Oleh: Fuad Mutashim*
Hadirnya pers sangat memberi banyak manfaat bagi masyarakat, tak terkecuali di Indonesia. Dengan adanya pers kita dapat mengetahui informasi kehidupan sekitar kita. Memang sejak pertama dilahirkan, pers bertugas memberikan informasi kepada masyarakat. Senada dengan tujuan jurnalisme itu sendiri yakni menyediakan informasi yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri.
Disaat situasi seperti ini, penulis menilai insan pers memiliki peran penting dalam menghadapi pandemi wabah COVID-19. Pemberitaan informasi yang kredibel dapat membantu pemerintah dalam mengurangi penyebaran COVID-19. Dapat dikatakan keseluruhan kebijakan pemerintah dapat terlaksana berkat peran pers. Frekuensi pemberitaan yang benar tentang COVID-19 dinilai efektif menyadarkan masyarakat untuk waspada.
Pandemi COVID-19 sudah memasuki pekan ke empat. Sejumlah kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah, mulai dari pengetatan warga negara asing masuk ke Indonesia, relaksasi kredit bagi pelaku ekonomi kecil dan menengah, physical distancing, hingga pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Semua informasi tersebut dapat mudah diterima oleh masyarakat melalui laman berita yang disajikan oleh pers.
Selain tenaga medis, jurnalis juga merupakan profesi yang sangat rentan terinfeksi di masa pandemi ini, karena kerap berada di garda depan dalam menjalankan fungsinya memberikan informasi kepada publik dan menjalankan kontrol sosial terhadap pemerintah. Sejak wabah ini berlangsung, sudah ada beberapa laporan soal jurnalis yang diduga terinfeksi karena mewawancarai narasumber yang belakangan dinyatakan positif Corona. Ada juga yang tidak bisa menjalankan tes sehingga harus melakukan isolasi mandiri.
Keharusan Mendapat Perlindungan
Tak lama setelah dua pejabat penting di wilayah Jawa Barat yaitu Walikota Bogor, Bima Arya dan Wakil Wali Kota Bandung, Yana Mulyana dinyatakan positif terinfeksi virus corona, puluhan jurnalis media dinyatakan sebagai orang dalam pemantauan (ODP). Hal ini dikarenakan mereka sempat intens berbincang dengan keduanya. Namun setelah melakukan Rapid test, beberapa orang dinyatakan negatif dan adapun yang positif mereka harus menjalankan isolasi atau karantina di rumah.
Dilansir Tempo.co, Ketua Dewan Pers, Muhammad Nuh mengatakan dalam penanggulangan pandemi ini menjadi upaya bersama yang harus melibatkan kekuatan bangsa, mulai dari pihak pemerintah, dunia usaha, masyarakat dan pers. Peran pers dinilai efektif membantu pemerintah dalam penanganan virus COVID-19 melalui informasi yang disajikan. Sehingga masyarakat Indonesia mendapatkan informasi yang dibutuhkan, khususnya dalam membangun kesadaran kolektif untuk mencegah semakin meluasnya pandemi COVID-19
Di tengah situasi krisis ini, media sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi yang akurat dan mendidik ke publik, dan juga melakukan tugas untuk mengawal penanggulangan krisis dengan baik. Namun di sisi lain, jurnalis yang bertugas di lapangan, sangat rentan terpapar penyakit yang dipicu infeksi virus COVID-19, hal itu dapat menjadi penyebab penularan pada orang lain termasuk kepada keluarganya. Maka, sangat penting bagi mereka untuk mendapatkan perlindungan, karena jika tidak akan mempengaruhi etos kerja mereka dalam memberi sajian berita kepada publik.
Dalam siaran tertulisnya, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Asnil Bambani mengingatkan kepada para jurnalis agar tidak berkerumun saat melakukan wawancara dengan narasumber. Pihak AJI pun telah mengeluarkan Protokol Keamanan Liputan COVID-19. Hal tersebut merupakan upaya perlindungan bagi para jurnalis agar mereka bisa bekerja dengan aman dan selamat di tengah pandemi virus COVID-19 dengan tetap berpegang teguh pada prinsip kebebasan pers dan hak atas informasi.
Pemenuhan Hak-hak Pribadi Pers
Hadirnya wabah COVID-19 sangat berdampak pada sektor ekonomi terutama para pekerja. Banyak pekerja yang harus berada di dalam rumah dan tak sedikit yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Tak semua jurnalis di Indonesia berstatus karyawan dan mendapatkan upah bulanan. Bahkan mereka yang berstatus karyawan pun masih rentan penundaan pembayaran upah hingga terkena PHK.
Menjadi seorang jurnalis juga bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi saat situasi sedang krisis seperti ini. Sangat rawan dan rentan mereka terpapar virus COVID-19. Seperti halnya para pekerja lain, mereka pun memiliki hak yang harus dipenuhi, seperti mendapatkan upah yang layak juga perlindungan keselamatan dan kesehatan saat bekerja. Mengingat kehadiran pers saat ini justru menjadi sangat krusial untuk menyebarkan informasi secara luas.
Di satu sisi, jurnalis harus tetap bertugas mencari, mengolah dan menyebarkan informasi kepada publik. Namun di sisi lain ada persoalan yang menghantui mereka. Jurnalis atau pekerja media rentan tidak mendapat pemenuhan hak sebagai pekerja selama pandemi COVID-19. Seperti hak atas upah yang berpotensi terjadi pemotongan bahkan penundaan pembayaran, hingga PHK secara sepihak. Praktik semacam ini telah terjadi di sejumlah perusahaan pers di berbagai daerah.
