Kampusiana

Nina Nurmala: Kekerasan Seksual Merupakan Bentuk Diskriminasi Gender

Nina Nurmala menyampaikan materi pada diskusi panel bertajuk “Sudahkan Kita Merdeka Dari Kekerasan Seksual di Kampus?” melalui Zoom Meeting Senin, (23/08/2021). (Zahra Siti Syahida/Suaka)

SUAKAONLINE.COM – Tim bilik pengaduan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Women Studies Center (WSC) UIN SGD Bandung menggelar diskusi bertajuk “Sudahkah Kita Merdeka Dari Kekerasan Seksual Di Kampus?” melalui Zoom Meeting, Senin (23/08/2021). Sekitar 200 lebih peserta hadir dalam diskusi tersebut.

Hadir dalam diskusi tersebut Ketua Bilik Pengaduan WSC UIN SGD Bandung Hana Senjani, Guru Besar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Nina Nurmila, Ketua Umum Sema-U Ragen Regyta, dan Ketua Umum Dema-U Malik Fajar Ramadhan.

Hana menyampaikan kasus kekerasan seksual di UIN SGD Bandung pada tahun 2018 dan 2020 meningkat sebanyak 41,37 persen. Di mana ada sekitar 199 kasus di tahun 2019 dan 481 kasus di tahun 2020. Kasus terbesar ada di kekerasan berbasis gender online (KBGO). Untuk karakteristik pelaku terbesar ada di kasus KBGO yang dilakukan orang asing.

Dalam pemaparannya Nina Nurmala menyampaikan kekerasan seksual merupakan bentuk diskriminasi gender. Padahal, lanjut Nina, setiap orang harus bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan atas perlakuan tersebut.

“Kekerasan seksual merupakan perbuatan menghina, merendahkan, menyerang tubuh, dan seksualitas seseorang termasuk serangan terhadap fungsi reproduksi. Perbuatan ini membuat korban merasa tidak nyaman, sakit hati, direndahkan, malu, hina serta tidak berharga, bahkan trauma. Ini bisa terjadi baik kepada laki-laki maupun perempuan. Namun pada umumnya perempuan yang kena,” tuturnya, Senin (23/08/2021).

Nina menyebutkan terdapat payung hukum di level kampus yakni SK Dirjen Pendis tentang pencegahan kasus kekerasan seksual yang sudah disosialisasikan oleh Direktur PTKIN ke seluruh rektor. Kemudian dibuat menjadi SK Rektor dalam bentuk Standar Operasional Prosedur (SOP) pencegahan kasus kekerasan seksual.

Sebagai sebuah lembaga legislatif, Sema-U memiliki kewenangan untuk menyampaikan aspirasi mahasiswa terkait kekerasan seksual di kampus. “Nah bentuk dari aspirasi tersebut pada akhirnya kita kemas dalam sebuah aturan. Kalau misalkan tadi dipertanyakan di awal, bagaimana sikap Sema-U untuk mencegah adanya kekerasan seksual, maka sesuai dengan tupoksi Sema-U sendiri, memiliki kewenangan dan kewajiban untuk menyampaikan aspirasi,” ujarnya Ketua Sema-U Ragen Ragyta.

Ragen menambahkan perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak untuk menyempurnakan aturan pedoman pencegahan kasus kekerasan seksual. Guna menciptakan ruang aman bagi mahasiswa, dalam rangka mencegah atau menghilangkan adanya kekerasan seksual.

Terkait dengan adanya laporan kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun, Ketua Dema-U Malik Fajar Ramdhan menyampaikan perlu ada upaya agar kasus serupa tidak terjadi kembali. “Maka kami rekomendasikan berbagai agenda yang bersifat edukatif dengan kemasan ringan yang bisa diakses oleh seluruh mahasiswa sebagai bentuk penyadaran dari setiap masyarakat kampus,” ucapnya.

Diakhir diskusi, Malik mengatakan setiap mahasiswa mempunyai peran yang sama untuk menyebarluaskan campaign berbentuk edukasi. “Artinya keterlibatan publik harus dibuka selebar mungkin. Sehingga upaya untuk menekan adanya kekerasan seksual di kampus itu dilakukan secara bersama-sama. Secara partisipatif dan secara inklusif sehingga terbangun suatu paradigma di mana korban juga tidak merasa sendiri karena hal itu penting,” pungkasnya.

Reporter         : Yulianingsih dan Zahra Siti Syahida/Suaka

Redaktur        : Fuad Mutashim/Suaka

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas