Oleh Wahyu Iryana*
Menguatnya intoleransi sesunggunya rawan perpecahan bangsa. Bukanlah hal ini bukan barang baru di negeri ini? namun kita pun masih bertanya-tanya, apakah suguhan intoleransi merupakan sebuah ancaman besar ataukah itu justru merupakan potensi menuju Indonesia baru yang lebih progresif dan revolusioner?
Di sinilah perlunya revitalisasi kesadaran kolektif dengan melakukan koreksi total terhadap berbagai aspek pemerintahan dan sistem ketata negaraan yang telah dilegalisir. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah agama-agama yang diakui di Indonesia secara konstitusional atau organisasi yang bernafaskan keagamaan cukup serius dan sungguh-sungguh untuk melakukan koreksi total terhadap kesadaran berbangsa dalam bingkai kebhinekaan tersebut? Jika tidak, proses disintegrasi sosial dan politik di Indonesia akan terbuka lebar dan semakin sulit diatasi.
Belum terwujudnya kontrol sosial yang menyeluruh dalam lapisan masyarakat mengharuskan setiap individu dalam ranah keanekaragaman berbangsa, harus sadar akan pentingnya kesamaan visi keadilan di negeri ini. Di lain pihak jika proses pemilihan politik mau tidak mau menguras energi untuk saling menghakimi kesalahan sesama, sementara hampir semua mata rakyat Indonesia melihat bahwa proses mengawal reformasi masih merupakan babak baru dalam mengubah haluan sejarah perpolitikan, maka dalam jangka panjang bangsa Indonesia memerlukan energi pembangkit untuk berperan mewuujudkan solusi konkrit. Karena berpolitik adalah bagian yang tidak bisa dinafikan dalam mengarahkan perjuangan bangsa yang diinginkan rakyat Indonesia.
Semangat Kebangsaan
Sebagai warga yang baik tentu kita sepakat bahwa tugas para pemimpin sehingga mereka terpilih oleh rakyat, tentu dengan ongkos pemilihan yang mahal. Namun demikian kiranya tujuan bijak yang hendak dituju adalah untuk menciptakan negara kesejahteraan, sehingga jelas tujuan akhirnya adalah kemakmuran rakyat. Emplementasi seorang pemimpin yang dipilih rakyat setidaknya berupaya meresapkan rasa keadilan merata kepada semua pihak apapun bendera partainya, budaya, suku, bahasa dan agamanya. Pemimpin dalam literatur Derbon bermakna wong agung yang idealnya mampu memberi rasa nyaman siapapun, Tarub berteduh dimana kontrak sosial diakadkan dengan tujuan utama bersama membangun keadaban masyarakat demokratis.
Kerangka imajinasi kita hendaknya harus mampu menembus sekat-sekat peradaban yang menghegomoni kesejahtraan rakyat, walaupun wong agung yang diharapkan sebagai pengayom pada praktiknya ternyata kerap mengalami pasang surut karena terjerat belenggu oyod mingmang, kerap terjangkit kegaulan bersikap bijak, dan kebuntuan mengambil peran-peran urgen yang menentukan nasib rakyat yang memilihnya.
Dalam literasi nalar imajinatif masyarakat Dermayu-Cirebon berganti wujud untuk menjadi orang lain, merupakan strategi politik untuk mengelabui lawan agar mendapatkan kemulyaan. (Tan hana sawiji wiji sejatining manusa sinatria malih rupa, ngongkrod jebol wawanen kamulyan). Namun di sisi yang lain menjadi naif karena pada akhirnya seorang pejabat yang sudah berubah baju dan bendera sekalipun tidak mampu berbuat banyak karena sistem yang sudah massif bagaikan Oyod Mingmang yang membelengu.
Khasanah literasi politik manusia Derbon bisa disematkan dalam Wong asih ora kurang pengalem, wong sengit ora kurang penyacad (orang yang pengasih tidak kurang pujian, orang yang pemarah tidak kurang celaaan). Agar target untuk menjalankan roda pemerintahan setelah terpilih bisa dioptimalkan.
Karena pada akhirnya yang kita temui adalah wong becik ketitik, wong ala ketara (manusia baik ketauan, manusia jahat kelihatan). Makna yang lebih luas apabila dikaitkan dengan nalar positip para pemimpin agar menjadi pepakem adalah kebaikan dan kejelekan seorang pemimpin tidak akan bisa ditutup-tutupi, karena suatu saat apabila ia berbuat kesalahan ataupun kebaikan rakyat akan mengetahui. Kenyataan yang sejati menyadarkan kita bahwa perilaku politik di negeri ini masih jauh dari dambaan rakyat pada umumnya.
