Aspirasi

Penerapan PSBB: Kenapa Jadi Ribet, sih?

Ilustrasi: Rini Zulianti/Suaka

Oleh: Muhammad Taufiq Ramadhan*

Status darurat COVID-19 saat ini pantas diberikan kepada Indonesia. Hal ini dikarenakan semakin melonjaknya jumlah kasus positif COVID-19 di beberapa wilayah di Indonesia. Bukan hanya itu, persentase jumlah kasus meninggal yang disebakan oleh pandemi ini di wilayah Indonesia pun masih tinggi.

Untuk itu, berbagai upaya terus dikerahkan oleh pemerintah untuk mengurangi penularan penyakit ini. Salah satunya yaitu diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah DKI Jakarta. Bukan hanya di wilayah Ibu Kota, kebijakan ini juga di terapkan di beberpa kabupaten/kota lain karena sudah disetujui oleh Kementerian Kesehatan. Beberapa wilayah tersebut diantaranya; Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, dan Kota Bandung.

PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Hal itu sebagaimana tertuang dalam pasal 1 Permenkes No 9 Tahun 2020 sebagai peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

PSBB dianggap sebagai upaya yang tepat untuk mengurangi penyebaran penyebaran penyakit ini. Hal ini karena dengan adanya PSBB, berarti adanya pembatasan kegiatan tertentu penduduk seperti meliburkan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, kegiatan di tempat umum, kegiatan sosial budaya, dan pembatasan moda transportasi. PSBB ini berbeda dengan karantina wilayah atau lockdown yang istilahnya lebih populer di masyarakat. Karena dalam karantina wilayah, masyarakat sama sekali tidak diperbolehkan ke luar rumah.

Kriteria yang birokratis

Pemberlakuan status PSBB di sebuah wilayah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak kriteria yang harus dipenuhi Pemerintah Daerah sebelum menetapkan status PSBB di wilayahnya. Kriteria-kriteria tersebut menurut penulis dirasa sangat birokratis karena rumitnya mengurus administrasi. Seperti jumlah kasus atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan. Hal itu disertai dengan bukti adanya data Pemerintah Daerah yang harus melaporkan data secara rinci mengenai jumlah kasus COVID-19 yang berada di wilayahnya.

Hal ini dirasa cukup berbelit. Dikarenakan Kementrian Kesehatan seperti tidak punya sistem pemantauan dan data sendiri, dan seolah-olah ini masalah Pemerintah Daerah. Pemerintah Pusat seharusnya mempunyai basis data tersendiri guna mengontrol pemerintah-pemerintah daerah. Karena bagaimanapun data sangat mudah untuk dimanipulasi.

Ketentuan dalam pasal 4 ayat (4) mengenai PSBB juga akan sulit dipenuhi beberapa daerah. Di sana dijelaskan bahwa harus ada kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain sebagaimana tertulis dalam pasal 2 b. Serta ditegaskan pula bahwa data transmisi lokal harus disertai dengan hasil penyelidikan epidemiologi yang menyebutkan telah terjadi penularan generasi kedua dan ketiga.

Tentunya hal itu akan sangat memakan waktu, sementara penyebaran virus ini sangat cepat bahkan hingga lebih dari 200 kasus positif baru setiap harinya di Indonesia.

Tak hanya itu, kriteria lain yang mengharuskan penyertaan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan. Hal tersebut menurut penulis tidak bisa dipukul rata di semua wilayah di Indonesia.

Misalnya pada wilayah pedalaman seperti Papua. Fasilitas kesehatan di sana masih kurang memadai karena minimnya pendanaan untuk membangun penyediaan jasa pelayanan kesehatan. Kemudian untuk tanggung jawab pangan akan membebankan wilayah-wilayah Indonesia yang berada di daerah miskin, seperti daerah yang memiliki APBD kecil tetapi dengan wilayah yang besar. Sebaiknya pemerintah pusat sebelum memberikan syarat, harus diimbangi dengan mobilisasi bantuan terlebih dahulu.

Dampak PSBB

Namun tak hanya kriteria yang membebankan, beberapa dampak juga akan diperoleh bahkan tak dapat dihindari dari penerapan PSBB ini. Salah satu dan yang paling ikut terpengaruh yaitu perputaran roda ekonomi yang akan menyebabkan pendapatan nasional menurun.

Banyak orang-orang yang bekerja di sektor wiraswasta seperti para pedagang, khususnya pedagang kali lima akan sepi pembeli, karena para pembeli akan sangat mengurangi kegiatannya di luar rumah. Bagi mereka yang menggantungkan hidupnya dengan cara berjualan dengan cara tradisional, konsep Work From Home (WFH) tentunya tidak relevan. Untuk itu, jika kebijakan PSBB resmi diberlakukan di beberapa wilayah, mereka akan kehilangan banyak penghasilan dan akan sangat kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

PSBB juga akan menimbulkan terjadinya banyak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berskala besar yang akan menimbulkan masalah baru seperti penjarahan sosial. Hal itu merupakan sebuah keniscayaan. Karena orang-orang yang di PHK, otomatis akan kehilangan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentunya bagi sebagian orang yang mungkin kurang memiliki pendidikan, berbagai cara akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti melakukan tindak kriminal pencurian atau perampokan.

Terlepas dari rumitnya kriteria dan dampak negatif yang ditimbulkan pemerintah pusat terhadap daerah yang ingin menerapkan PSBB, sebenarnya ada beberapa dampak positif akibat pembatasan aktivitas warga tersebut. Pertama, tujuan utama diterapkannya kebijakan ini yaitu untuk meminimalisir peyebaran virus COVID-19.

Hal ini dikarenakan dengan adanya PSBB akan mengurangi kontak fisik secara langsung antar warga. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, virus COVID-19 ini sangat mudah sekali penularannya. Untuk itu, kita dihimbau untuk tetap menjaga jarak dengan orang lain agar mengurangi kemungkinan tertularnya virus ini dari kegiatan seperti berjabat tangan.

Kedua, kualitas udara di daerah perkotaan dirasa lebih baik karena adanya pembatasan tersebut. Virus corona membuat warga tetap berada di dalam rumah demi mencegah menyebarnya virus tersebut. Dengan melakukan aktivitas di rumah, itu membuat kualitas udara di Indonesia menjadi lebih baik. Perbaikan udara di Indonesia nyatanya dialami juga oleh negara-negara yang memberlakukan karantina wilayah, seperti China dan negara Eropa lainnya.

Ketiga, bagi masyarakat perkotaan hal ini akan mempererat keakraban bersama keluarga. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka terlalu sibuk bekerja dan tidak ada waktu bersama keluarga. Bagi sebagian orang di kota-kota besar, selama ini segala kesibukan dan aktivitas di luar mungkin terasa lebih menyita waktu dibanding menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah. Namun, dengan pemberlakuan pembatasan fisik dan sosial saat ini, tentunya kebersamaan dengan keluarga semakin intim dan membuat akrab dengan karakter setiap anggota keluarga. Sesuatu yang sebelumnya mungkin amat jarang dilakukan kecuali di saat libur atau cuti.

Untuk itu, sebelum diterapkannya PSBB harus diperhatikan beberapa hal tersebut. Pemerintah Pusat seharusnya tidak memberikan kriteria yang memberatkan Pemerintah Daerah dengan sistem administrasi yang rumit. Hal tersebut akan memakan banyak waktu, sedangkan penyebaran virus ini sangat tidak terkendali. Bisa saja dengan prosedur yang rumit, akan banyak korban yang berjatuhan sebelum diterapkannya PSBB ini.

Kemudian mengenai dampak yang akan ditimbulkan dari penerapan PSBB, seperti masyarakat yang akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal yang demikian perlu difikirkan dan peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi dampak dalam hal tersebut.

*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam semester empat UIN Sunan Ampel Surabaya

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas