Fokus

Rape Culture: Di Balik Pemakluman Kekerasan Seksual

Ilustrasi: Siti Hannah Alaydrus

Oleh: Siti Hannah Alaydrus

SUAKAONLINE.COM – Kita hampir terbiasa menemui di persimpangan jalan, segerombolan laki-laki yang terus memoncongkan mulutnya, mengeluarkan suara seperti peluit yang nyaring ke arah perempuan saat berjalan sendirian. Hari ini kita menyebutnya dengan istilah “catcalling”.

Hal seperti itu seolah dianggap normal oleh masyarakat, bentuk pujian karena perempuan tersebut dianggap cantik dan pantas digoda. Padahal, Catcalling adalah intimidasi dan kadang punya maksud dan tujuan tertentu.

Maret 2020, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2020. Catatan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga negara, lembaga layanan, maupun yang dilaporkan ke Komnas Perempuan sepanjang tahun 2019.

Beragam spektrum dan bentuk kekerasan terekam dalam CATAHU 2020 dan temuan khusus merepresentasikan bahwa dalam 12 tahun terakhir di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan meningkat delapankali lipat.

Peningkatan kasus cyber pun terjadi yang berbentuk ancaman serta intimidasi penyebaran foto dan video porno korban. Kekerasan terhadap anak perempuan meningkat 65%, dan kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas dibandingkan tahun lalu naik sebanyak 47%, dengan korban terbanyak adalah disabilitas intelektual.

Semakin jelas bahwa kekerasan seksual itu endemis di Indonesia. Statistik dalam CATAHU menyebutkan setiap dua jam, tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia. Dan angka tersebut masih merupakan fenomena gunung es, yang dapat diartikan dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman.

Rape Culture sebagai Budaya

Istilah rape culture ditemukan dan diperkenalkan tahun 1970-an pada studi Amerika Serikat. Di Indonesia, istilah rape culture bukanlah istilah yang terlalu familiar. Sebelum salah sangka, rape culture bukan berarti budaya memperkosa. Oxford Dictionaries mendefinisikan rape culture sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan masyarakat ataupun lingkungan yang terkesan menyepelekan tindak pelecehan seksual.

Lebih lanjut, Suaka menggali informasi dari Ketua Sub-Komisi Pendidikan Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah yang menjelaskan bahwa rape culture bukan hanya persoalan perkosaan saja, tapi sebuah budaya yang menjadikan perkosaan dan juga kekerasan seksual sebagai sesuatu yang normal, wajar terjadi dan ditoleransi di media atau masyarakat.

“Budaya yang memahami bahwa perempuan itu penggoda, lebih rendah, dinilai dari tubuh atau kecantikan. Kemudian didorong oleh penggunaan-penggunaan bahasa yang misoginis yang membuat perempuan tidak nyaman,” jelasnya, saat diwawancarai via telepon, Minggu, (19/7).

Lantas, mengapa hal ini kita sebut sebuah budaya? Sebuah tindakan ketika sudah membudaya, artinya sudah jauh lebih mendalam. Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN SGD Bandung, yang juga merupakan aktivis gender, Neng Hannah, memandang ini berasal dari kurangnya sebuah kesadaran tentang kemanusiaan perempuan.

Dimulai dari tingkat yang terendah adalah mengatakan bahwa laki-laki sebagai subjek  dan perempuan sebagai objek yang seringkali ditempatkan seperti barang, sebagaimana di zaman  jahiliyah. Perempuan diwariskan atau dijadikan sebagai pelunas hutang.

Sementara kesadaran level menengah, perempuan itu dianggap manusia, tapi harus sesuai dengan konstruksi dan konsepsi. Bahwa ada sebuah standar yang dibangun dan diatur termasuk dalam hal tubuh. Terakhir level dimana kesadaran yang sudah menganggap manusia itu baik laki-laki dan perempuan setara. Karena yang menentukan perempuan itu manusia adalah Allah, bukan laki-laki.