Politisi busuk yang berakar pada laku lampah sesat, saling mencaci dan membeci, menebar fitnah, bekerja untuk populeritas, melakukan kejahatan kolusi, korupsi dan nepotisme yang mendasari gerbang candradimuka buatan sengkuni yang oleh Stanislav Andreski (1968) disebut Kleptocracy or Corruption as a System of Government, Negara Kleptokrasi; praktik korupsi dilakukan secara terorganisir yang dimainkan empat aktor intelektual: pejabat negara, aparat birokrasi, anggota parlemen, dan sektor swasta yang dimainkan oleh para pengusaha. Teringat pernyataan Imam Ali bin Abu Thalib yang mengatakan kejahatan yang terorganisir mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.
Jangan-jangan negara kita terjangkit sindrom obor blarak, terjebak pada kekayaan alam yang tak terhingga, namun angka kemiskinan semakin menampakkan grafik menaik, menjadi bangsa yang berada di halaman belakang dari lembaran bangsa-bangsa Dunia. Tentu saja kekayaan khasanah kearifan lokal masyarakat Indonesia di seluruh penjuru tanah air mesti dijadikan modal sosial agar menjadi darah segar yang memompa keseluruh jasad manusia Indonesia untuk meraih keadaban hidup berkesejahtraan yang sesungguhnya.
Hal ini harus dipahami sebagai kepentingan universal yang mendesak karena budaya high culture harus tetap terbuka terhadap nilai-nilai counter hegemonic. Hal ini penting bagi survivalitas antar etnis secara kolektif. Kearifan lokal harus melakukan dekonstruksi nilai-nilainya yang tidak kondusif terhadap demokrasi, tanpa menghilangkan nilai-nilai luhur tata hidup berbangsa.
Ditahun politik sekarang ini para pemimpin kita yang kebanyakan para petinggi partai kembali diuji, dengan tawaran-tawaran manis kepada publik, untuk mendukung para calon yang diusung, agar kembali duduk dikursi. Mampukah para pemimpin dapat keluar dari jalan yang berair itu? ataukah terjebak kembali dalam lautan air yang menggunung karena centang berenang? Para pemimpin yang sedang manggung saat ini hendaknya mampu melakukan komunasi menyeluruh, bersikap konsisten, mampu memilah memilih mana kepentingan negara-rakyat dan mana kepentingan partai.
Manusia pada dasarnya memiliki cita-cita dan keinginan hidup yang tinggi. Alfred Marshall, pakar ekonomi Inggris, mengatakan bahwa kemajuan dalam perhiasan hidup akan meninggalkan standar penghidupan, dan kalau hal ini yang terjadi maka keadaan ekonomi rakyat akan bertambah baik. Faktanya sekarang, pemerintah dalam panggung sejarah Indonesia mengharuskan kita untuk menerima kenyataan bahwa pertarungan dan perebutan kekuasaan yang terjadi mengakibatkan kelalaian dan tugas suci untuk melayani publik.
Kiranya tentu akan lebih baik jika persoalan yang tengah melilit bangsa Indonesia segera diselesaikan. karena rakyat awam sekalipun akan selalu memberikan isyarat tanda tanya terhadap berbagai kerisauan berdemokrasi di negeri ini perlu segera diakhiri. Pemerintah, serta para anggota dewan dari manapun partainya harus segera melakukan kerja-kerja kolektif, terutama untuk memberikan solusi sebagai bagian dari pembelajaran politik masyarakat. Jika tidak, hal ini akan membekas pada memori politik masyarakat Indonesia sehingga dapat mendorong sikap apatis yang berakibat pada disintegrasi bangsa dalam rotasi oyod mingmang.
Sejatinya persoalan bangsa bukan terletak pada bagaimana cara menyatukan keragaman tetapi bagaimana menerima dan merayakan perbedaan itu sebagai wahana kearifan yang tidak terhingga bagi kemajuan bangsa ini. Setidaknya harapan untuk membangun keadaban demokratis dan masyarakat yang berkeadilan sosial, bisa segera terwujud. Wallahualam.
|Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Sejarah UNPAD. Dosen Sejarah Peradaban Islam FAH UIN Sunan Gunung Djati Bandung.