Fokus

Kontroversi UIN Bandung Paling Fundamentalis: ‘Dugaan Unsur Kepentingan’

Ilustrasi oleh Rini Zulianti/SUAKA

Oleh Hasna Fajriah

SUAKAONLINE.COM – Pemberitaan yang menyebutkan UIN SGD Bandung sebagai kampus yang fundamentalis menuai kontroversi. Hasil riset SETARA Institute tersebut dinilai kurang tepat dan memiliki unsur kepentingan.

Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN SGD Bandung (Dema-U), Oki Reval Julianda mengatakan, dirinya sempat kaget saat melihat isi narasi berita itu. Menurutnya, penelitian tersebut masih kurang tepat dan harus dikaji ulang. Ia pun heran karena penelitian hanya terfokus pada 10 universitas, dan bahkan hanya terdapat dua universitas islam yang diteliti.

“Karena mereka hanya meneliti 10 universitas, jangan sampai universitas islam disandingkan dengan ITBya akan beda. Lucu juga sebenarnya. Kenapa engga UIN lain juga? akibatnya dari berita itu ketika orang lain membaca, mereka akan jadi skeptis terhadap penelitian itu, wah ini ada kepentingan apa nih,” tuturnya, Rabu (10/7).

Selain itu, Oki merasa sampel yang dipakai kurang tepat. Pun dengan pertanyaan yang dijadikan alat ukur, menurut Oki juga kurang menggambarkan fundamentalisme. Jika pertanyaan itu diperuntukan untuk individu beragama khususnya Islam, dalam pertanyaan “apakah kamu merasa bahwa agamamu paling benar?”Secara otomatis semua orang akan menjawab “iya”.

Sementara itu, Ketua Senat Mahasiswa UIN SGD Bandung (Sema-U), Umar Ali Muharom  juga mempertanyakan corak fundamentalisme yang diambil dari riset itu, ditinjau dari pendekatan, perspektif  serta sudut pandangnya seperti apa. Karena menurutnya, akan berbeda pandangan dari luar dan dari dalam akademisi itu sendiri. Mengingat arti dari fundamentalisme itu sendiri, jika diretas bersama artinya luas.

Menurut Umar, kebanyakan orang memahami arti fundamentalisme itu yang keluar dari koridor syariah Islam, lalu masyarakat itu sendiri kental dengan dogma dan doktrin yang ada. Sehingga mudah terpengaruh kata fundamentalisme, tanpa tahu tujuan media itu nge-blow up berita untuk apa.

Tanggapan serupa juga dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mengutip pernyataan dari tirto.id, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Amany Lubis menilai riset yang dilakukan Setara Institute tidak akurat, karena penelitian tersebut seolah menggeneralisasi pandangan atau paham tertentu. Salah satu masalahnya, sampel responden yang diambil terlalu sedikit.

Ia pun menambahkan, metode pertanyaan yang diberikan responden hanya menyediakan jawaban antara “ya” atau “tidak”, dan menilai jawaban seperti itu terlalu simplifikasi dan cenderung mengarahkan ke jawaban tertentu. Para peneliti di UIN Jakarta pun mengetahui mana penelitian yang punya tujuan tertentu, dan mana yang hanya cari sensasi.

Tak hanya itu, Thorin, mahasiswa semester 14 jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Jakarta menilai, fundamentalisme tak bisa selalu dipandang negatif dan fundamentalisme dalam beragama tak sama dengan intoleransi beragama. Dalam lingkungannya juga ia tak pernah sekalipun menyaksikan model-model beragama yang intoleran dan eksklusif  selama kuliah di UIN Jakarta.

Tak Dapat Ditinjau dari Aspek Kuantitatif

Tak hanya dari perwakilan organisasi mahasiswa saja, organisasi – organisasi islam sekaligus organisasi ekstra kampus yang ada di lingkungan UIN SGD Bandung juga angkat bicara mengenai hal itu. Ketua PMII Cabang Kota Bandung, Abdul Haris Citra Atmaja menjelaskan, paham fundamentalisme itu sendiri didefinisikan sebagai kelompok yang menyakini dan mempercayai bahwa kelompoknya yang paling benar.

Pemahaman itu berasal dari pengetahuan yang berbasis keagamaan hanya dari satu perspektif, bukan melalui banyak perspektif. Kemudian ketika melihat perbedaan yang dari perspektif lain itu merasa bahwa perbedaan tersebut salah dan menyakini hanya perspektifnya sendiri yang paling benar.

Menurut Haris, sebenarnya  pemahaman itu dianggap sah dalam Agama Islam, dikarenakan pada zamannya tiap tokoh punya pendekatannya sendiri dan metodenya sendiri dalam memahami Islam. Nah itu sejauh mana umat manusia mampu memahami agamanya sendiri secara luas.

“Apabila memahaminya secara kompresensif secara luas itu dia tidak terjebak dalam fundamentalisme agama. Tapi kalau hanya fanatik terhadap satu pandangan maka jatuhnya pada fundamentalisme agama. Itu sempit pandangannya, memucunculkan kerenggangan dalam internal Islam sendiri maupun antar umat beragama.” jelasnya, Selasa (9/7).

