Oleh Daniel Iqbal Sujana*
Krisis kepemimpinan dan kecerdasan mahasiswa membawa pengaruh besar kepada disiplin ilmu yang dipelajari dari universitas untuk diamalkan kepada masyarakat. Setelah produk positivisme mendominasi dunia, filsuf Perancis, August Comte membawa pemikiran bahwa dunia akan dipahami berdasarkan masyarakat yang berjalan mengikuti aturan-aturan. Lalu muncul pertanyaan, apa yang menjadi orientasi sebagian besar mahasiswa ketika kuliah ?
Pemimpin telah dipersiapkan lembaga yang memilki kewajiban mendidik anak bangsa. Kursi dan meja yang mereka gunakan adalah salah satu media, yang menjadi saksi bahwa pendidikan hakikatnya menumbuhkan dan menjadikan manusia lebih baik. Namun kecenderungan untuk berjalan mengikuti aturan-aturan yang ada menjadikan pendidikan terdistorsi oleh realita.
Kecerdasan, atau bahkan prestasi menjadi sempit maknanya. Kecerdasan yang selama ini masyarakat – bahkan lembaga pendidikan- pahami hanya berputar pada kompetisi dan perebutan peringkat kelas. Bisa dimengerti bahwa perebutan tersebut akan menghasilkan produk yang sebetulnya tidak menciptakan harmoni untuk dunia. Justru, hanya akan menjadi pekerjaan rumah, dimana dapur pendidikan hanya dipenuhi hegemoni saling menguntungkan dirinya sendiri.
23 Oktober 1990, David Pologruto, seorang guru di Coral Spring High School, Florida, Amerika Serikat yang pernah ditusuk oleh salah seorang murid terpandai di kelas bernama Jason Haffizulla. Dari semua muridnya, hanya Jason yang rata-rata meraih nilai sempurna dan menuai banyak pujian. Hingga suatu saat, kejadian mengerikan itu terjadi; penyebab yang memicu Jason menyerang David Pologruto adalah penilaian yang tidak sesuai dengan kebiasaan Jason ketika meraih nilai di bawah A. Penyerangan tersebut merupakan duka yang mendalam dari dunia pendidikan yang telah mencederai harmonisasi budaya.
Jason akhirnya dilaporkan atas perbuatan yang mengakibatkan David Pologruto terbaring di rumah sakit. Keputusan mengejutkan persidangan adalah Jason lepas dari semua tuntutan. Beberapa ahli dari psikiater memberikan kesaksian bahwa Jason sedang dalam kondisi gila. Kondisi emosi yang tidak mampu dikendalikan oleh Jason hingga menyerang gurunya, merupakan tindakan diatas batas wajar. Situasi demikian menimbulkan sebuah keraguan terhadap Jason : mengapa orang terpandai di kelas bisa dikatakan gila hingga membunuh akibat nilai? Apakah karena manusia berjalan secara mekanis hingga tidak memperlihatkan sisi terdalam yang lebih besar dari apa yang terlihat?
Kecerdasan dan Krisis Kepemimpinan
Kecerdasan, seharusnya dipahami sebagai potensi. Setiap orang tidak boleh diberikan batasan dalam pendidikan. Memang pada kenyataannya, pendidikan membutuhkan kamar untuk menempatkan seseorang pada garis potensinya. Namun, yang sesungguhnya terjadi adalah penempatan kamar bakat yang telah disusun tidak berdasarkan bidang yang orang minati.
Setiap tahun, selalu lahir ribuan sarjana di Indonesia, bahkan diikuti juga dengan peraih nilai terbaik (cumlaude). Kabar tersebut merupakan angin segar bagi proses pembangunan dan pengembangan sumber daya manusia yang mumpuni. Masyarakat sangat menunggu kontribusi para lulusan terbaik itu untuk mengabdi pada daerahnya masing-masing.
Namun, angin itu seperti luka duri yang harus dikonsumsi secara mentah oleh masyarakat. Fakta yang banyak terjadi adalah para lulusan terbaik akan mencari jalan hidup yang menguntungkan dirinya sendiri. Mereka sibuk untuk membuka lowongan kerja dengan brosur ijazah sarjana, khususnya dengan tulisan manja “peraih nilai terbaik”.
Seolah mimpi buruk pada siang hari, kemudian paradigma ‘peraih nilai terbaik’ itu berbalik kepada kemampuan yang lebih dibutuhkan oleh ‘pasar’. Akibatnya, Mahasiswa kemudian memutar haluan kepada arah lain. Tidak ada lagi idealisme, pemikiran dan pendapat yang sedari dulu disuarakan lantang di dalam kelas. Para lulusan itu kemudian seolah melepas almamater dan segenap nilai yang dianutnya dari kampus.
Sejatinya, kecerdasan seperti itu, hanya fokus kepada kompetisi. Dalam bahasa sederhananya, kecerdasan intelektual (IQ). Sudah menjadi kewajaran bagi seseorang yang ingin berkompetisi untuk menang dalam sebuah pertarungan. Namun kembali kita membenturkan realitas kepada tujuan dari mahasiswa dengan kenyataan di lapangan.
Maka, pada saat semua mahasiswa meyakini kecerdasan IQ yang paling utama, mengapa tidak banyak lahir pemimpin dari kalangan mahasiswa, yang mau mentransformasikan lingkungannya? Mungkin saja ada, tapi dalam skala yang kita bisa hitung dengan beberapa jari. Dalam skala yang lebih besar, para lulusan terbaik belum banyak yang mengisi hingga ke sektor desa atau kelurahan.
Krisis kepemimpinan, membuat akar dari pembinaan dan pendidikan, harus sedikit dewasa menyikapi pergerakan zaman. Butuh adanya kesadaran tentang berbagai jenis kecerdasan manusia. Selain IQ dan kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spritual (SQ) menjadi pilihan utama, bila kita membicarakan kebutuhan.
Kita membutuhkan pemimpin yang memiliki rasa keterpanggilan dan empati yang tinggi. Karena minimal dengan kedua itu, baik kepemimpinan secara struktur ataupun bermasyarakat, akan membentuk sebuah relasi yang harmoni. Internalisasi zaman, mengubah pendidikan kepada arah mengosongkan makna di dalamnya. Orang mau untuk terdidik, karena tuntutan. Seperti sebuah paksaan realitas dan sosial. Justru sebaliknya, orang mau untuk terdidik, karena pendidikan kebutuhannya. Semakin hilangnya kebutuhan manusia untuk berpendidikan, menjadi tanda tanya bagi kaum terdidik, yang selama ini sibuk, dengan menggunakan seragam yang berkeringatkan orang tua dibelakangnya.
Kecerdasan spiritual tidak membatasi manusia ke dalam kamar potensi yang terkunci oleh paksaan dari luar. Menyadari dan menerapkan kecerdasan spiritual, justru akan mendorong segala potensi yang dimiliki. Itulah yang menjadikan amanat dan hakikat bahwa pendidikan akan membuat manusia menjadi lebih baik.
Kebutuhan pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual terletak pada semua aspek yang saling mempengaruhi. Bisa dalam skala bagaimanapun, peran dan perilaku pemimpin sangat penting pada proses kepemimpinan. Peran pengendalian, dengan prinsip tulus melayani, akan membuat sebuah organisasi yang dibawanya melakukan transformasi.
Maka dalam proses mencari kepemimpinan baru, tidak bisa dilakukan dengan instan. Butuh perbaikan sistem pendidikan yang berorientasikan pada pendidikan karakter berbasis tiga kecerdasan: IQ, EQ dan SQ. Mahasiswa sebagai pemegang penting tonggak perubahan harus dengan segera sadar terhadap orientasi kemahasiswaannya.
Penulis adalah Mahasiswa Tasawuf Psikoterapi semester VIII, juga merupakan Ketua Komunitas Generasi tanpa Penyalahgunaan Narkoba 2016-2017