolah-olah apa yang baru diucapkannya adalah hal lumrah dan biasa orang katakan.
“Apa yang kamu maksud?”
Ia tidak menjawab pertanyaan saya. Ia izin pamit dan bilang akan menuju sebuah tempat di seberang jalan.
Saya melepasnya pergi. Sebelum itu, saya sempat mengangsurkan selembar uang namun ditolaknya. Ia melangkah, melihat kanan-kiri, lalu menyeberang jalan. Peristiwa selanjutnya yang mata saya tangkap adalah sebuah motor berkecepatan iblis menyeruduk bocah itu. Ia terpental beberapa meter. Saya dan orang-orang yang sebelumnya tak acuh bersicepat mengerubungi jasad bocah itu, yang telah menjadi mayat. Tubuhnya hancur. Alangkah malang nasibmu, Dik, pikir saya. Tapi rasanya saya harus meralat pikiran tersebut. Ia tidak bernasib malang. Justru kematian itu adalah takdir yang menyenangkan baginya. Setidaknya, ia mati dalam keadaan kenyang dan ia tak akan lagi merasakan lapar di masa depan.
* Penulis merupakan mahasiswa semester dua jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN SGD Bandung. Aktif menulis cerpen dan terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018).