SUAKAONLINE.COM – Ana, bukan nama sebenarnya, kini sudah masuk kelas satu sekolah dasar (SD). Meski tampak seperti anak usia tujuh tahun kebanyakan, tidak ada yang tahu jika ia menanggung trauma sebagai korban kekerasan seksual oleh ayah kandungnya sendiri.
Hampir tiap malam Ana selalu memainkan kelamin dan payudaranya sebelum tidur. Ia juga punya kebiasaan tidur mengangkat bajunya dengan posisi terlentang kedua kaki yang dibuka lebar. Kisah Ana ini dituliskan dalam laporan sebuah media lokal di Nusa Tenggara Barat, gaungntb.com. Semua informasi kondisi Ana ini diceritakan langsung oleh ibu korban.
An Nisaa Yovani, Co-Founder Samahita, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang aktif mendampingi korban kekerasan seksual di kota Bandung, ikut menceritakan tentang pengalamannya mendampingi korban anak. Perempuan yang akrab disapa Yona ini, menyebut kasus pelecehan seksual pada anak memang cenderung dilakukan oleh orang dekat keluarga. Biasanya oleh anggota keluarga langsung, tetangga atau teman dekat keluarga.
“Kalau di Samahita ada beberapa (korban yang didampingi) yang pelakunya kerabat korban,” ungkapnya saat dihubungi melalui pesan whatsapp, Senin, (19/10/2020)
Menilik data dari Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak perempuan. Dalam laporan tersebut, dari 11 ribu lebih kasus kekerasan terhadap perempuan di ruang privat, hampir seperempatnya dialami anak perempuan.
Berdasarkan data tersebut, 57% atau 1.341 dari 2.341 kasus kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) di ranah privat merupakan kekerasan seksual. Untuk diketahui, Komnas Perempuan membagi kekerasan seksual ke dalam dua kategori. KTAP Inses, yaitu kekerasan yang melibatkan keluarga sedarah, dan KTAP Seksual yang dilakukan oleh orang dekat namun tidak memiliki hubungan darah.
Tingginya kasus inses dalam data tersebut tidak bisa lepas dari keterlibatan anggota keluarga dekat sebagai pelaku. Pasalnya masih dalam laporan yang sama, 44% kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang privat pelakunya adalah paman, ayah kandung, juga ayang tiri/ayah angkat. Meski begitu Komnas Perempuan juga memberikan catatan, hubungan kekerabatan memungkinkan banyak kasus yang tidak berhasil terlaporkan dan terdata.
Ditambahkan Yona, keterlibatan anggota keluarga sebagai pelaku seringkali memanfaatkan statusnya sebagai orang dekat korban. Hal ini yang menyebabkan tindakan pelaku terasa samar. Tampak seperti ungkapan kasih sayang dan tidak dianggap tindakan pelecehan. Bahkan di antaranya ada yang berlangsung hingga anak dewasa.
“Kadang pelaku masih sering minta cium, peluk. Ada yang bahkan hingga menyentuh wilayah privat korban,” ujar Yovi.
Menurut Yona, tindak kekerasan seksual tidak selalu dengan adanya penetrasi alat kelamin. Kebiasaan sehari-hari yang seringkali dianggap lumrah oleh anggota keluarga juga bisa jadi berbentuk pelecehan. Apalagi saat korban merasa tidak nyaman. Sikap anggota keluarga yang acuh bisa jadi memperparah situasi.
“Victim blaming yang paling sering, kadang keluarga juga yang nyalahin korban hingga akhirnya korban cenderung ikut menyalahkan dirinya sendiri,” tambah Yona.
Ini yang menyebabkan, menurut Yona, korban bisa saja mendapat kekerasan fisik dan psikis dari keluarganya. Keluarga menyalahkan cara berpakaian korban dan kebiasaan pulang malam.
“Bisa juga dianggap bukan perempuan baik-baik. Ada juga yang sampai pada tahapan kekerasan fisik yang dilakukan oleh keluarga terhadap si anak tersebut,” ungkapnya.
Selain pelecehan seksual secara fisik, Yona menyebut anak juga rentan terhadap bentuk pelecehan seksual secara online. Pelaku biasanya kerap meminta foto-foto korban tanpa busana atau pelaku yang mengirimkan gambar alat kelaminnya sendiri.
“Terlihat sama dengan kasus Kekerasan Berbasis Gender Onvine (KBGO) pada umumnya, namun lagi-lagi ada relasi keluarga sehingga skema perlindungan pada korban juga akan berbeda,” sahut Yona.
Rapuhnya Peran Perlindungan Keluarga
Selain trauma pasca-kejadian yang dialami anak korban kekerasan seksual, korban juga kerap dikucilkan dari keluarganya sendiri. Tidak jarang korban yang di bawah umur juga terpaksa dinikahkan dengan pelaku dengan dalih penyelesaian masalah secara kekeluargaan.
Hal ini tergambar dalam sebuah liputan Tirto berjudul “Episode Baru Tragedi Penyintas Perkosaan, Paksaan Menikah” 2018 silam. Psikolog Yayasan Pulih, Gisel Tani Pratiwi menceritakan bahwa korban kasus kekerasan seksual yang berada di bawah umur sering dipaksa menikah setelah keluarga mengetahu kehamilan yang dialami. Hal ini dilakukan agar si anak tidak terlahir tanpa ayah.
“Mereka menikah supaya anak yang lahir nanti punya ayah secara hitam di atas putih,” sebutnya.
Bisa dilihat dalam data UNICEF yang menyebut pada tahun 2018 setiap 1 dari 9 perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Ada satu juta lebih perempuan usia 20-24 tahun yang perkawinannya terjadi pada usia belum genap 18 tahun, dan 61,3 ribu perempuan usia tersebut yang perkawinannya terjadi sebelum usia 15 tahun.
Saat seorang anak menjadi korban kekerasan seksual biasanya tantangan lain yang dihadapinya adalah tekanan sosial masyarakat sekitar. Hal ini yang menyebabkan orang tua anak cenderung saling menyalahkan. Konflik yang terjadi di antara orang tua ini akan semakin memperkeruh stabilitas korban.
“Bahkan ada beberapa yang orang tuanya jadi berantem saling nyalahin, karena (mereka) nggak tahu inti masalahnya itu ada di mana,” jelas Yona.
Apa yang Harus Keluarga Lakukan?
Sekalipun secara hukum perlindungan terhadap anak diatur di dalam undang-undang, relasi keluarga memungkinkan masih banyak kasus yang tidak dilaporkan dan diproses secara hukum. Ini yang dialami oleh Ana. Ibunya yang ketakutan kalau mantan suaminya akan menyakiti Ana dan dirinya memutuskan tidak melaporkan kejadian pelecehan seksual yang dialami anaknya.
Ibu Ana yang juga merupakan korban KDRT membuatnya tidak berani melarang apabila pelaku membawa korban pergi ke luar rumah. Kisah Ana tersebut jadi gambaran terhadap dampak buruk yang akan dialami anak berupa trauma berkepanjangan. Efek traumatis tersebut bisa saja dirasakan langsung maupun saat sudah dewasa nanti, terutama pengaruhnya terhadap perubahan perilaku korban.
Hal ini dibenarkan oleh Dosen Psikolog Klinis Anak Fakultas Psikologi UIN SGD Bandung, Rika Rahmawati saat dimintai keterangan Rabu (21/10) lalu. Menurutnya kekerasan seksual terhadap anak dapat berakibat pada perilaku adaptif dengan kehidupan sehari-hari atau lingkungan sekitar.
Oleh karena itu, Rika menyebut penting agar kehadiran keluarga yang inklusif turut berperan dalam membantu pemulihan korban. Menerima kondisi anak dan mempersiapkan bentuk pemulihan yang dibutuhkan anak tergantung kondisinya masing-masing. Membatasi akses dengan pelaku juga menjadi salah satunya.
“Bisa dibawa ke professional seperti yang berkaitan dengan psikolog, psikiater atau dokter lain. Anak harus didampingi pemulihannya,” saran Rika.
*Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Reporter: Abdul Azis Said/Suaka
Redaktur: Awla Rajul/Suaka