Kolom

Megaproyek Silicon Valley Indonesia: Menguntungkan atau Membuntungkan?

Ilustrator: Karina Amartia

Oleh: Fauqi Muhtaromun Nazwan*

Pengetahuan dan teknologi semakin berkembang menghadirkan sebuah ide-ide cemerlang yang dapat digunakan untuk mempermudah kegiatan aktivitas manusia, termasuk dalam hal industri. Silicon Valley salah satunya, sebuah kawasan industri dilengkapi dengan teknologi canggih yang berdiri di wilayah selatan Teluk San Fransisco, California. Dari kawasan inilah terlahir tiga raksasa industri teknologi dunia yaitu Facebook, Twitter, dan Google. Keberhasilan Silicon Valley dalam mengembangkan teknologi dan menjadi rumah bagi para startup industri mulai ditiru oleh negara-negara di dunia.

Salah satunya Indonesia yang baru berencana membangun Silicon Valley sendiri yang berkawasan di Cikidang dan Cibadak, Sukabumi dengan nama Bukit Algoritma. Didirikan di kawasan seluas 888 hektar dengan memakan biaya sebesar satu miliar euro atau setara dengan Rp18 triliun. Gagasan yang dikemukakan oleh Budiman Sujadmiko yaitu tokoh politikus PDIP dan Ketua Pelaksana PT. Kiniku Bintang Raya KSO ini menggandeng perusahaan-perusahaan swasta dan salah satu perusahaan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dibidang konstruksi sebagai penggarap yaitu PT. Amarta Karya (Amka).

Megaproyek yang masih menjadi rencana tersebut diisukan akan menjadi sebuah terobosan baru bagi Indonesia dalam bidang teknologi. Tetapi, walau proyek tersebut memiliki banyak manfaat dan fakta keberhasilannya sudah terbukti apabila merujuk pada Silicon Valley di Amerika Serikat, namun Indonesia adalah sebuah negara berkembang berbeda dengan Amerika Serikat dan indeks pengetahuan terhadap digitalisasi juga berbeda jauh. Terlebih lagi, pandemi dan bencana alam yang bertubi-tubi membuat ekonomi Indonesia semakin terpuruk, Bukit Algoritma dinilai hanya menjadi sebuah proyek yang bukan menguntungkan malah membuntungkan.

Sumber Daya Manusia yang Kurang Memadai

Melansir dari Bisnis.com, inovasi dan digitalisasi Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara di wilayah Asean. Bahkan apabila melihat data dari Asian Development Bank (ADB), tingkat inovasi dan digitalisasi Indonesia hanya sebesar 0,08 di tahun 2020 jauh lebih rendah dibanding dengan negara Filipina dan Kamboja. Hal demikian menjadi sebuah persoalan bagaimana Bukit Algoritma bisa menjadi sebuah inovasi sekaligus solusi bagi para pemuda yang dicanangkan menjadi talenta-talenta muda Indonesia dalam dunia digitalisasi.

Sebab dibutuhkannya pengetahuan penuh terhadap dunia digitalisasi demi terlaksananya megaproyek tersebut. Disisi lain, Indonesia bahkan masih kekurangan sumber daya manusia (SDM) yang pandai mengelola teknologi bahkan dalam memahami Artificial Intelligence (AI), tidak banyak bahkan dari perusahaan Indonesia yang paham akan teknologi AI seperti Nodeflux hingga Drone Emprit. Padahal banyak dari negara-negara dunia yang sudah mulai mengembangkan proyek teknologi seperti AI yang mempermudahkan aktivitas kehidupan manusia.

Tidak hanya dibutuhkan sebuah ekosistem yang memadai, posisi yang strategis dan mesin-mesin canggih untuk mengisi Silicon Valley Indonesia. Tetapi pengetahuan juga dibutuhkan sebagai sebuah kendali atas fasilitas-fasilitas yang sudah tersedia nantinya. Apabila tidak, Bukit Algoritma hanya akan memakan tanah milik negara dan tidak memberikan lowongan para pemuda dalam menuangkan pengetahuannya. Karna proyek ini menarik perusahaan-perusahaan swasta termasuk yang berada di luar negeri, ditakutkan bagi pemuda Indonesia akan kalah bersaing dalam dunia teknologi ketika Bukit Algoritma sudah terselesaikan.

