MAJALAH SUAKA TAHUN 2013
EDITORIAL
Membahasankan Luka Mahasiswa
Mengapa dari tahun ke tahun, hampir setengah abad, Kampus Hijau tak lepas dari kasus-kasus pelanggaran peraturan kemahasiswaan? Mengapa ricuh demi ricuh bergulir di setiap musyawarah tingkat jurusan sampai yang tertinggi, tingkat universitas? Jika tak mau ribet, kita bisa menyebutnya sebagai dinamika. Lain dengan jika kita peduli, mau berhenti sejenak dan bertanya pada diri kita sendiri: Ada apa?
Mahasiswa memang selalu digadang-gadang sebagai pelajar paling merdeka dari semua tingkat merdeka dari semua tingkat pendidikan formal di Indonesia. Maka, wajar ketika ada aturan yang mengekang kemerdekaan itu, mahasiswa berontak semau yang mereka bisa. Aspirasi berbondong-bondong diteriakan lewat pengeras suara di depan Al-Jamiah, lewat arak-arakan yang keliling dari Student Center ke gedung-gedung kuliah.
Soal jam malam, soal transparansi dana, soal penerapan Uang Kuliah Tunggal dan Biaya Kuliah Tunggal, soal Kartu Tanda Mahasiswa yang berbayar. Semuanya diteriakan, kecuali satu: kekerasan simbolik.
Ditemukannya hal-hal baru dalam realita membuat manusia lagi-lagi harus merumuskan bahasa yang cocok agar dapat diterima khalayak. Begitupun soal kekerasan simbolik. Kekerasan yang tak lewat tangan, tak melaggar aturan tertulis, merupakan kekerasan yang terjadi dengan kasat mata, di balik tembok Kampus Hijau yang tebal dan siap tutup mulut kapan saja diminta.
Yang tak tertangkap indera, memang sering terabaikan. Kita sama-sama dibutakan dengan apa yang bisa dilihat, dituliskan dengan apa yang bisa didengar, dibisukan dengan apa yang biasanya diucapkan dan dilumpuhkan dengan apa yang birokrat minta lakukan.
Lagi-lagi kita diminta peka. Ada yang tak beres dengan Kampus Hijau di luar fakultas dan segala keruwetan yang tertangkap indera itu. Ada yang perlahan merayap dari dalam menggerogoti tanpa disadari, di sana tanpa terasa.
Saat mahasiswa dipaksa membelikan dosen buku-buku mahal untuk menutupi nilainya yang kurang, saat mahasiswa dipaksa mengisi jawaban ujian dengan kata-kata sesuai dari buku saat mahasiswa mulai diatur berpakaian begini-begitu, itulah saat bibit kekerasan simbolik tumbuh. Ia mengakar, menjalar, menembus langit-langit kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Tak sependapat dengan dosen dan birokrat, diancam keluar kuliah. Beda suara di kelas saja, diganjar tak lulus dan harus mengulang. Berpakaian kurang rapi, akan dipandang jelek dan tak terdidik. Maka nilai dan norma menjadi kabur dan semu. Pendidikan jadi penuh subjektivitas yang berdasar emosi hanya karena adu pendapat atau urusan fisik yang tak sesuai.
Kasus-kasus tersebut tak pernah muncul dan sampai ke telinga mahasiswa-mahasiswa konservatif, yang melulu mengangguk setuju. Mereka hanya tahu sistem merapikan segala yang cerut-marut tanpa tahu jalan pintas apa yang para birokrat tempuh. Mereka tidak tahu banyak mahasiswa dipaksa tersenyum dan mencium tangan dosen yang memberinya nilai E hanya karena tak sependapat di kelas. Mereka tidak tahu banyak mahasiswa dippaksa tersenyum pada dosen yang memandang sebelah mata pada orang yang berambut tak rapi atau berpakaian semrawut. “Tidak berpendidikan,” katanya. Padahal bisaj jadi di otak mahasiswa berpenampilan sedemikian rupa itu banyak pemikiran-pemikiran yang bisa diambil dan dijadikan pelajaran.
Tak banyak yang mau bicara, semuanya sembunyi di balik meja dan ruangan masing-masing. Para birokrat mungkin takut namanya tercemar, sebagaimana ia mencemarkan nama mahasiswa yang ia kerangkeng kebebasannya.
Luka mahasiswa mendadak lahir dari penerangkengan kebebasan melakukan gerakan, kebebasan berkritik, melempar pendapat bahkan berpenampilan. Segalanya dibatas peraturan tertulis, dengan seperangkat sanksi yang mengiris.
Memang peraturan-peraturan itu tak kentara langsung diterapkan, namun lambat laun menjerat dan menjerumuskan mahasiswa untuk tutup ulut dan main terima. Kapan sivitas akademika Kampus Hijau sadar dan bergerak? Segera. Semoga. [Redaksi]