SUAKAONLINE.COM – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengadakan konferensi pers terkait Penghalangan Akses Bantuan Hukum dan Unfair Trial oleh Kepolisian pada Penyidikan Kasus “Vandalism Anarko” pada Rabu (20/5/2020). Konferensi tersebut dimoderatori oleh perwakilan dari LBH Jakarta, Annisa Fadhilah, dan menghadirkan eks Kuasa Hukum pelaku Jakarta dari LBH Jakarta, Shaleh Al-Ghifari; perwakilan dari Kontras, Andi Rezaldy; perwakilan dari Lokataru, Haris Azhar; kuasa hukum pelaku Malang dari LBH Pos Malang, Tri Eva Oktaviani; dan perwakilan keluarga pelaku Riski dan Rio, Yeni Wulan Sari dan Ance Pattinama.
Terhitung 38 hari sejak penahanan empat orang tersangka kelompok anarko sindikalis yang ditangkap atas vandalism di Tangerang, pelanggaran hak asasi tersangka, termasuk salah satunya penghalangan akses bantuan hukum oleh LBH Jakarta terjadi. “LBH Jakarta sebagai tim Advokasi untuk Demokrasi baru bisa menemui tersangka pada hari ke-25 paska penangkapan,” ungkap Fadhilah membuka konferensi tersebut.
Selanjutnya, pihak keluarga pelaku mengungkapkan bahwa penangkapan mereka tidak disertai penyerahan surat perintah penangkapan dan baru didapat mereka pada hari ketiga setelahnya. “Menemui mereka juga sulit dapat izinnya karena lagi (pandemi-Red) COVID-19,” ungkap pihak keluarga Rio, Ance Pattinama. Keluarga Riski, Yeni Wulan Sari juga menyebutkan bahwa dia melihat adanya lebam di rahangnya saat Riski berhasil ditemui yang menandakan adanya kekerasan yang terjadi ketika pemeriksaan.
Penetapan pengacara juga seharusnya dapat dikembalikan kepada kemauan tersangka. Pada saat itu, Rio telah meminta keluarganya untuk mencari bantuan hukum dari LBH Jakarta, tapi oleh POLDA ditunjuk pengacara atas nama Halim Darmawan. Selanjutnya, pelaku meminta pengalihan kuasa hukum dari Darmawan ke LBH Jakarta, akan tetapi di persulit oleh pihak kepolisian. “Tersangka berhak untuk memilih sendiri pengacaranya,” tegas Al-Ghifari menyatakan isi Pasal 55 KUHAP. Lebih lanjut, pengalihan yang seharusnya hanya perlu pernyataan dan tanda tangan pelaku harus didiskusikan terlebih dahulu dengan pengacara sebelumnya.
Kabar selanjutnya pada tanggal 19 Mei, kuasa hukum LBH Jakarta diputus secara sepihak dengan intimidasi yang dialamatkan oleh kepolisian ke pelaku. Penghalangan akses bantuan hukum ini melahirkan pertanyaan pada mereka mengenai kebenaran kasus ini. Apalagi melihat tuduhan akan melakukan kerusuhan dan penjarahan pada pelaku yang sama sekali tidak terbukti. Hal-hal tersebut melahirkan asumsi dan menunjukkan kejanggalan-kejanggalan dalam prosesnya.
Penangkapan serupa juga terjadi di Malang, mendapatkan perlakuan lebih baik, pelaku dipersilahkan untuk mendapat bantuan dari LBH Pos Malang sejak awal ditangkap. Terlepas dari hal tersebut, Eva menyatakan bahwa pasal yang dituduhkan pada pelaku dirasa janggal. Pasal 160 KUHP tentang penghasutan dan keputusan MK yang mengubah pasal tersebut dari delik formil menjadi delik materiil menyatakan bahwa penghasutan tersebut harus ada dampaknya terlebih dahulu baru bisa dipidanakan. Sedangkan, ketiga pelaku tersebut hanya melakukan corat-coret/vandalisme saja dan tidak berdampak pada kericuhan.
Perwakilan KONTRAS, Andi Rezaldy menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran yang dilakukan kepolisian ke tahanan dan menganggap penahanan ini merupakan bentuk kekerasan negara untuk membungkam aspirasi. Penangkapan yang tidak sesuai prosedur hukum, dirumorkan akan melakukan serangan se-pulau Jawa dengan memanfaatkan dampak ekonomi ketika momentum wabah menjadikan seolah-olah kelompok anarko sindikalis sebagai kambing hitam atas apa yang kemungkinan akan terjadi. “Pemerintah tidak dapat menanggulangi dampak ekonomi akibat wabah, kayaknya pemerintah akan menutupi kegagalannya dengan kelompok ini.” Ungkap anggota Lokataru, Azhar menyatakan asumsinya atas kejanggalan kasus ini.
“Yang kasus adalah polisi yg nangkep sewenang-wenang.” Tambahnya ketika membahas mengenai anarko sindikalis yang tidak terbukti melakukan tindak pidana. Beliau menyayangkan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kepolisian yang malah menuduh orang lain melanggar HAM. Selanjutnya, beliau meminta Wassidik/Kompolnas/Ombudsman untuk dapat memeriksa pihak kepolisian agar kasus-kasus seperti ini dapat terselesaikan dan tidak terjadi lagi. “Komnas HAM dan Ombudsman harus aktif reaktif melakukan pemeriksaan ke institusi pemerintahan khususnya atas pengahalangan bantuan hokum.” Pungkasnya.
Reporter: Diyanah Nisa/Magang
Redaktur: Awla Rajul/Suaka