Dok. Internet
Oleh Robby Darmawan*
Pers Mahasiswa (Persma) kembali dibredel! Kabar itu muncul dari tanah Yogja beberapa waktu lalu. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta dibekukan oleh rektorat karena pemberitaannya di Buletin Poros edisi magang. Persoalannya klasik, karena LPM Poros dianggap merusak nama baik kampus dengan pemberitaan yang kritis mengenai pembangunan Fakultas Kedokteran di UAD. Pihak rektorat UAD ‘tidak suka” dengan pemberitaan itu. Ya, alasannya hanya “ketidaksukaan”.
LPM Poros bukan satu-satunya Persma yang dibredel karena pemberitaan, sebelumnya Majalah Lentera Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga juga dicekal karena memuat isu sensitive tentang kejadian tahun 65. Selain keduanya masih banyak lagi pembredelan yang terjadi. Bahkan sudah menjadi rutinitas, tiap tahun selalu terjadi.
Dari data Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) selama 2014-2015 saja tercatat tujuh bentuk kasus yang sering dialami awak Persma di Indonesia. Kasus itu adalah: intimidasi, diskriminasi, pelecehan, sensor, pelarangan diskusi dan pemutaran film, pembredelan majalah, serta pembekuan lembaga pers mahasiswa. Ini zaman reformasi di mana kebebasan berpendapat dan berserikat dijamin oleh konstitusi. Hal ini secara jelas mencederai semangat demokrasi di kehidupan kampus.
Keberadaan Persma sebagai media alternatif di kampus sangat strategis, sebab Persma dapat memberi informasi, pendidikan hingga kontrol kebijakan-kebijakan. Namun, tak dapat dipungkiri sangat rawan terhadap intimidasi dan tekanan dari berbagai pihak termasuk rektoratnya. Persma yang belum jelas payung hukumnya, dengan mudah dapat dibekukan dan dibumi hanguskan keberadaannya.
Rektorat dan para birokrat kampus acapkali menjadi aktor utama. Persma sering dianggap sebagai pembangkang. Pemberitaan Persma yang kritis dan kadang merongrong rektorat selalu jadi alasan. “Harusnya kamu bikin berita yang baik tentang kampus, agar citra kampus menjadi baik. Bukan malah membuat berita yang menyudutkan kampus,” begitulah para birokrat di kampus berbicara.
Para birokrat biasanya anti kritik, tak mau ambil pusing dengan kenyataan kampusnya seperti apa, yang paling penting adalah citra kampus baik dan mahasiswa banyak yang daftar, pundi-pundi pun bertambah. Selesai sampai sana urusan mereka. Yang tak sejalan dengan mereka adalah ancaman. Harus segera dihilangkan. Pembredelan yang terjadi! Mirip zaman Orde Baru.
Memang, hingga kini keberadaan Persma masih belum diakui oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Padahal, Persma dalam segi fungsi sama dengan pers arus utama. Dengan tugas yang begitu berat harusnya Persma punya perlindungan. Maka pada perayaan Hari Pers Internasional ini, perlu didorong agar Persma segera memiliki payung hukum yang jelas, sehingga apara birokrat tidak semena-mena.
Sekali lagi, para birokrat seharusnya tidak perlu khawatir terhadap kritik yang dilontarkan oleh Persma karena itu menjadi kepentingan umum bukan kepentingan golongan. Ini adalah bentuk kasih sayang mahasiswa terhadap kampusnya. Mereka tak mau kampusnya terbuai dan tak berbenah. Meminjam pekataan Soe Hok Gie, jadi jika masih ada birokrat kampus yang tak tahan kritik silahkan masuk keranjang sampah!
Selamat Hari Pers Internasional.
Stop Pembredelan terhadap Pers Mahasiswa!
Salam Pers Mahasiswa!
*Penulis adalah Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka UIN SGD Bandung periode 2016