
Pelukis Jeihan Sukmantoro melayani pengunjung yang ingin meminta tanda tangan usai pembukaan pameran 50 Tahun Mata Hitam Jeihan di Studio Jeihan Jl. Padasuka 143-145 Pasirlayung, Bandung, pada Sabtu (26/9/2015).Pameran tersebut akan berlangsung hingga Senin (5/10/2015). (A Rijal Hadyan/ Suaka)
SUAKAONLINE.COM, Bandung- Deretan lukisan yang dipajang di koridor utama Studio Jeihan, Jl. Padasuka 143-145 Pasirlayung, Bandung membawa kesan mistis. Semua objek lukisan itu memiliki mata hitam “bolong”. Kesan mistis makin terasa dengan permainan warna dasar hitam dan putih yang mendominasi lukisan.
Adalah Jeihan Sukmantoro, seniman di balik deretan mata hitam itu. Di ulang tahun ke 77-nya, Jeihan merayakan 50 tahun ide mata hitamnya dengan sebuah pameran yang dibuka sejak Sabtu (26/9/2015) hingga Senin (5/10/2015). Pameran yang bertajuk 50 tahun Mata Hitam Jeihan tersebut menyajikan karya-karya Mata Hitam Jeihan yang mulai Ia buat dari tahun 1960-an hingga 2015.
Mata Hitam Jeihan memunculkan kesan-kesan mistis dari tiap objek yang coba Ia lukis. Misalnya pada lukisan Ratu Laut Nusantara (Ibunda Ratu Laut Kidul) yang menampilkan sosok wanita dengan pakaian adat Jawa. Mata hitam pada lukisan itu membuat kesan mistis yang kuat mengenai sosok Ibunda Ratu Laut Kidul.
“Mistifikasi dalam konteks lukisan Jeihan adalah sebuah gagasan untuk meletakan objek ke dalam dimensi non fisik, spiritual, ke arah mitologis dan kepercayaan khusus, non indrawi,” kata Kurator dalam pameran tersebut Mikke Susanto.
Karya-karya Jeihan, tambah Mikke, menjadi menarik karena selalu mencoba menampilkan esensi dan realitas lain dari sebuah objek. Sejalan dengan prinsip berkarya Jeihan “esensi, itu pokoknya”.
Puluhan lukisan yang memenuhi tiga lantai gedung tersebut menunjukan perkembangan lukisan Jeihan dari masa ke masa. Lukisan-lukisan Jeihan pada dekade 90-an misalnya, banyak menggunakan permainan warna yang beragam. Karya-karyanya di tahun 2000-an terlihat menggunakan permainan warna yang datar, dengan hitam dan putih sebagai warna yang dominan.
Perubahan itu diakui Jeihan sebagai bagian dari proses berkarya yang Ia alami, sesuai dengan perjalanan usianya. “Sekarang bukan daya vitalitas yang saya gunakan untuk berkarya, tapi daya mortalitas saya. Seperti warna hitam dan putih itu,” ujar Jeihan usai pembukaan pameran. Walaupun mengaku ingin cepat-cepat “pulang” meninggalkan dunia, Ia mengaku masih memiliki semangat untuk berkarya dan menyampaikan ide-idenya pada kaum muda.
Menurutnya masyarakat Indonesia telah menjadi korban dari teori-teori barat, sehingga melupakan kearifan bangsanya sendiri. Hal itu yang memotivasinya untuk melukis potret tokoh-tokoh nusantara dan Indonesia. Misalnya portrait Maharaja Sanjaya, yang menurutnya adalah raja Jawa pertama yang berasal dari suku Sunda. “Inilah usaha saya untuk mengenalkan kembali,” ujarnya.
Menurut Jeihan, dalam berkesenian seorang seniman harus mampu berfikir mendalam dan luas. Karena menurutnya seni haruslah memberikan sumbangsih bagi bangsa. “Bukan seni untuk seni, tapi seni untuk segala macam,” pungkasnya.
Repoter : Ahmad Rijal Hadyan
Redaktur : Isthiqonita