Stigma Perempuan adalah Kelas Kedua Masih Lekat

“Menganggap bahwa perempuan itu objek. Dari kesadaran ini nantinya akan masuk ke dalam pola pikir seperti menyalahkan perempuan,” ungkap Pembina WSC tersebut melaui Zoom, Senin (6/7).

Sebuah kultur yang memposisikan laki-laki lebih unggul dibanding perempuan. Laki-laki sebagai pengambil keputusan dan laki-laki yang memimpin. Diposisikan sebagai penanggung jawab dalam urusan mencari nafkah, lebih banyak berkiprah di ranah publik yang memungkinkan untuk mengembangkan diri dan beraktivitas di luar. Sebaliknya, perempuan hanya diposisikan di ranah domestik, tugas-tugas reproduksi, pengasuhan dan pendidikan anak, mengurus rumah tangga, dan melayani suami.

Selalu ada relasi kuasa buah dari ideologi patriarki. Bagian dimana masyarakat yang melanggengkan perempuan itu sebagai kelas kedua, dianggap inferior, lemah, harus patuh dan diam.

Fokus Keahlian Psikologi Keluarga dan Human Sexuality UIN SGD Bandung, Nani Nuranisah Djamal, turut mengatakan bahwa adanya keyakinan agama tentang peran laki-laki sebagai pemimpin wanita seringkali dijadikan alasan yang kuat.

Pemahaman yang salah terhadap ajaran agama membuat praktik dominasi laki-laki disalahgunakan. Sementara konteksyang terjadi di lapangan, tidak semua laki-laki bisa memainkan perannya sebagai pelindung, pengayom apalagi pemimpin.

“Generalisasi dan pemahaman yang dangkal terhadap makna laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan inilah yang dijadikan pegangan untuk menguasai bahkan mengeksploitasi perempuan,” ujar Wakil Dekan I Psikologi tersebut melalui WhatsApp, Sabtu (18/7).

Tendensi Menyalahkan Korban

Untuk mengenali budaya rape culture di lingkungan, bisa dilihat dari bagaimana seseorang mempunyai perspektif mengenai perempuan. Apakah perempuan ditempatkan sebagai subjek atau objek. Hanya dianggap sebagai makhluk seksual saja, atau makhluk intelektual dan spiritual selayaknya manusia.

Menurut Koordinator Divisi Programme Samahita, An Nisaa Yoyani, salah satu komunitas yang konsen terhadap isu-isu feminisme dan gender memberikan contoh terhadap kejadian yang sempat viral di Twitter, dimana karyawan Starbucks dengan sengaja mengintip payudara pelanggan melalui CCTV dan membagikan potongan video berdurasi 15 detik tersebut. Dari kolom komentar, dapat dilihat masih banyak yang menyalahkan korban dengan menyalahkan pakaian.  

“Kenapa malah menyalahkan korban dan bukannya berpikir, padahal korban juga manusia dan dia juga patut untuk dihargai.  Bounderis-nya kan disana sebetulnya,” ujarnya saat diwawancarai via Zoom, Sabtu, (4/7).

Contoh lainnya seperti mitos-mitos mengenai pakaian terbuka atau tubuh perempuan. Tubuh perempuan disamakan dengan permen, ikan asin, atau lainnya yang dengan jelas menunjukan pola pikir bahwa perempuan itu objek. Tak hanya itu, masyarakat yang terbilang memiliki masalah dengan rape culture memiliki tendensi untuk malah menyalahkan korban atau victim blaming.

Seringkali terjadi stigma negatif terhadap perempuan sebagai korban sekali pun. Seperti melontarkan pertanyaan pakaian seperti apa yang dikenakan ketika diperkosa atau dilecehkan. Beberapa dari cara yang umum malah menyalahkan korban ketimbang menuntut pelaku untuk membuktikan dia memang benar tidak bersalah.

Melansir dari magdalene.co, pendamping penyintas kekerasan seksual di Indonesia terbiasa mendengar polisi, jaksa penuntut atau hakim bertanya hal-hal seperti itu pada korban. Beberapa tahun lalu, seorang perempuan yang menghadapi serangan seksual dari empat pegawai Trans Jakarta di sebuah halte secara nyata dilecehkan oleh Majelis Hakim, yang bertanya warna pakaian dalam. Pelaku hanya dihukum 18 bulan penjara,  sementara korban harus mengalami trauma fisik dan psikologis sepanjang hidupnya.

Contoh lain, seorang kandidat Hakim Agung yang mengepalai Pengadilan Tinggi, ketika ditanya pendapatnya soal hukuman mati untuk para pemerkosa dalam uji integritas, mengatakan “Baik pemerkosa dan korban menikmatinya. Jadi kita harus mempertimbangkan kembali hukuman mati itu.”

Rentetan panjang kasus kekerasan seksual yang terjadi membuktikan bahwa ruang aman bagi perempuan masih bayang-bayang. Ada kekuatan yang turut melanggengkan budaya pemerkosaan, yaitu tindakan dari pemerintah atau aktor-aktor formal yang notabene nya terpelajar. Orang-orang yang memiliki kewenangan dalam kebijakan serta sistem hukum tidak pernah ramah terhadap korban pelecehan seksual.

Media sebagai Perpanjangan Tangan Rape Culture

Dalam kasus kekerasan seksual, media berperan ganda yaitu sebagai pemberi informasi bagi masyarakat dan sebagai sarana edukasi dalam menyikapi kasus kekerasan seksual.  Media juga bisa digunakan sebagai tempat penyintas agar suara mereka dapat didengar.

Namun, seringkali pemberitaan dalam media dan penggambaran kasus yang terjadi malah menimbulkan kontroversi dengan headline cenderung menyoroti korban. Berkaitan dengan hal itu, Neng Hannah kembali mengatakan bahwa selain ada aktor-aktor terlihat yang turut membentuk budaya ini, juga ada kekuatan yang tidak formal, tidak terlihat tetapi cukup mempengaruhi, yakni media. 

Hal yang sama juga dijelaskan oleh Yona, meski bukan faktor utama pembentuk rape culture, tetapi media ikut mengafirmasi budaya ini. “Itu kemudian membentuk pola pikir masyarakat bahwa pelecehan seksual menjadi hal biasa. Alih-alih mengedukasi masyarakat dan kritis sebagai pusat informasi, media turut mereproduksi wacananya yang tetap memojokan perempuan.

Peran Kampus dalam Penanggulangan Kasus Pelecehan Seksual

Berbagai bentuk pelecehan seksual di lingkungan kampus, sekecil apapun itu, dapat terjadi dalam berbagai macam relasi kuasa. Hierarki dan sistem birokrasi dalam dunia akademik menciptakan kebijakan yang bisa dimanipulasi, sehingga rentan dipakai untuk hal-hal negatif, termasuk kesempatan melecehkan dan melakukan kekerasan seksual.

Alimatul Qibtiyah menanggapi, bahwa kampus harus mempunyai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas tentang pencegahan dan penanganan, bagaimana data-data kasus diaudensikan kepada pimpinan meskipun memang implementasi itu butuh upaya  dan jihad yang terus-menerus.

“Mahasiswa bisa mengawal bagaimana kampus mengimplementasikan SK Dirjen di kampus, perlu bermain strategi. Kita perlu bicarakan pada yang berwenang, meskipun advokasi media itu penting, kita gunakan dulu advokasi pada pembuat kebijakan yang ada.” pungkasnya.

Menyoal penanganan kasus pelecehan seksual di kampus, terkhusus kampus Islam, diterbitkan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam oleh Kemenag. Pedoman ini ditetapkan pada 1 Oktober 2019 oleh Dirjen Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin dan disebarkan ke seluruh Rektor kampus Islam, baik negeri maupun swasta.

Pedoman setebal  33 halaman tersebut mengatur mulai dari prosedur pencegahan kekerasan seksual, pengadaan ruang atau fasilitas untuk melayani pengaduan korban kekerasan seksual, hingga pelayanan pemulihan untuk korban. Secara resminya, diterbitkan melalui Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No. 5494 tahun 2019. [Kru Liput: Abu Riki, Diyanah Nisa, Nur Alfiyah/Suaka]

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas