SUAKAONLINE.COM – Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), Rutgers Indonesia menyelenggarakan diskusi dan dialog dalam sosialisasi pemajuan implementasi Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual, di Best Western Hotel, Kota Bandung, Senin (4/12/2023). Acara ini dihadiri oleh berbagai elemen, mulai dari; BEM Internasional Women University (IWU), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Jaringan Advokasi Jawa Barat Youth (JAJ Youth) dan Selendang Puan.
Diskusi yang dibuka oleh Manajer Program Generation G, Nani Vindanita menghadirkan tiga pembicara, yaitu; Pembina Konselor Yayasan Selendang Puan, Darwinih, Manajer Program JAJ Youth, Sri Wahyuni, dan perwakilan dari KPI, Putri Nabila. Setiap pemantik menjelaskan point-point yang bersinggungan dengan UU TPKS.
Sebagai pemantik pertama, Darwinih memaparkan data yang dikutip dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DPA3AKB) Jawa Barat yang menyebut tingginya kasus perkawinan anak pada tahun 2022 sebanyak 5.523, angka kekerasan sebanyak 2.001 kasus, dan kasus perceraian sebanyak 98.930. Dari data tersebut, ia mengatakan yang paling rentan mendapat tindak kekerasan adalah perempuan.
Melihat kasus tersebut ia mengatakan pentingnya pemahaman UU TPKS kepada semua kalangan sampai ke pelosok desa. “Harusnya semua bisa mengakses informasi (UU TPKS –red). Nah, selama ini belum optimal dilakukan yang kemudian (impaknya –red) budaya masyarakat masih tabu terkait bentuk PPKS, seperti pelecehan seksual non-fisik sampai pemaksaan perkawinan,” ujar Darwinih, Senin (4/12/2023).
Di sisi lain, manajer program JAJ Youth, Wahyuni menjelaskan bahwa UU TPKS ini juga harus mengatur perlindungan terhadap keluarga korban. Acap kali, menurutnya keluarga korban yang mendapat tindak kekerasan seksual mendapat intervensi sampai berujung intimidasi. Menurutnya hal tersebut membuat korban tidak mendapat keadilan yang berhak untuk didapatkan.
“Terkait kasus kekerasan seksual yang jarang di-mention adalah keluarga korban. Padahal keluarga korban itu sama tertekannya, itu juga sama dengan korban itu sendiri, karena keluarga korban turut diancam dan didiskriminasi ,” tutur Wahyuni.
Maka dari itu, Wahyuni memperkenalkan JAJ Youth untuk membantu sebagai advokator kepada korban tindak kekerasan seksual. JAJ Youth sendiri, menurutnya memberi ruang dan wadah bagi anak muda agar ikut turut menjadi pendamping korban kekerasan seksual. “Program ini hadir untuk memerintahkan penguatan kapasitas orang muda dalam advokasi,” lanjutnya.
Senada dengan Wahyuni, perwakilan dari Koalisi Perempuan Indonesia, Putri mengatakan bahwa anak muda jarang mendapat ruang dalam hal advokasi. Lebih dari itu, Putri juga menggandeng anak muda mulai dari mahasiswa sampai siswa SMA untuk mengenali kebijakan dari diterapkannya UU TPKS. “Bahwa anak muda ini jarang mendapat ruang-ruang untuk mengenali advokasi,” kata Putri.
Bahkan menurutnya anak muda jarang mengetahui kebijakan yang akan dan sudah dicanangkan. Putri menjelaskan anak muda hanya tahu setelah kebijakan tersebut sudah diimplementasikan. Maka dari itu ia dan KPI sering berkunjung ke sekolah dan kampus untuk menggandeng anak muda agar dapat berkontribusi dalam penyadaran kekerasan seksual.
Ia juga berharap dengan menggandeng anak muda bisa membuat penyadaran terhadap lingkungan sekitar bahwa tindak kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja. “Kita berharap anak-anak muda jadi semangat untuk tahu bahwa kekerasan itu ada di sekitar kita,” ungkapnya.
Reporter: Yopi Muharam/Suaka
Redaktur: Mohamad Akmal Albari/Suaka