Cukup banyak jurnalis yang tak memiliki alat perlindungan diri yang memadai saat liputan. Karena tidak mendapatkan fasilitas tersebut dari perusahaan. Situasi semacam itu tentu sangat membahayakan keselamatan para jurnalis saat liputan. Tak sedikit dari jurnalis yang telah berkeluarga dan harus menafkahi keluarganya terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok dan vitamin untuk menjaga kesehatan.
Hal tersebut seharusnya dihindari dan perusahaan pers harus memenuhi kewajiban dan hak-hak para jurnalis selama pandemi. Sebab, jurnalis menjadi garda terdepan kedua setelah tenaga medis dalam memberitakan COVID-19 maupun memberikan informasi kritis tentang kebijakan pemerintah mengenai COVID-19.
Selain itu, para jurnalis berhak untuk menerima perlindungan kesehatan dan keselamatan saat bekerja. Jangan sampai para jurnalis ditelantarkan seperti yang terjadi pada jurnalis berinisial WD. Menurut BBC News Indonesia, ia meninggal karena ditolak oleh rumah sakit rujukan pemerintah dan terlambat dalam penanganan medis. Hal tersebut juga terjadi kepada para jurnalis lain yang ditelantarkan beberapa rumah sakit saat mereka ingin memerika positif atau tidak setelah berinteraksi dengan Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi.
Saat mereka telah melakukan kewajibannya sebagai penyampai informasi, akan tetapi mereka tidak mendapatkan haknya, ironi memang. Perusahaan pers juga wajib melindungi jurnalis saat bertugas. Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, hal itu merupakan tanggung jawab perusahaan yang harus memberikan pemenuhan kebutuhan dan keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah. Perusahaan pers harus memberikan pendanaan kepada jurnalis untuk membeli perlengkapan keselamatan kerja seperti masker, hand sanitizer dan sarung tangan sekali pakai agar tetap aman.
Mengamalkan Nilai-nilai Jurnalisme
Dalam poin ketiga elemen jurnalisme dijelaskan bahwa loyalitas pertama jurnalisme yaitu kepada warga. Komitmen kepada warga (citizen) lebih besar ketimbang egoisme profesional. Seorang jurnalis tidaklah seperti pegawai perusahaan lainnya, mereka punya kewajiban sosial yang sesekali bisa bersebrangan dengan kepentingan majikannya. Loyalitas kepada warga adalah makna dari yang disebut dengan independensi jurnalistik.
Masyarakat membutuhkan berita karena mereka memiliki naluri dasar, yang disebut dengan naluri kesadaran. Mereka perlu mengetahui apa yang terjadi dibalik bukit, untuk menyadari kejadian-kejadian di luar pengalaman mereka. Pengetahuan tentang sesuatu yang memberi mereka rasa aman, membuat mereka bisa merencanakan dan mengatur hidup mereka. Karena berita adalah bagian dari komunikasi yang membuat kita akan terus mendapatkan informasi tentang pergantian peristiwa dan isu di sekililing kita.
Saat ini, masyarakat sangat membutuhkan berita yang akurat mengenai COVID-19. Di sinilah para jurnalis berperan dengan mencari, mengolah dan menyampaikan kepada publik berita terkait COVID-19. Dimana dengan adanya berita tersebut dapat memberikan mereka informasi mengenai perkembangan dan upaya apa yang seharusnya mereka lakukan saat situasi seperti ini.
Dalam menyajikan berita mengenai COVID-19 para jurnalis dituntut agar menyampaikan dengan nilai kebenaran, sesuai data dan verifikasi untuk mencegah terjadinya hoax. Menurut Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) hingga 3 Maret 2020 telah terjadi 103 isu hoax beredar di sosial media masyarakat Indonesia. Isunya bervariasi mulai dari laporan keliru kasus COVID-19, teknik pencegahan dan pengobatan yang menyesatkan, hingga sentiment xenophobia (perasaan benci, takut, waswas terhadap orang asing) khususnya anti-China.
Tujuan pers ialah menyampaikan kebenaran. Membodohi orang adalah bentuk kebohongan dengan menghina prinsip jurnalisme yang seharusnya berpegang teguh kepada kejujuran. Maka dari itu dalam menyampaikan informasi mengenai COVID-19, seorang jurnalis harus menyajikan berita yang kredibel dan bersifat komprehensif agar tidak terjadi kekeliruan di masyarakat dalam menghadapi situasi pandemi COVID-19 ini.
Peran insan pers harus patut diapresiasi setinggi-tingginya. Informasi yang mereka sampaikan dapat menumbuhkan rasa solidaritas dan kesadaran diantara masyarakat dalam memerangi COVID-19. Tanpa adanya kesadaran sosial upaya sekuat tenaga apapun dari pemerintah tidak akan direspon dengan baik yang kemudian bisa jadi menimbulkan kekacauan di kalangan masyarakat.
Jika di analogikan COvid-19 sebagai ancaman ancaman, peran pers saat ini sama seperti pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Saat itu insan pers aktif memberitakan semangat persatuan. Dampaknya tumbuh solidaritas dan kesadaran sosial untuk bersama-sama memerangi ancaman. Pers berfungsi sebagai motor penggerak nasionalisme. Semoga dengan adanya pers dapat membantu kinerja pemerintah dalam upaya mencegah penyebaran COVID-19.
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam semester empat dan Anggota Magang LPM Suaka 2020