Kampusiana

Kampanye 16 HAKTP: Mengawal Kampus Bebas Kekerasan Seksual

Dosen Psikologi UIN SGD Bandung, Nani Nuranisah menyampaikan orasi ilmiah mengenai dampak kekerasan terhadap perempuan dan penanganannya dalam perspektif Psikologi, pada kampanye publik yang diselenggarakan LP2M melalui PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak), di Tugu Kujang, Kampus I UIN SGD Bandung, Selasa (28/11/2023). (Foto: Ighna Karimah Nurnajah/Suaka).

SUAKAONLINE.COM – Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) UIN Bandung menggelar Public Campaign sebagai acara puncak dari peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Tugu Kujang, depan Aula Anwar Musaddad, Kampus 1 UIN SGD Bandung, Selasa (28/11/2023). Kampanye publik ini merupakan salah satu tindak pencegahan terhadap tindak kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Public Campaign yang diadakan oleh LP2M ini diorasikan oleh berbagai pembicara, mulai dari Ketua Pusat PSGA LP2M UIN SGD Bandung, Pembina WSC, Ketua Satgas PPKS Uninus, hingga psikolog. Sebelum memasuki sesi penyampaian materi, peserta yang hadir terlebih dahulu diwajibkan untuk mengisi survey.

Survey tersebut menjadi tolak ukur sejauh mana mahasiswa peduli mengenai permasalahan kekerasan seksual yang terjadi di dalam kampus. Sekaligus, menilai pengetahuan mahasiswa mengenai SK Rektor mengenai Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPPKS) yang telah disahkan pada Juli lalu.

Memasuki acara inti, Ketua Pusat PSGA LP2M UIN SGD Bandung, Irma Riyani memulai orasi nya dengan mengajak mahasiswa untuk peduli dan dapat menciptakan kultur agar kampus kita ini mampu terbebas dari berbagai tindak kekerasan baik seksual maupun berbagai tindak kekerasan lainnya.

Agama dan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Dalam orasi nya, Irma membicarakan mengenai kekerasan seksual berbasis agama dalam rumah tangga. Menurutnya, semua harus dikaji dengan perspektif dan berbagai macam metode. Karena sejatinya, ajaran agama seperti ayat-ayat Al-Quran itu pasti bersifat keadilan, kemaslahatan, dan manusiawi.  “Kita punya alternatif-alternatif lain dalam proses penafsiran, di hubungkan, kalau dalam istilah ilmu Quran tafsir itu namanya munasabah ayat,” jelasnya, Selasa (28/11/2023).

Ia juga menganggap bahwa praktik-praktik kekerasan seksual seperti pemaksaan hubungan seksual misalnya dengan cara pukul dan sebagainya merupakan hasil dari politik patriarki. “Ada politisasi bagaimana teks-teks agama yang yang kemudian kayak di-hidden gitu, disembunyikan dengan sengaja oleh orang penceramah, yang hampir kebanyakan adalah laki-laki,” lanjutnya.

Masih terkait konteks penafsiran ayat Al-Quran, Irma memberi himbauan agar selalu menggunakan metodologi yang baik. Dalam artian, tidak mendiskreditkan sesuatu hanya dari satu sumber saja. Sehingga perlu melakukan kajian mendalam mengenai bagaimana firman tersebut bisa disampaikan dan peristiwa apa yang telah mempengaruhinya.

Kekerasan Seksual yang Jarang Terungkap

Dilanjut pembacaan puisi yang begitu menyayat hati mengenai realitas kekerasan seksual saat ini, pembina Women Studies Centre (WSC) sekaligus dosen UIN SGD Bandung, Neng Hannah membuka orasinya terkait bagaimana kekerasan seksual tidak memandang bulu, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai resiko yang sama untuk bisa mengalami kekerasan seksual.

Ia menjabarkan, meskipun dari banyak kasus yang menjadi korban kekerasan seksual adalah perempuan, tetapi faktanya laki-laki juga dapat menjadi korban. Hal ini menurutnya disebabkan karena kasus kekerasan seksual fenomenannya seperti iceberg, yaitu layaknya fenomena gunung es yang telihat pada permukaan saja, sementara jika ditinjau lebih dalam akan lebih banyak lagi kasus-kasus yang belum terungkap.

Hal tersebut juga divalidasi oleh Psikolog Nani Nuranisah, “Kalaupun yang terungkap, misalnya yang datang ke ULP, datang personal atau dari mulut ke mulut itu hanya sebagian kecilnya saja, jadi mayoritas memang tidak terungkap ya,” ungkapnya.

Neng Hannah menambahkan, bahwa interpretasi agama yang bias, budaya-budaya yang memang tidak berpihak pada yang lemah menyebabkan kuasa yang timpang sehingga memungkinkan terjadinya GBV (Gender Based Violence). “Fenomena GBV yang melapor itu paling 20 persen, kenapa? Karena yang tidak melapor itu lebih banyak lagi. Banyak nilai yang pada akhirnya menjadi akar kenapa seorang korban atau pun, seorang korban tidak bersuara,” jelasnya.

Menurutnya, dalam GBV terdapat yang namanya lingkaran kekerasan, yaitu seperti siklus di mana seseorang akan mengalami setiap fasenya secara berulang dan sulit sekali untuk memutuskan atau keluar dari lingkaran tersebut. “Lingkaran kekerasan ini empat tadi ya, pertama biasa saja, kemudian konflik, kemudian ledakan kekerasan, kemudian fase minta maaf, fase bulan madu,” ucapnya.

Adapun yang menjadi bentuk dari kekerasan GBV ini menurut Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) mencakup kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan kekerasan seksual. Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang dapat terlihat pada tubuh kita, sementara kekerasan psikis dapat dirasakan oleh individu saat ia tidak bisa bebas dalam mengekspresikan dirinya sesuai keinginan dan mental sehatnya. Kekerasan psikis biasanya dilakukan dalam bentuk verbal, body shaming misalnya.

Selanjutnya, Neng Hannah menjelaskan bahwa kekerasan secara ekonomi juga kerap terjadi saat kebutuhan keluarga tidak terpenuhi. Terdapat juga kekerasan dalam bentuk seksual yang dapat terjadi bukan hanya pada hubungan pernikahan, tetapi dalam hubungan pacaran pun memungkinkan untuk terjadinya Kekerasan Dalam Pacaran (KDP).

Satgas PPKS kampus Uninus, Jamaluddin mengatakan, “Kalau kita merasa seksualitas itu adalah hal yang berharga, maka jangan berikan. Kecuali kalau kita menganggap itu tidak berharga ya silahkan, itu kan ada konsensus kesepakatan. Tapi kalau kita menganggap itu adalah hal agung, suci maka jangan berikan kepada siapapun, termasuk kepada pacar kita,” tegasnya.

Dominan KS di Lembaga Pendidikan

Ketua Satgas PPKS Uninus, Jamaluddin menjabarkan data dalam survey yang dilakukan oleh Kemendikbud terkait kekerasan seksual di universitas, setidaknya terdapat 86 persen yang mengatakan terdapat perbuatan kekerasan seksual di lembaga pendidikan, 68 orang diantaranya menyatakan bahwa dia tidak berani untuk bersuara mengenai kekerasan seksual yang didapatnya di kampus.

Jamaluddin meminta kepada mahasiswa untuk berani berbicara apabila menjadi korban atau informan, sebaiknya melapor dengan segera kepada pihak kampus apapun bentuk kekerasan seksualnya. Adapun kebijakan mengenai kekerasan seksual pada tingkat perguruan tinggi diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2012. Dari Undang-Undang tersebut, bentuk kekerasan seksual dapat berupa verbal, non-verbal, dan fisik.

Psikolog, Nani Nuranisah mengungkap bahwa terdapat 9 bentuk kekerasan seksual yang dapat dipidanakan, yaitu: Pelecehan Seksual Nonfisik, Pelecehan Seksual Fisik, Pemaksaan Kontrasepsi, Pemaksaan Sterilisasi, Pemaksaan Perkawinan, Penyiksaan Seksual, Eksploitasi Seksual, Perbudakan Seksual, dan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik. Sehingga, apabila merasakan satu hal dari 9 bentuk ini, maka kejahatan tersebut dapat dipidanakan

Menurut Jamaluddin, bahwa kekerasan seksual dapat terjadi apabila ada kesempatan. Sehingga, hindari memberikan ruang kesempatan untuk pelaku kekerasan seksual dan jangan takut melapor. Karena bisa jadi saat pelaku merasa aman, maka dia akan melakukan kekerasan seksual secara berulang dan lebih parah lagi. Apalagi kondisi di mana korban kekerasan seksual tidak dapat melawan.

“Awalnya nyolek, ah gapapa nih aman, kemudian meraba, kemudian cium terus sampai terjadi pencabulan. Itu kalau kita tidak berontak, maka itu akan memberikan ruang kepada pelaku untuk melakukan kejahatan seksual,” ungkap Jamaluddin.

Tonic immobility merupakan sebuah kondisi saat korban kekerasan seksual tidak dapat melawan. Nani Nuranisah, mengungkapkan bahwa tonic immobility ialah kondisi fisik korban yang mengeras, mematung, tidak bisa bergerak, dan tidak bisa berdaya. Padahal dirinya tuh ingin berontak, ingin melawan, tetapi secara fisik seolah-olah dia mengalami kelumpuhan.

Mirisnya, keadaan seperti itu seringkali menimbulkan perspektif di masyarakat yang menilai bahwa korban ikut menikmati perbuatan kekerasan seksual tersebut. Dan hal tersebut juga menjadi penyebab korban seringkali merasa bersalah pada diri sendiri karena tidak dapat melawan, padahal itu reaksi alami tubuh saat mengalami kekerasan seksual.

Selanjutnya, Jamaluddin sangat menyangkan sikap korban yang seringkali memaafkan pelaku kekerasan seksual. Menurutnya, kejahatan tersebut tidak pantas untuk dimaafkan begitu saja karena luka yang pelaku buat terhadap korban itu susah disembuhkan. “Siapapun itu pelaku kekerasan seksual tunjukan power kita, jangan dikasih ruang. Mari kita hukum dia, sehingga tidak ada lagi ruang, baik di dunia maupun di akhirat,” ungkapnya dengan tegas.

Perihal Satgas, Jamaluddin mengungkapkan dalam Permendikbud itu menyatakan bahwa setiap universitas wajib memiliki Satgas PPKS sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. “Jadi wajib adanya Satgas PPKS, maka di Permendikbud itu dia ngasih tenggat maksimal akhir Oktober harus terbentuk semuanya,” jelasnya.

Penanganan dari Bahaya KS

Dampak dari kasus kekerasan seksual yang dialami oleh korban Nani rumuskan menjadi 3, yaitu dampak fisik, psikologis, dan dampak sosial. Dampak fisik dapat berupa seringkali mengalami insomnia. Kemudian secara psikis, terdapat 3 hal yang biasanya terganggu, yakni proses berpikirnya, seperti sulit konsentrasi, sulit mengambil keputusan, dan mudah curiga. Kemudian, untuk dampak sosial dapat berupa stigma negatif dari masyarakat.

Dalam menangani dampak tersebut, dari sisi korban dapat dilakukan melalui 3 tahap, yakni seeking health, speak up and solve the problem. Upaya pertama yang dapat dilakukan adalah dengan meminta pertolongan kepada orang yang dapat dipercaya, dalam lingkup terdekat misalnya orang tua, dalam lingkup mahasiswa dapat ke Bilik Pengaduan, lalu dalam lingkup kampus yaitu PSGA.

Nani mengatakan bahwa tidak perlu ragu atau takut untuk speak up, “Gapapa sampaikan saja karena kita juga punya tim khusus dan tim etik, ada dari perwakilan dari mahasiswa, kemudian tim etik dosen juga,” jelasnya. Ia menambahkan, terlebih dalam lingkup kampus, maka penanganannya harus sistematis dan sudah disediakan oleh PSGA.

Lalu, dari sisi penolong dapat dilakukan dengan metode 3 L, yakni look, listen, and link. Perhatikan apa sih sebetulnya yang diperlukan oleh korban, mendengarkan dan berikan kesempatan bagi korban untuk mengungkapkan secara detail, dan memberikan bantuan melalui saluran-saluran bantuan, seperti WSC dan PSGA dalam lingkup kampus. Kemudian bagi masyarakat dapat melalui call centre dan komnas perempuan.

Sebagai penutup, Irma menyampaikan terkait progres pembentukan satgas PPKS, saat ini pihaknya sudah membentuk focal point yang terdiri dari dosen di masing-masing fakultas. Nantinya, apabila terjadi kekerasan seksual di salah satu fakultas, maka pihak fakultas dapat membantu mengkoordinasikan kasus tersebut dengan PSGA.  “Mudah-mudahan ada PLT ya Pusat Layanan Terpadu terkait dengan kasus Kekerasan Seksual,” tutupnya.

Reporter: Nadia Ayu Iskandar & Ighna Karimah Nurnajah/Suaka

Redaktur: Mohamad Akmal Albari/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas