
Ilustrasi: Fereel Muhamad A/Magang
Oleh: Kamelia Syifa Aulya*
SUAKAONLINE.COM – Pernyataan Presiden Indonesia Prabowo Subianto yang menyatakan perlunya perluasan kebun kelapa sawit di Indonesia, termasuk dengan melakukan deforestasi ramai diperbincangkan publik karena komoditas ini diperebutkan oleh banyak negara. Prabowo mengatakan bahwa pohon sawit sama seperti pohon pada umumnya, menghasilkan oksigen dan menyerap karbon dioksida. Pernyataan ini memicu pro dan kontra di berbagai kalangan masyarakat.
Mengutip dari Tempo, dalam pidatonya di acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di Bappenas, Senin, (20/1/2024). Prabowo menyatakan terkait perlunya menambah tanam sawit tanpa perlu takut bahaya deforestasi. Ia juga menyamakan antara pohon sawit dan pohon di hutan karena keduanya dapat mengeluarkan oksigen dan menyerap karbon dioksida.
Selain itu, usulan Prabowo terkait perluasan lahan kebun kelapa sawit mendapatkan apresiasi dan dukungan penuh dari para pengusaha sawit, Ketua Asosiasi Petani kelapa sawit Indonesia (Apkasindo) mengatakan sawit merupakan anugerah Tuhan yang dapat menjadi daya tawar Indonesia terhadap dunia.
Namun, banyak pihak yang menolak dan mengkritik usulan presiden tersebut, karena tidak didasari argumentasi ilmiah yang cukup dan dianggap hanya akan menguntungkan segelintir elit dan pebisnis saja. Maka dari itu, beberapa kekeliruan yang disampaikan pada acara Musrenbang terkait rencana perluasan lahan kebun kelapa sawit di Indonesia, di antaranya:
Benarkah Deforestasi tidak Membahayakan?
Pernyataan bahwa melakukan deforestasi tidak membahayakan adalah sebuah kekeliruan. Pasalnya, memperluas lahan kebun sawit dengan melakukan deforestasi tentunya memberi dampak kerusakan yang mendalam terhadap lingkungan. Mengutip dari jurnal berjudul Dampak Deforestasi terhadap Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem, deforestasi dapat menyebabkan hilangnya habitat dan punahnya spesies, fragmentasi habitat dan ekosistem, dan berdampak pada migrasi dan kelangsungan hidup.
Selain itu, deforestasi juga berdampak terhadap ekosistem, seperti hilangnya keanekaragaman hayati, gangguan siklus nutrisi, perubahan iklim, terganggunya siklus air, erosi tanah dan banjir lumpur, hilangnya biotop, gangguan keseimbangan predator-mangsa, dan perubahan lanskap. Maka, data ini menunjukkan bahwa deforestasi tidak membahayakan merupakan opini yang keliru dan tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Pengamat politik lingkungan dari konsorsium peneliti untuk pemberdayaan dan kesejahteraan (Kiprah), Ahalla Tsauro memberikan pernyataan bahwa bisnis perkebunan sawit telah berperan besar terhadap deforestasi selama bertahun-tahun yang berdampak pada degradasi lingkungan serta mengancam biodiversitas alam. Selain itu, sawit merupakan sumber devisa bagi negara karena penjualannya yang tinggi, namun bisnis ini perlu kendali agar tidak berdampak negatif bagi lingkungan.
Ia juga mengatakan, perluasan kebun sawit dapat mengakibatkan masyarakat rentan mengalami bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor. Perluasan kebun kelapa sawit sama seperti perluasan area untuk pertambangan nikel/batu bara yang seringkali diambil tanpa memperhatikan aspek sosial dan budaya dari tempat yang dipaksakan untuk wilayah industri.
Merujuk dari data di atas, saya menyimpulkan bahwa usulan perluasan lahan kebun kelapa sawit harus ditinjau ulang, mengingat deforestasi telah banyak menghasilkan dampak negatif bagi negara. Melakukan deforestasi untuk memperluas lahan kebun sawit berarti menambah angka kerugian terhadap negara dan masyarakat, karena bertambahnya kerusakan pada sektor lingkungan. Maka, hal ini berbanding kontras dengan pernyataan Prabowo yang menyatakan deforestasi tidak membahayakan.
Apakah Pohon Kelapa Sawit memiliki Peran yang sama dengan Pohon di Hutan?
Prabowo mengatakan bahwa pohon sawit memiliki fungsi yang sama dengan jenis pohon di hutan dengan menitikberatkan pada penyerapan karbon dioksida. Ia berpendapat bahwa melakukan deforestasi untuk ekspansi kebun kelapa sawit sama sekali tidak berbahaya. Namun, faktanya kemampuan pohon kelapa sawit dalam menyerap karbon lebih rendah dibandingkan kemampuan yang dimiliki hutan, serta tidak sebanding dengan emisi karbon yang dikeluarkan ketika alih fungsi terjadi.
Melansir dari katadata.co, Policy Strategist Yayasan Indonesia cerah, Sartika Nurshalati mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak logika yang menyamakan sawit dengan hutan. Dalam jurnal “Estimation of oil palm total carbon fluxes using remote sensing”, hutan alam tropis dapat menyerap karbon dioksida sekitar 163,5 ton per ha per tahun. Sedangkan, sawit menyerap 86,5 ton per ha per tahun. Artinya, Indonesia akan kekurangan penyerap karbon apabila wacana perluasan lahan sawit terealisasi.
Ia juga menyebut hutan tidak hanya berfokus pada penyerapan emisi, namun di dalamnya terdapat ekosistem alami seperti keanekaragaman tumbuhan, hewan, mikroorganisme serta unsur tanah dan air yang saling terintegrasi. Menurutnya, membandingkan kebun sawit yang monokultur dengan hutan, seperti membandingkan dua objek yang tidak setara, karena unsur penyusun dan fungsinya pun berbeda.
Pohon kelapa sawit memang memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan landasan untuk menyamakannya dengan fungsi pohon di hutan lalu melakukan deforestasi. Kemampuan sawit yang lebih rendah dalam menyerap karbon dioksida serta sawit yang merupakan tumbuhan monokotil sehingga tidak dapat menyerap air hujan jelas tidak sebanding dengan peran pohon di hutan sebagai penyeimbang ekosistem alam.
Sebagai penulis, saya mengapresiasi ambisi Prabowo untuk meningkatkan sumber pendapatan negara. Kelapa sawit merupakan anugerah yang menjadi komoditas strategis penyumbang devisa negara. Namun, rencana perluasan lahan kebun kelapa sawit jika dilakukan tanpa evaluasi dan pertimbangan dari berbagai aspek, akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang tidak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan.
Menyadur dari Kompas.com, upaya peningkatan devisa negara tidak hanya dapat dilakukan dengan ekspansi kelapa sawit saja, sektor perkebunan Indonesia memiliki potensi besar dalam mendukung ketahanan energi nasional melalui produksi energi terbarukan. Beberapa tanaman yang dapat menjadi alternatif pengganti sawit sebagai komoditas strategis dengan dampak lingkungan yang lebih rendah, antara lain jatropa, kemiri sunan, jarak kepyar, tebu dan akar wangi.
Ambisi perluasan lahan kelapa sawit yang memberikan dampak positif terhadap perekonomian negara perlu diseimbangkan dengan melihat dampak negatif terhadap ekologis yang dapat ditimbulkan. Maka, sebaiknya presiden maupun pemerintah melibatkan para ilmuwan dan pakar dalam menentukan pembangunan yang manusiawi dan ramah lingkungan, tidak hanya menguntungkan segelintir elit dan merugikan masyarakat, namun melahirkan kesejahteraan secara merata.
*Penulis merupakan mahasiswi jurusan Bahasa dan Sastra Arab semester empat UIN SGD Bandung