Haris pun kurang sepakat dengan hasil riset tersebut, dan menilai risetnya harus di verifikasi ulang. Karena selama kuliah empat tahun di kampus ini kenyataannya tidak seperti itu. Di UIN SGD Bandung sendiri mimbar kebebasan akademik  diberikan hak kepada mahasiswa. Seperti  berdiskusi dan berpendapat, dapat dilakukan dengan siapapun secara adil tanpa ada yang melarang, ia juga tak menjumpai orang-orang yang berbeda pandangan menyebut salah satu kafir dan sesat.

“Penelitian angka fundamentalisme itu tidak bisa dibuat secara statistik bukan dalam kajian kuantitatif sebenarnya, harus diarahkan ke kualitatif itu. Kalau kuantitatif itu jatuhnya misalkan ngomongin keimanan, yang namanya fundamental itu ekspresi keagamaan itu kan hak masing-masing orang gak bisa diukur matematis, misalkan yang beriman berapa, ga bisa itu. Kalau kualitatif bisa secara narasi misalkan. Iya mungkin tujuannya untuk mematerialkan,” tutupnya.

Kemudian menurut Ketua HMI Komisariat Syariah dan Hukum, Indra Bahari. Dia mengungkapkan bahwa perspektif fundamentalisme di Indonesia hari ini dideskriditkan dengan orang-orang yang fanatik terhadap islam. Fundamental menginginkan penegakan syariat islam dan hal lain, sebenarnya jika ingin dikaji secara ke Indonesia-an baik itu Pancasila atau UUD 1945 itu sudah tertera mengenai hukum Islam.

“Fundamentalis hari ini dalam perspektif di Indonesia itu berbeda, tergantung sudut pandang. Mungkin hari ini islam itu dikerdilkan, sempit, dan kecil pada akhirnya. Padahal sangat luas, baik nilai-nilai keislaman itu sangat luas, sangat banyak yang harus ditanamkan dan diaplikasikan. Sebenarnya berbicara ke-Indonesia-an dengan Islam ataupun ideologi itu tidak bertabrakan,” ungkapnya, Rabu (24/7).

Indra pun berkomentar mengenai dua universitas islam yang disebutkan dalam riset SETARA Institue tersebut. Jika dilihat secara menyeluruh, dua kampus itu tidak bersifat fundamental secara keseluruhan, hanya saja mungkin orang yang ditunjuk sebagai responden penelitian itu lebih mengedepankan dasar-dasar agama yang kemudian disimpulkan bersifat fundamental.

Senada dengan yang lainnya, salah satu Dosen Studi Agama-agama, Norholis mengatakan, hasil survei Setara Institute itu diragukan. Perilaku fundamental memang pernah ada dikampus UIN SGD Bandung tapi hanya dilakukan oleh segelintir aja. Lalu kemudian justru yang muncul orang berperilaku sosial  dibandingkan dengan berperilaku agamanya. Dia pun yakin lebih banyak perilaku islam liberal dan moderat, Ketimbang yang bersifat fundamental.

“Yang dilakukan terhadap UIN Bandung ini bersifat subjektif ya, tidak usah ditanggapi yang begitu, kan kepentingannya beda. Kalau dalam konteks politik ya harus ditanggapi untuk kepentingan tertentu, tapi kalo menurut saya ngapain menanggapi survei yang kaya gitu yang jelas indikatornya aja menurut saya salah dan mereka engga ngerti agama,” ujarnya, Rabu (10/7).

Suaka juga menemui Ketua MUI Jabar sekaligus Guru Besar Fiqih UIN Bandung, Rachmat Syafei untuk memberikan tanggapan mengenai pemberitaan tersebut. Saat ditemui di kediamannya, Rachmat mengungkapkan bahwa fundamental itu untuk pengertian dasar dan asas tidak masalah, tetapi dari kata “isme” gerakan itu yang jadi radikal.

Ia pun membenarkan ada yang bersifat fundamentalis, tetapi tidak mengetahui secara persentasenya. Menurutnya, keberadaan fundamentalis terdapat dikalangan dosen maupun mahasiswa ini mungkin terpengaruh dari lingkungan pemikiran masing-masing serta kemungkinan terbawa dari organisasi masing-masing individu tersebut.

Suaka pun mencoba menemui, Wakil Rektor III Bagian Kemahasiswaan, Muhtar Solihin dan Rektor UIN SGD Bandung, Mahmud untuk meminta tanggapan dan pernyataan sikap terkait hasil riset SETARA Institute tersebut. Reporter tirto.id pun sempat mencoba mewawancarai Rektor UIN SGD Bandung, Mahmud, dalam berita yang terbit pada 2 Juli 2019.

Namun ia menjawab masih perlu mengkaji dan dipelajari terlebih dahulu untuk direspons ke publik. Tetapi sampai akhir Juli, keduanya belum dapat ditemui dikarenakan tugas di luar kota dan padat dengan jadwal rapat.

Redaktur        : Dhea Amellia

Baca Fokus lainnya di bawah.

Fokus 1 : Fundamentalisme: Makna Lebih Dalam Dibanding Riset Setara Institute

Fokus 3 : Menghitung Ulang Persetujuan Mahasiswa UIN Bandung Dicap Fundamental

4 Komentar

4 Comments

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Ke Atas