Ketimpangan Sosial dalam Tubuh Masyarakat

Bukit Algoritma yang bisa membawa energi positif bagi para masyarakat khususnya kalangan pemuda yang sedang menggali potensi dalam bidang teknologi ternyata bisa menyebabkan ketimpangan sosial dalam tubuh masyarakat. Pekerjaan yang semakin sulit dicari terlebih lagi masa pandemi membuat sebagian orang putus asa untuk menafkahi diri dan keluarganya dinilai lebih menjadi permasalahan yang sesungguhnya. Karena dari masalah-masalah tersebut, masyarakat sangat sulit bersaing dalam mendapatkan pekerjaan bahkan tak jarang dari mereka tersisihkan dari orang asing yang masuk ke Indonesia untuk bekerja.

Tentunya dalam proyek ini dibutuhkan orang-orang yang paham akan bidang teknologi bukan hanya mengandalkan tenaga saja, serta upah yang diberikan bagi para pekerja juga dinilai besar dan hal demikian akan berdampak pada kehidupan masyarakat. Yang kaya akan terlihat semakin kaya karna mereka memang difasilitasi pendidikan yang memadai dan orang yang terlahir miskin akan semakin miskin karna pendidikan yang semakin sulit bahkan dalam bidang-bidang khusus seperti teknologi.

Kendati demikian, hal tersebut sepertinya tidak digubris oleh Budiman karna baginya proyek ini akan mendobrak inovasi dan teknologi di Indonesia pada tahun 2045 nantinya. Padahal seperti yang kita ketahui, akses internet di Indonesia saja masih belum merata di setiap daerah, pembelajaran daring saat ini juga menjadi kendala karna sebagian masyarakat yang tidak memiliki alat komunikasi dan kuota, jaringan internet pun masih mendekam di angka 4G padahal banyak dari negara maju yang sudah merilis konsep jaringan 6G.

Hal tersebut seharusnya menjadi permasalahan dalam membangun infrastruktur besar tersebut. Pendidikan teknologi yang baik hanya bisa didapatkan oleh kalangan feodal selebihnya bagi kalangan bawah harus berusaha ekstra untuk memahaminya. Khawatir akan terjadinya stagnasi bagi sistem ekonomi dalam masyarakat dan bahkan dalam mencari pekerjaan pun pada nantinya akan semakin sulit, juga pendidikan yang diberikan dalam universitas-universitas di Indonesia apakah sudah mampu menampung inovasi-inovasi para investor asing?.

Bisa Terjadinya Suspensi dalam Pembangunan

Walaupun biaya yang diambil tidak berasal sepeser pun dari kas negara, tapi bisa terjadinya penangguhan sementara atas pembangunan proyek Bukit Algoritma. Karna bisa jadi para investor melihat terlebih dahulu ekosistem Indonesia terutama dalam bidang SDM, dapat dipercaya atau tidak dalam mengembangkan ide-ide disertai dengan fasilitas yang memadai. Terlebih lagi masyarakat sekitar yang menjadi early adopter atau konsumen pertama yang merasakan manfaatnya sepertinya kurang tertarik untuk berinovasi didalamnya.

Suspensi dalam pembangunan terjadi tidak hanya disebabkan dari pengeluaran dana yang tersendat tetapi bisa jadi keadaan ekosistem Indonesia yang kurang mendukung. Apalagi kejadian sebelumnya pernah terjadi ketika salah satu perusahaan terbesar dunia yaitu Tesla ingin berinvestasi di Indonesia dengan nilai Rp. 294 triliun, tetapi Tesla menarik kembali janjinya kepada Indonesia dan malah memilih India sebagai tempat mereka berinvestasi.

Salah satu alasan Tesla saat itu ialah karna ekosistem di Indonesia yang kurang bersahabat, hingga pada akhirnya kebijakan Presiden Jokowi menarik investor asing saat itu tidak membuahkan hasil, bahkan beberapa investor global masih enggan bahkan tidak mau berinvestasi ataupun menanamkan modalnya di tanah air. Maka proyek Bukit Algoritma tidak menutup kemungkinan terjadi pemberhentian sementara dalam membangun proyeknya yang akan terselesaikan dalam kurun waktu 11 tahun.

*Penulis merupakan mahasiswa Semester 2 Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syari’ah dan Hukum, serta mahasiswa magang LPM Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas