Fokus

Rape Culture: Korban Laki-laki Dianggap Lemah

SUAKAONLINE.COM, Infografis – Dewasa ini, seringkali terdengar di kehidupan sehari-hari pernyataan seperti ‘pakai rok yang panjang, ya’; ‘pake kerudung dong kalo ga mau digodain, mah’;  ‘ya namanya juga cowok, maklumin’ atau ‘cupu lo, ga ikut-ikutan godain cewe’; ‘lemes banget lo, kaya banci aja’; dsb. Pernyataan semacam ini lumrah dilontarkan dalam bentuk candaan atau obrolan biasa. Namun, secara tidak disadari, candaan diatas membentuk rape culture.

Rape culture adalah istilah yang diciptakan pada tahun 1970-an yang dirancang untuk menunjukkan cara masyarakat menyalahkan korban kekerasan seksual dan menormalkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki. Dan dianggap normal bahwa lelaki penuh nafsu, dan perempuan lah yang memancing  nafsu lelaki.

Disisi lain, pemakluman bahwa laki-laki adalah makhluk yang lebih agresif sehingga tidak bisa mengontrol hawa nafsu, dan perempuan adalah makhluk yang lemah dan pasif, menjadikan laki-laki dianggap tidak “jantan” ketika berbudi luhur menolak menyentuh perempuan. Pun pelecehan seksual kepada lelaki diabaikan, dianggap tidak mungkin dan tidak akan pernah ada. Anggapan ini yang mengembangkan maskulinitas rapuh (toxic masculinity) bagi pria sehingga lebih lanjut menjadikan mereka  korban dari budaya perkosaan,

Hal ini turut disampaikan oleh Neng Hannah, Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN SGD Bandung, yang juga merupakan pembina WSC sekaligus aktivis gender, menurutnya meski kebanyakan perempuan yang menjadi korban, bukan berarti tidak ada laki-laki yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan. Tetapi, adanya stigma membuat laki-laki tidak berani melapor karena takut akan mendapat cemoohan terhadap statusnya sebagai laki-laki.

“Seperti  “laki-laki gak boleh cengeng dong, masa lapor jadi korban kekerasan, masa lapor jadi korban pelecehan” Padahal itu terjadi. Kenapa sekarang korbannya kebanyakan perempuan? Ya karena yang lapor itu perempuan. Kesannya laki-laki tidak mungkin menjadi korban, padahal realitasnya laki-laki juga banyak yang menjadi korban. Dari sini kita bisa lihat bahwa budaya patriarki tidak hanya menindas kaum perempuan, tetapi juga menindas kaum laki-laki, laki-laki dicitrakan harus selalu berani, rasional, selalu aktif 24 jam, kuat, gagah, dan sebagainya padahal dia juga sama manusia,” ujarnya saat diwawancarai via Zoom, Senin, (6/7/2020).

Stigma semacam ini menyebabkan korban pelecehan seksual lelaki merasa rendah karena dianggap ‘nggak laki’ ketika mengaku dilecehkan oleh individu lain. Maskulinitas rapuh juga sering kali dimanfaatkan oleh oknum-oknum wanita yang tidak bertanggung jawab untuk pura-pura menjadi korban dan berlindung di-‘kelemahan’-nya.

Contohnya terdapat pada kasus kekerasan antara Amber Heard dan Johnny Depp, dimana dalam salah satu rekaman, Heard mencibir Depp, “tell the world Johnny, tell them… I Johnny Depp, a man, I’m a victim too of domestic violence… and see how many people believe or side with you.” (beri tahu dunia Johnny, beri tahu mereka … Saya Johnny Depp, seorang lelaki, saya juga korban kekerasan dalam rumah tangga … dan lihat berapa banyak orang yang percaya atau memihak Anda.”)

Pernyataan Heard selanjutnya(‘You’re bigger and you’re stronger… I was a 115lb woman…)juga menginisiasi bahwa seorang yang lebih besar dan ‘maskulin’ pasti merupakan ‘pelaku’ dari suatu kejahatan dan tidak mungkin sebaliknya, yang faktanya, semua orang bisa menjadi korban, bahkan seorang lelaki berotot sekalipun.

Hal ini mebuktikan, bahwa budaya perkosaan tidak hanya merugikan perempuan aja, akan tetapi seluruh gender yang ada dengan terbentuknya pseudo standar untuk ‘korban’ maupun ‘pelaku’. Dan juga Rape culture membuat korban tidak berani untuk mengungkapkan pelecehan yang telah ia alami, karena pada akhirnya, lingkungan hanya menyalahkan dirinya atas perlakuan yang dilakukan oleh individu lain.

Karena selama ini, kerap kali korban pelecehan seksual sering dihubungkan dengan pakaian apa yang dipakai, jam berapa pulang, apakah sendirian, dimanakah berada dan lain sebagainya yang cenderung memojokkan, serta apakah kamu perempuan atau apakah kamu lelaki.

Peneliti : Diyanah Nisa, Siti Hannah Alaydrus

Sumber: unwomen.org; healthy campus; marshall.edu, tirto.id

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas