Lintas Kampus

AJI-DW Akademie Gelar Pelatihan Jurnalistik Ramah Keberagaman

Beberapa peserta pelatihan melakukan simulasi talkshow selelas materi agenda setting disampaikan di Hotel Fox Harris Bandung Center, Minggu (21/10/2018). (Anisa Dewi Anggriaeni/ SUAKA).

 

SUAKAONLINE.COM- 25 jurnalis dari beberapa provinsi diantaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Bali dan Papua mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang bekerjasama dengan Deutsche Welle (DW) Akademie, Jerman. Pelatihan yang mengusung  tema “Media dan Keimanan:Sebuah Dialog Antar agama bagi Jurnalis Indonesia”  bertempat di Kota Bandung, Sabtu (20/10/2018).

Pelatihan tersebut membahas peran dan tanggungjawab jurnalis, untuk membantu ketika melakukan liputan isu sensitif konflik, terutama konflik agama dan etnik. Lantaran isu tersebut dinilai berpotensi mengancam kehidupan bertoleransi dalam beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Dalam program yang didukung oleh Kementerian Luar Negeri Jerman ini, para peserta dibekali dengan pemahaman mendasar pluralisme di Indonesia. Selain itu, kedua trainer Bandung, Nursyawal dan Adi Marsiela serta dua trainer DW Akademie, Ayu Purwaningsih dan Sheila Myrosekar juga mengupas kode etik dan standar profesionalisme untuk menghasilkan karya jurnalistik sensitif konflik dan bias keberagaman.

Pelatihan yang berlangsung selama tiga hari itu memberikan kesempatan bagi para peserta untuk mengajukan proposal beasiswa peliputan. Setiap usulan dibahas melalui diskusi kelompok dan diikuti penguatan serta penajaman ide cerita oleh pelatih yang bertindak sebagai mentor di kelompok masing-masing. Selanjutnya akan dipilih 10 peserta yang memiliki usulan liputan terbaik.

Salah satu trainer DW Akademie, Ayu Purwaningsih memaparkan Bandung dipilih sebagai salah satu lokasi karena berbagai pertimbangan. Berdasarkan berbagai riset yang dilakukan oleh beberapa lembaga mencatat Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan angka intoleransi yang cukup tinggi.

“Banyak aksi kekerasan yang menimpa warga dan yang cukup menonjol adalah kelompok-kelompok minoritas,”ujar Ayu. Bentuknya pun beragam, mulai dari pelarangan beribadah, perusakkan tempat ibadah, ancaman dan intimidasi kelompok keagamaan, kriminalisasi lewat pasal penodaan agama, diskriminasi, sampai pembiaran oleh aparat negara.

Media, lanjut Ayu,  memiliki peran penting dalam penyebaran informasi di masyarakat. Dan melalui pelatihan ini, pihaknya berharap para jurnalis yang mengikuti pelatihan mampu  membantu mengurangi ketegangan konflik dengan karya yang berkualitas dan bertanggung jawab.

Ketua AJI Bandung, Ari Syahril Ramadhan mengungkapkan, pelatihan ini mengajak peserta untuk mengingat kembali prinsip jurnalisme dan kode etik. Baginya, kedua hal itu merupakan titik masuk untuk mengenalkan keberagaman. Terlebih, Ahmad Junaedi dan Zaky Yamani sebagai pemateri dapat menjelaskan korelasi antara kode etik dan tema yang diusung. Misalnya, bagaimana produk-produk jurnalistik tidak ramah keberagaman ternyata berpotensi melanggar etik dan tidak sesuai dengan prinsip jurnalisme.

“Kami berharap, selepas pelatihan, para jurnalis dapat menghasilkan produk jurnalistik yang ramah keberagaman, mematuhi kode etik dan menjalankan prinsip-prinsip jurnalisme,” imbuh Ari.

Salah satu peserta pelatihan Hasbi Ilman Hakim menuturkan materi di hari kedua adalah hal baru bagi diirnya. Terkait war journalism dan conflict sensitive journalism bukan sekedar fokus pada akibat  tapi tugas jurnalis menilisik masalah sampai ke akar akarnya. Tugas jurnalis bukan mencari solusi tapi menyaji beragam solusi yang dapat ditawarkan pada masyarakat.

Hasbi menyadari  yang selama ini dilakukan kurang menyeluruh hanya mencari solusi secara advokatif dan mediator. “Jadi saya bukan hanya menyajikan satu solusi saja tetapi mencari beragam solusi lain yang bisa ditawarkan pada masyarakat, dan yang mesti kita utamakan adalah loyalitas pada publik,”urai Hasbi.

Senada dengan Hasbi, salah satu peserta Reni Susani menjelaskan,  acara yang digelar menarik. Banyak pengetahuan baru yang Ia dapat. Termasuk menyadari ada dosa-dosa jurnalis yang tidak sengaja atau tidak sadar dilakukannya.  “Ke depannya saya akan memperbaiki diri dengan menggunakan conflict sensitive journalism yang sudah saya dapat sebagai rujukan untuk menjalankan pekerjaan.” tutup Reni.

 

Reporter       : Anisa Dewi Anggriaeni

Redaktur      : Elsa Yulandri

 

 

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas