SUAKAONLINE.COM – Lembaga Kajian dan Debat Mahasiswa (LKDM) Ilmu Hukum UIN SGD Bandung menggelar Dialog Seputar Konstitusi (Dialektis) melalui zoom meeting pada Sabtu (8/7/2023). Bertajuk ‘Mengawal Satu Tahun Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Efektivitas Penerapan SK Dirjen Pendis Kemenag No. 5494 Tahun 2019 dan PMA No. 73 Tahun 2022’ mengungkap kejelasan penanganan korban kekerasan seksual melalui jalur hukum dan di kampus UIN Bandung.
Salah satu pemateri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Maulida menyampaikan mengenai enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual, di antaranya pencegahan, tindak pidana, sanksi atau pidana, hukum acara khusus, hak korban atau pemulihan, dan pemantauan. Namun, menurut Maulida untuk pencegahan dan hak korban atau pemulihan dalam kasus kekerasan seksual masih dinilai kurang.
“Dalam UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual -red) sendiri itu ada enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual. Nah yang jarang itu sebenarnya kan pencegahan dan hak korban atau pemulihannya. Karena di dalam UU TPKS sendiri dijamin banget tuh terkait hak-hak korban,” ucapnya, Sabtu (8/7/2023).
Lebih lanjut, UU TPKS telah eksis selama 1 tahun 2 bulan terhitung sejak 9 Mei 2022. Sudah banyak dari para korban berani angkat bicara, tidak hanya konsultasi ke psikolog saja. Mereka memberanikan diri untuk membawa kasusnya ke ranah hukum karena merasa adanya perlindungan payung hukum. Sikap positif Maulida terhadap UU TPKS tidak sepenuhnya sejalan harapan korban KS.
Ia menyinggung tentang kapasitas Aparat Penegak Hukum (APH) dan pendampingan korban yang terbatas itu belum merata. Seperti dalam Kekerasan berbasis gender online, saat korban melapor kasus tersebut, pihak kepolisian malah menggunakan pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang menurut Maulida bahwa UU TPKS telah mengatur masalah itu dalam pasal 14 ayat (1). Alhasil, kesulitan menentukan pasal adalah salah satu hambatan pelaksanaan UU TPKS.
Budaya Reviktimisasi Korban Kekerasan Seksual
Meskipun kehadiran payung hukum atas kekerasan seksual hadir di Indonesia, label korban mata masyarakat semata-mata menjadi sanksi sosial bagi para korban. Hal demikian dalam pandangan Maulida budaya penyangkalan dan reviktimisasi korban kekerasan seksual masih terus terjadi. Reviktimisasi adalah kondisi korban KS menjadi korban kembali atas budaya penyangkalan.
“Kalau KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online -red), dia udah berani, misalnya udah berani konsultasi, tapi dia takut keluarganya tahu terus kemudian malah jadi boomerang baginya, dia bukan mendapatkan support tapi malah jadi takut untuk untuk melanjutkan kasusnya atau proses kasusnya. Padahal dia dia adalah korban itu seperti itu,” jelas Maulida.
Tidak hanya di situ, saat proses pelaporan ke kepolisian, para korban KS selalu disejajarkan dengan korban tindak pidana pada umumnya. Mulai dari konsultasi ke Kepolisian Resor (Polres), dilanjutkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) hingga membuat Berita Acara Pelaporan (BAP). Proses seperti ini, Maulida bertutur korban KS akan lelah dengan keharusan cerita yang diulang-ulang.
“Padahal dalam UU TPKS korban itu dijamin tidak harus cerita berulang. Dalam prosesnya, kerja pendampingan itu korban tidak harusnya cerita untuk berulang, tapi dalam kenyataan yang di lapangan korban harus cerita berulang,” ucap Maulida.
Realita Kekerasan Seksual di Kampus
Terkait pencegahan tindakan kekerasan seksual, guru besar Studi Islam dan Gender UIN SGD Bandung, Nina Nurmila menjelaskan bahwa untuk mencegah kasus tersebut adalah dengan memberikan edukasi kepada setiap orang bahwa terkadang apa yang mereka anggap biasa termasuk ke dalam kategori kekerasan seksual. Edukasi ini menjadi sangat penting karena ada orang yang tidak menyadari bahwa dia merupakan pelaku maupun korban dari tindak kekerasan seksual.
Edukasi di lembaga pendidikan sangat penting, tetapi realita upaya penanganan kekerasan seksual di kampus masih banyak di tutup-tutupi oleh berbagai pihak. Nina yang telah memiliki gelar ‘profesor’ sekalipun mengakui dirinya belum bisa terbebas dari kekerasan seksual.
“Jangan jangan dikira saya sebagai seorang perempuan yang sudah menjadi guru besar itu bisa terbebas dari kekerasan seksual ya. Tetap saja itu bisa menjadi korban karena si pelakunya itu memang dia tidak tidak tahu apa yang menjadi bentuk kekerasan seksual itu ya? Jadi kekerasan seksual yang saya alami itu apa nobody kontak, tapi saya saya ditatap dan dikomentari, menurut saya sangat menjijikkan dan itu saya kalau sama orang itu terus saya menghindar jauh gitu ya,” jelas Nina.
Kasus KS yang Nina ketahui sejak dirinya menjadi mahasiswi masih terjadi pembungkaman. Ia menceritakan adanya kasus di UIN Jakarta pernah terjadi saat penyelenggaraan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan ditindaklanjuti oleh pihak kampus. Kendati di UIN Bandung, kasus KS malah mendapat kenyataan yang berbeda.
“Di UIN Bandung juga sering terjadi, saya sering mendengarnya dari sejak saya mahasiswa sering terdengar kasus, tapi biasanya dibungkam, dalam arti misalnya kalau ada saya dosen pelakunya itu nanti dekannya itu bilang kasih aja uang ke wartawan supaya tidak di blow up. Jadi betul-betul seperti mengubur bangkai ke dalam tanah gitu ya, tidak diselesaikan kasihan korban, jadi karena pimpinan itu berpihak pada pelaku,” tegasnya.
Keharusan Regulasi Pencegahan KS di Kampus
Tindak pidana kekerasan seksual ini bisa terjadi di mana saja, baik terjadi jalan, rumah, tempat ibadah, tempat kerja, lembaga pendidikan, dan perguruan tinggi. Menurut Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Barat, Heri Yuwono, upaya yang dibisa dilakukan untuk mencegah kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah dengan setiap kampus harus mempunyai regulasi penanganan tindak pidana kekerasan seksual.
“Upaya mencegah kekerasan seksual di perguruan tinggi, langkah pencegahan kekerasan seksual oleh kampus adalah dengan kampus harus mempunyai regulasi penanganan tindak pidana kekerasan seksual,” ujarnya.
Kasus tindak pidana kekerasan seksual bisa diibaratkan seperti fenomena gunung es. Oleh karena itu, pada tahun 2019 dikeluarkan kebijakan Dirjen Pendis Kemenag No. 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI). Berdasarkan penuturan Nina Nurmila, saat ini baru 32 PTKI yang sudah memiliki Surat Keputusan (SK) Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Namun, untuk saat ini UIN SGD Bandung belum memiliki SK Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Saat menyampaikan materi, Nina Nurmila menyebutkan bahwa Standar Operasional Prosedur (SOP) dari Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di UIN Bandung rencananya akan ditandatangani oleh Rektor UIN Bandung, Mahmud pada hari Senin. “Tadi pagi saya bertemu dengan Warek (Wakil Rektor -red) tiga namun katanya belum ditandatangani. Tapi, kemudian dia bilang hari Senin nanti ditandatangani,” ucapnya.
Reporter: Nia Nur Fadillah/Magang
Redaktur: Mohamad Akmal Albari/Suaka