SUAKAONLINE.COM – Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA-U) UIN SGD Bandung berkolaborasi dengan Bandung Bersatu Selamatkan Iklim (Bandung Berisik) mengadakan screening film berjudul “Wadas Waras” dan diskusi di Kantin Putih Lantai II, UIN SGD Bandung, Sabtu (6/11/2021).
Pemutaran film karya kolaborasi antara Watchdoc, Greenpeace Indonesia, Fraksi Rakyat, dan Bersihkan Indonesia ini merupakan bentuk peduli anak muda mengenai masa depan bumi yang bersih dan jauh dari emisi.
Sebagaimana tema dalam pemutaran film dan diskusi ini yaitu Sepatu Kaca Si Punya Kuasa (SIA), perwakilan dari Lembaga Hukum Bandung (LBH Bandung) Wahyu memprediksi bahwa Undang-undang Minerba akan memperparah situasi tumpang tindih hukum di Indonesia. Bukan hanya itu ia juga menjelaskan bahwa hukum tidak digunakan untuk kesejahteraan rakyat melainkan untuk mengayomi kepentingan para penguasa.
“Karena gini sepatu kaca itu kan siapa yang punya kuasa (SIA) menceritakan bagaimana hukum digunakan bukan untuk mensejahterakan, tetapi untuk mengayomi kepentingan-kepentingan penguasa. Hari ini kita bisa lihat Wadas jadi saksinya, kerusakan alam dan juga tumpang tindih hukum itu terjadi,” ujar Wahyu, Sabtu (6/11/21).
Selain itu, lanjut Wahyu, saat ini warga Wadas sedang berhadapan dengan pelanggaran HAM. Mulai dari perampasan lahan, hak untuk hidup dengan kondisi lingkungan yang baik dan fisik yang sehat. Peristiwa pertambangan lahan ini dapat merusak lingkungan dan mengancam hak warga Wadas dalam mendapatkan lingkungan yang sehat dan juga bersih.
“Banyak sekali yang menjadi indikasi pelanggaran HAM selain tadi soal perampasan lahannya. Ada juga potensi di mana kita memiliki sebuah hak untuk mendapatkan hidup dengan kondisi lingkungan yang baik dan sehat. Nah tapi sayangnya dalam konteks (warga –red.) Wadas justru dihadapkan pada sebuah peristiwa pertambangan, jadi bisa merusak dan juga mencabut dan juga mengancam hak mereka untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan juga bersih,” lanjutnya.
Salah satu audience Ajat Lion berpendapat yang terjadi di Wadas saat ini bukan hanya mengenai krisis iklim tapi juga krisis kemanusiaan. Menurutnya proyek pembangunan bendungan di Wadas bukan untuk warga, melainkan untuk kepentingan pariwisata yang akan menimbulkan krisis iklim dan krisis kemanusiaan.
“Mengapa Undang-undang Minerba harus dicabut dan ditolak, mengapa terkait dengan undang undang Omnibus Law juga harus ditolak, karena persoalannya saat ini bukan hanya tentang perusakan lingkungan, kita bukan cuma bicara krisis iklim sebenarnya, tapi ini tentang krisis kemanusiaan,” tegasnya.
Bukan hanya Ajat yang merasakan dampak dari proyek penambangan di Wadas, perwakilan dari Ruang Hidup Institut, Syifa juga turut prihatin dengan kondisi krisis iklim dan krisis kemanusiaan yang terjadi di Wadas. Sehingga hal tersebut berdampak buruk kepada kehidupan masyarakat di sana.
“Ternyata kasusnya Wadas itu lebih terdengar daripada lokasi Wadas itu sendiri, jadi prihatin mungkin ya. Karena ternyata yang terekspos itu bukan hal-hal yang bagusnya malah yang terkespos itu hal hal permasalahan lahan, penggusuran paksa, dan pembangunan bendungannya itu,” ujar Syifa.
Ia berharap pemerintah dapat menanggapi kasus tersebut dengan adanya regulasi untuk meminimalisir kerusakan yang akan ditimbulkan. “Harusnya ada regulasi yang mengatur itu, agar kerusakan yang ditimbulkan itu ga terlalu parah. Seharusnya pemerintah hadir di sisi kita untuk menanggapi kasus tersebut. Namun sekarang yang kita lihat pemerintah seolah olah hanya memikirkan keuntungan,” tutupnya.
Reporter : Reza Hardiyanti dan Yopi Muharam
Redaktur : Fuad Mutashim