Oleh: Muhammad Rifqi
Belum kering tanah di lapang mendung telah kembali datang, mungkin itulah sedikit kalimat puitis untuk menggambarkan keresahan dan kekecewaan mahasiswa UIN SGD Bandung, terkhusus seluruh mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ataupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) pada umumnya.
Mengapa demikian? Sebenarnya jawaban dari pertanyaan tersebut kita sudah saling mengetahui bahkan merasakan sendiri. Perkuliahan yang di rumahkan dengan segudang hambatan dan permasalahan yang dijalankan ini membuat mahasiswa menjadi menaruh banyak harapan kepada pemangku kebijakan di tataran kementrian maupun di tataran perguruan untuk memperhatikan kondisi mahasiswa yang kelabakan di tengah pandemi dalam membiayai operasional perkuliahan.
Jutaan harapan dari mahasiswa tersebut berubah menjadi gumam yang semakin hari menjadi bertambah besar, sejalan dengan kondisi mahasiswa yang merasa kian berat membiayai operasional perkuliahan tersebut yang minim bantuan ataupun perhatian. Logikanya sederhana, mahasiswa dituntut melaksanakan perkuliahan daring sementara untuk mengakses jaringan mereka harus membiayai sendiri, tentu untuk seminggu-dua minggu mahasiswa masih bisa mengusahakan untuk membelinya meskipun terbelit dengan kebutuhan lain.
Tapi kenyataannya mulai dari keluarnya Surat Edaran Kemendikbud untuk pembelajaran daring tanggal 17 Maret 2020 hingga sampai tulisan ini dibuat, mahasiswa khususnya PTKIN tetap saja harus mengeluarkan kocek yang cukup besar setiap minggunya untuk membiayai hal tersebut.
Di saat mahasiswa menunggu kerang ajaib turun di tengah permasalahan yang mereka rasa, secercah kebahagiaan pun datang. Dengan Surat Edaran Nomor. B-752/DJ.I/HM./04/2020, Kemenag mengambil langkah strategis guna mengatasi penurunan ekonomi mahasiswa karena imbas pandemi ini dengan kebijakan mengurangi UKT semester ganjil 2020/2021 dengan besaran minimal 10% pemotongan. Tentunya kebijakan ini kecil-besarnya memberi kebahagian bagi mahasiswa yang mabuk diberuk berayun karena setidaknya telah ada perhatian kepada mahasiswa.
Namun nampaknya kebahagiaan itu hampa karena belum terasa, bahkan berujung kecewa karena ketidakjelasannya kebijakan atas hal itu, diskon minimal 10% yang sudah terbilang kecil tersebut akhirnya kembali dicabut. Surat pencabutan itu dengan Nomor. B-802/DJ.I/PP.00.9/04/2020 tertanggal 20 April 2020. Mahasiswa merasa terkena prank lelucon praktikal yang dimainkan oleh beberapa orang, yang umumnya menyebabkan korbannya kaget, dan tidak nyaman atau keheranan. Sontak mahasiswa pun merana, merasa dijadikan bahan lelucon karena kebijakan yang menyangkut mahasiswa telah permainkan.
Konsekuensi dari kasus tersebut membuat gelombang salju perjuangan mahasiswa semakin membesar. Mahasiswa PTKIN seluruh Indonesia menyatukan suara, bahu membahu menggencarkan aksi-aksi yang difokuskan untuk menuntut pemangku kebijakan mengambil langkah tegas yang pro terhadap mahasiswa.
Media-media sosial penuh dengan gumam baik yang ditujukan kepada perguruan tinggi masing-masing atau langsung kepada kementrian terkait. Itulah sekelumit gambaran permasalahan mahasiswa PTKIN skala nasional, kita tinggalkan dulu pembicaran di sana, mari kita kerucutkan kepada persoalan-persoalan mahasiswa UIN SGD Bandung kaitan dengan universitas.
Merupakan hal wajar jika saat ini mahasiswa UIN SGD Bandung mulai dari organisasi mahasiswa intra dan ekstra kampus, unit kegiatan mahasiswa, aliansi-aliansi, forum-forum dan teman mahasiswa lainya berbicara, berdiskusi, mengkritik dan memberikan tuntutan kepada universitas perihal UKT. Mahasiswa telah membayar UKT dan sesuai dengan UU 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, UKT yang dibayarkan oleh mahasiswa adalah untuk memenuhi seluruh biaya operasional perkuliahan mahasiswa.
Kemudian UKT yang dibayarkan tentunya tidak terlepas dari hitungan Biaya Kuliah Tunggal (BKT), menurut Permenristekdikti Nomor 5 Tahun 2016 yang terbagi menjadi dua model yaitu Biaya Langsung (BL) dan Biaya Tidak Langsung (BTL). Komponen BL seperti sarana prasarana/alat/media penunjang pembelajaran secara langsung dan BTL seperti; air, listrik dan jaringan atau penunjang pembelajaran secara tidak langsung.
Artinya, dalam konteks perkuliahan secara online, mereka tidak merasakan itu semua yang sudah tercantum dalam BL yang telah mereka bayarkan. Secara sederhana sekalipun libur 1 hari saja, di tengah-tengah jadwal kuliah, maka terdapat nilai lebih BL yang diambil dari mahasiswa oleh kampusnya, sehingga seharusnya mahasiswa mendapatkan kembali uang kuliah yang telah mereka bayarkan atau membebaskan pembayaran UKT di semester depan.
Kemudian karena dalam BTL terdapat komponen jaringan yang tidak kita pakai di kampus, maka kampus sudah seharusnya memberikan hak kuota atau pulsa dan menjadi hak mahasiswa yang harus diberikan oleh kampus agar operasional perkuliahan di rumah bisa berjalan dengan sebaik-baiknya untuk seluruh mahasiswa. Itulah kiranya sebagian dari tuntutan organisasi mahasiswa intra dan ekstra beserta forum mahasiswa lainya yang telah mengirim surat terbuka kepada rektor.
Dengan banyaknya aspirasi yang disampaikan kepada pihak universitas dari mahasiswanya, setidaknya membuat kuping birokrat kampus berdengung. Kita perlu bersenang hati bahwa pihak kampus mendengar tuntutan-tuntutan dari mahasiswa dengan cepat. Berdasarkan Surat dengan Nomor B-111-/UN.05/1.2/PP.00.9/04/2020, pihak kampus mengadakan rapat koordinasi yang diikuti Wakil Rektor 3 dan Wakil Rektor 2 bersama seluruh Wakil Dekan 2 dan Wakil Dekan 3, para kepala biro dan kabag kemahasiswaan di lingkup UIN SGD Bandung.
Diantara poin yang keluar dari rapat ini khususnya yang berkaitan dengan diskon UKT. Pihak kampus berpendapat bahwa “SK Dirjen No. 657 sampai 697 Tentang Pemotongan UKT 10 % seharusnya tidak mentahsis aturan yang lebih tinggi yaitu KMA, semua PTKIN sepakat belum melaksanakan pemotongan UKT sampai ada aturan yang mengikat dan memerintahkan dalam bentuk KMA kemudian kendala lain ada pemotongan dana BOPTN/RM UIN bandung jumlahnya 22 M” itu penjelasan dari Wakil Rektor 2 yang katanya perlu diketahui oleh mahasiswa.
Lagi-lagi mendengar kabar tersebut kesenangan yang pernah hinggap kini telah kembali lenyap. Pihak universitas masih menolak tuntutan mahasiswa untuk pemotongan UKT dengan alasan belum ada Keputusan Mentri Agama (KMA) dan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi (BOPTN) universitas ditarik 22 M oleh Kemenag. Pihak universitas beranggapan edaran apapun dari Dirjen Pendis tidak bisa mentahsis KMA, dalam artian pihak universitas mau memotong UKT jika adanya KMA tersebut.
Aneh-aneh saja, justru mahasiswa menuntut universitas itu karena sakit hati dengan guyonan Kemenag, sedangkan universitas malah menunggu keputusan Kemenag yang suka bercanda itu. Padahal untuk pemotongan UKT ini bisa saja rektor mengeluarkan surat keputusannya, jika pihak universitas kekeuh harus ada pijakan aturan yang tinggi untuk hal ini rektor dapat mengingat UU. No. 22 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan PP No. 4 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.
Kemudian produk hukum dari Kementrian Agama seperti PMA RI No. 7 Tahun 2013 Tentang Organisasi dan Tata Kerja UIN SGD Bandung, KMA No. 211 Tahun 2018 Tentang Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri di Kemenag TA 2018-2019, PMA RI No. 14 Tahun 2015 Tentang Statuta UIN SGD Bandung terlebih lagi jika melihat BAB X Tentang Pendanaan dan Kekayaan yang dikelola secara otonom oleh universitas dimana rektor memegang kewenangan mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pengawasan dan pertanggung jawaban serta rektor dapat membuat keputusan juga mengajukan perubahan pengelolaan keuangan selama tahun penganggaran berjalan.
Kita rasa mengingat peraturan-peraturan di atas sudah cukup bagi rektor untuk membuat kebijakan pemotongan UKT, dengan memperhatikan surat Kemendikbud Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tentang Pembelajaran Daring dan Bekerja dari Rumah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19, kemudian Surat Sekjen Biro Keuangan dan BMN Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3767/a.a2/ku/2020 Tentang Refocusing Anggaran dan Penggunaan Anggaran Untuk Mendukung Bekerja Dari Rumah dalam Rangka Pencegahan COVID-19.
Tidak menjadi masalah sebenarnya ketika kali ini BOPTN universitas ditarik oleh Kemenag, karena UKT yang mahasiswa bayarkan tetap saja tidak terganggu. Dalam PP No. 26 Tahun 2015, BOPTN merupakan pemasukan dari APBN dan peruntukanya pun jelas berbeda dengan UKT. BOPTN berguna untuk; biaya operasional, biaya dosen (non-PNS), biaya tenaga pendidik (non-PNS), biaya investasi, dan biaya pengembangan.
Sedangkan UKT membiayai komponen BL seperti; BHP Pembelajaran, BHP Sarana pembelajaran, Sarana praktikum, Gedung pembelajaran, Gedung praktikum dan sebagainya yang dalam kondisi ini tidak sama sekali mahasiswa dapatkan. Untuk pemotongan UKT rasanya tidak perlu dikaitkan dengan BOPTN karena seperti kita tahu pemasukan PTN mempunyai banyak sumber. Menurut PP No.26 Tahun 20115 Pasal 11 mulai dari Rupiah Murni, BOPTN, masyarakat, pengelolaan dana abadi, dana usaha PTN, kerjasama Tri Dharma Perguruan Tinggi, pengelolaan kekayaan PTN, APBD dan pinjaman lain.
UKT hanya sebagian dari itu semua, universitas jangan takut rugi dan jangan menakut-nakuti atau memasang muka melaskepada mahasiswa karena ada penarikan biaya oleh Kemenag. Dengan banyaknya sumber pemasukan untuk universitas kita malah menjadi mempunyai anggapan bahwa universitas meraup surplus setiap tahunnya, bukan merugi apalagi kalo cuma untuk balikin UKT satu semester.
Perihal tuntutan subsidi kuota untuk mahasiswa dapat menyelenggarakan perkuliahan yang di rumahkan, kali ini universitas kembali terlihat ketidakseriusanya memberi bantuan kepada mahasiswa. Universitas hanya menyediakan akses pembelajaran gratis untuk mengakses e-knows saja itu pun hanya bisa diakses dengan sebagian provider. Apakah kali ini universitas tidak melakukan analisis kebutuhan lapangan terlebih dahulu?
Aneh, padahal pembelajaran daring mahasiswa tidak hanya menggunakan e-Knows bahkan lebih banyak memakai aplikasi lain seperti aplikasi video conference, website-website, email dan media sosial seperti WhatsApp, Youtube dan lain sebagainya. Meskipun kita tahu ada Surat Edaran pembelajaran Nomor B-47/4/Un.05/I/PP.00.9/04/2020 yang menyebutkan sebaiknya pembelajaran daring dilaksanakan menggunakan e-Knows UIN SGD Bandung.
Pada kenyataanya dosen-dosen lebih memilih media pembelajaran online di luar e-Knows, mungkin karena dosen melihat poin surat edaran di atas hanya bersifat imbauan saja, mungkin dosen-dosen atau mahasiswa merasa e-Knows UIN SGD Bandung masih banyak kekurangan dan banyak kendala sehingga dirasa kurang efektif belajar di sana.
Di samping itu provider untuk mengakses e-Knows tersebut terbatas. Provider atau kartu Subscriber Identity Module (SIM) di Indonesia itu banyak, bukan hanya tiga produk yang dapat dibaca secara mudah, banyak mahasiswa yang tidak kebagian akses pembelajaran gratis ini termasuk penulis sendiri. Malang sekali nasib mahasiswa UIN SGD hari ini, setelah sakit hati terkena guyonan Kemenag, kemudian menuntut kepada universitas namun “lain yang di agak, lain yang kena” yang didapat berbeda dengan yang diharapkan di dalam tuntutan.
Melihat uraian di atas sebenarnya permasalahan bukan terletak pada bisa atau tidaknya universitas memotong UKT dan memberi subsidi untuk mahasiswanya, melainkan mau atau tidak universitas bersungguh-sungguh dengan hati yang ikhlas memperjuangkan mahasiswanya di tengah kondisi darurat COVID-19 seperti sekarang?
Mungkin hari ini universitas tidak mengetahui kepayahan mahasiswanya di lapangan sehingga pengentasan permasalahan ini terkesan tidak sungguh-sungguh, bisa jadi itu hanya untuk menina-bobokan mahasiswanya saja. Oleh karena itu, mari kita ingatkan mereka, kabarkan kepada mereka lantangkan suara kita dan galang persatuan mulai dari kelas-kelas bahwasanya mahasiswa menuntut langkah nyata yang sungguh-sungguh pro terhadap mahasiswa. Hidup mahasiswa!
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Manajemen Pendidikan Islam semester enam UIN SGD Bandung