Oleh Muhammad Najib Zain *
Kawan satu-dua tingkat di atas saya sejak awal tahun ini mulai satu persatu hilang meninggalkan hiruk-pikuk persoalan akademik kampus. Meniggalkan artinya selesai. Selesai di sini dimaksudkan telah usai dan kata yang paling paripurna adalah: Lulus.
Paling tidak lulus dari jeratan dosen pembimbing aral, lulus dari ibu kostan genit-cerewet ketika datang tempo bayar, lulus dari hasrat ingin berutang pada ibi kantin. Maksud saya lulus dari strata-1 alias telah sarjana. Namun itu tidak berlaku bagi kalangan yang ingin meneruskan ke jenjang selanjutnya atau S-2, sebab jika kalian melanjutkan otomatis akan bertemu dengan pola hidup yang hampir sama. Kecuali, terkhusus anak rantau, kalian sudah mempunyai penghasilan tetap, bekerja di perusahaan, memliki wirausaha mandiri atau menjadi kader salah satu partai. Itu pun belum pasti.
Namun apakah setelah dinahbiskan menjadi-mendapat-gelar sarjana lantas kalian wahai sarjana muda patut berbangga hati? Tidak kawan, sesungguhnya kalian sama saja dengan kami yang menunda-nunda kelulusan atau bahkan kalian lebih parah, sebab dengan adanya kelulusan kawan, angka pengangguran di Indonesia bertambah meningkat.
Meski rilisan Lembaga Survey Indonseia (LSI) dalam Kondisi Ekonomi Nasional Sekarang (2009) menunjukkan situasi yang fluktuatif, namun keadaan dan evaluasi sosiotropik warga mulai membaik. ”Secara absolut, jumlah pengangguran turun dari 10,25 juta orang pada 2004 menjadi 9,26 juta orang pada 2009.”
Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang terkini, Kompas menayangkan yakni BPS mengungkapkan, pada tahun 2017 telah terjadi kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia sebesar 10.000 orang menjadi 7,04 juta orang pada Agustus 2017 dari 7,03 juta orang pada Agustus 2016.
Sedang tirto.id masih dari BPS, kondisi ketenagakerjaan di Indonesia selama Februari 2017 hingga Februari 2018. Berdasarkan data yang disampaikan BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan universitas naik sebesar 1,13 persen dibandingkan Februari 2017. Dari 5,18 persen menjadi 6,31 persen.
Berbeda dengan yang lain, Pikiran Rakyat, bahwa Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mencatat sekitar 8,8% dari total 7 juta pengangguran di Indonesia adalah sarjana.
Untuk kakak tingkat mahasiswa, sudahlah tak ada yang mesti dibangga-banggakan atas gelar kesarjanaanmu itu. Kalau tungtung-nya menganggur juga. Dan, untuk kawan sejawat semestinya hal ini menjadi pelajaran, bahwa lulus cepat bukan jaminan.
Revisi skripsi malas dikerjakan, menunggu ijazah menyebalkan, beasiswa tak dapat, menggeluti passion tanggung, bingung mau ngapain, ya. Dalih ingin beristirahat dari dunia kampus, tapi masih sering lirik-lirik adik junior, alih-alih istirahat tapi masih suka muncul di ospek jurusan dengan tampang sok gagah.
Adikmu ini tak butuh gelarmu, yang kami butuhkan adalah proses perjalanan serta pencarian segala ilmu pengetahuan baik berupa teori maupun praksisnya. Bak di film Kera Sakti, Guru dan Son Gokong bersama-sama mencari kitab suci. Seperti dalam serial Ninja Hatori, “mendaki gunung lewati lembah bersama Ninja Gozaru dan kawan-kawan.” Sama halnya dengamu, Kak. Yang kami butuhkan adalah jawaban-jawaban atas semua pertanyaan yang sering hinggap di dinamika dunia kampus sehari-hari.
Membagi ilmu seberapa pentingnya berorganisasi, mengajarkan seberapa riskannya jika meninggalkan akademik. Bagaimana jika kami tidak diskusi mencari solusi soal isu yang berkembang, bagaimana jika kami tak rajin membaca buku, bagaimana bila kami tak bisa membaur dengan masyarakat, bagaimana kalau mengkritik kebijakan dosen, dan masih banyak lagi hal yang seharusnya lebih dulu kami terima ketimbang kelulusan kalian.
Kalau boleh menganalogikan, semestinya kita belajar dari petani, ia mengetahui kapan harus memetik dan panen atas padi dan buah selama beberapa waktu. Bukan malah membiarkan buah yang masih mentah terlanjur sudah kadung dipetik. Jika alasan lain muncul yaitu tersendat karena biaya bila harus menunda-nunda. Memang apa bedanya dengan lulus cepat tapi menganggur? Dan menambah angka di statistik. Bukankah itu lebih memberi pressure terhadap orangtua? Anak sudah kadung sarjana tapi masih menganggur.
Bagaimana kawan? Apakah lulus cepat tetap menjadi pilihan? Apakah adik-adikmu sudah cukup mandiri untuk ditinggalkan seorang Kakak? Apakah gelar sarjanamu mampu bermanfaat bagi orang-orang di sekelilingmu? Apakah skill-mu sudah bisa menembus kriteria ribet perusahaan? Apakah Anda cukup punya modal dan relasi guna membangun wirausaha mandiri? Apakah organisasimu bisa membawamu menjadi seorang kader parpol ternama? Apakah atas kelulusanmu tidak menjadi kebanggaanmu malah menjadi olok-olokan sebab kau masih menganggur gigit jari?
Percayalah menjadi matang itu penting. Kecuali kau sudah memprediksi masa depanmu akan cerah benderang. Namun, sayang beribu sayang, bahwa prediksi tak akan selalu benar.
*Penulis merupakan mahasiswa Semester 7 Jurusan Ilmu Hadits Fakultas Ushuluddin