SUAKAONLINE.COM, Infografis — Pada malam tanggal 30 Oktober 1938, ribuan orang Amerika panik karena siaran radio yang menggambarkan serangan mahluk Mars yang mengancam seluruh peradaban manusia. “Barangkali tidak pernah terjadi sebelumnya, begitu banyak orang dari berbagai lapisan dan di berbagai tempat di Amerika secara begitu mendadak dan begitu tegang tergoncangkan oleh apa yang terjadi waktu itu,” begitu Hadley Cantril memulai rasanya tentang The Invasion of Mors (Schramm, 1977:579).
Sebuah pemancar radio menyiarkan sandiwara Orson-Welles. Sandiwara ini begitu hidup sehingga orang menduga bahwa yang terjadi adalah laporan pandangan mata. Peristiwa itu menarik berberapa orang peneliti sosial – suatu peristiwa angka telah terjadi. Peristiwa ini juga menarik karena menggambarkan keperkasaan media massa dalam mempengaruhi khalayaknya. Di Jerman, orang melihat bagaimana sebuah bangsa beradab diseret pada kegilaan massa yang mengerikan.
Di Jerman, Nazi menggunakan media massa secara maksimal. Media massa dikontrol dengan ketat oleh Kementerian Propaganda. Menulis atau berbicara yang bertentangan dengan penguasa Nazi dapat membawa orang pada kamp-kamp konsentrasi. Oposisi dibungkam. Hanya informasi yang dirancang oleh penguasa yang boleh disebarkan.
Radio diperbanyak untuk menambah efektivitas mesin propaganda. Di samping Hitler, Mussolini di ltalia juga memanfaatkan media massa untuk kepentingan fasisme. Sebelumnya, di Rusia Lenin berhasil merebut kekuasaan, tak kurang dengan menggunakan media massa pula.
Menurut Noelle-Neumann, penelitian efek media massa selama empat puluh tahun mengungkapkan kenyataan bahwa efek media massa tidak perlu diperhatikan; efeknya tidak begitu berarti. Sampai tahun 1940, pada pasca Perang Dunia I, ketakutan terhadap propaganda telah mendramatisasikan efek media massa.
Harold Laswell membuat disertasinya tentang teknik-teknik propaganda pada Perang Dunia I. The Institute for Propaganda Analysis menganalisa teknik-teknik propaganda yang dipergunakan oleh pendeta radio Father Coughlin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan psikolodi instink sedang populer di kalangan ilmuwan. Dalam hubungan dengan media massa, keduanya melahirkan apa yang disebut Melvin DeFleur (1975) sebagai “instinctive S-R theory”.
Pada tahun 1940-an, Carl L Hovland melakukan beberapa penelitian eksperimental untuk menguji efek film terhadap tentara. Ia dan kawan-kawannya menemukan bahwa film hanya efektif dalam menyampaikan informasi, tetapi tidak dalam mengubah sikap. Mereka menemukan bahwa persepsi selektif mengurangi efektivitas pesan.
Serangan terbesar pada Model Peluru adalah penelitian Paul Lazarsfeld dan kawan-kawannya dari Columbia University pada pemilu 1940. Mereka ingin mengetahui pengaruh media massa dalam kampanye pemilu pada perilaku memilih. Daerah sampel yang dipilih adalah Erie County, di New York. Karena itu, penelitian mereka lazim dikenal dengan sebutan Erie County Study.
Secara singkat kita telah melacak perkembangan penelitian efek komunikasi dari periode Perang Dunia I sampai sekarang – suatu pesiar dalam kapsul waktu yang berlangsung kira-kira hampir setengah abad. Setengah abad memang tidak berarti apa-apa dalam sejarah peradaban manusia. Namun pada 50 tahun terakhir, dalam dunia komunikasi terjadi kemajuan komunikasi yang jauh lebih cepat daripada apa yang terjadi selama puluhan ribu tahun sebelumnya.
Mungkin orang memandang pesimistis pada kebebasan manusia pada abad teknologi elektronik yang akan datang. Tetapi manusia bukanlah robot yang pasif yang dikontrol lingkungan. Setiap manusia mempunyai cara menghadapi lingkungan secara fenomenologis.
Oleh : Awallina Ilmiakhanza
Sumber : Tim Litbang LPM Suaka, Jalaluddin Rakhmat. 2013. Psikologi Komunikasi. Bandung