SUAKAONLINE.COM – Aliansi Mahasiswa Papua bersama Gender Research Student Center (Great UPI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dan Women Studies Center (WSC UIN Bandung) mengadakan kegiatan diskusi terbuka di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan II, Kota Bandung, Kamis (7/3/2024). Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara yang diselenggarakan oleh Simpul Puan untuk menyambut Hari Perempuan Internasional.
Mengangkat tema “Bagaimana Kekerasan Struktural Terhadap Perempuan”, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua, Siska Bamulki berbicara mengenai sejarah kebangkitan perempuan Papua yang mulanya hanya berkutat di ranah domestik, tetapi kini mulai merambat memasuki ranah publik. Siska juga menyampaikan bahwa saat ini, perempuan Papua belum bisa bebas dari segala bentuk kekerasan yang terjadi, sekalipun di lingkup terkecil seperti rumah.
“Kalau kita berbicara tentang Perempuan Papua itu tidak terlepas dari bagaimana situasi rakyat Papua hari ini masih dalam sistem penjajahan. Selain mengalami kekerasan di rumah, perempuan Papua juga mengalami kekerasan dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan di daerah tertentu. Jadi kalau kita mendalami tentang kebijakan-kebijakan negara itu memang terdampak sekali terhadap perempuan Papua,” ujar Siska, Kamis (7/3/2024).
Menyambung persoalan tersebut, Anggota Aliansi Mahasiswa Papua, Meli Degei menyebutkan bahwa kekerasan yang terjadi di Papua baik fisik maupun non-fisik terjadi tidak hanya menimpa perempuan, tetapi lelaki sekalipun. Kekerasan tersebut terjadi akibat konflik yang telah dirancang sedemikian rupa, hingga banyak menelan korban jiwa.
Menanggapi hal itu, pemateri dari Great UPI, Mentari Putri mengamini bahwa hingga saat ini kekerasan yang terjadi pada perempuan memang masih sangat tinggi. Bahkanuntuk kekerasan yang terjadi di ranah publik mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, “Data Komnas Perempuan dibagi menjadi tiga ranah. Ranah personal, terdapat 2098 kasus, ranah publik 1276 kasus, ranah negara 48 kasus,” jelasnya, Kamis (7/3/2024).
Senada dengan itu, Anggota PBHI Jawa Barat, Deti menyebutkan kepelikan yang ada di daerah Papua. Menurutnya, pemerintah saat ini memang telah menyediakan sekolah khusus untuk perempuan di Papua, tetapi coraknya masih terlihat elitis bagi rakyat Papua. Ia juga sangat menyayangkan, banyak perempuan Papua yang masuk ke dalam jajaran birokrasi tetapi tidak mewakili suara ketertindasan yang masyarakat Papua alami saat ini.
Lebih lanjut Deti menyebutkan bahwa informasi yang tersebar mengenai Papua saat ini justru berbanding terbalik dengan realita yang ada di sana. Beberapa jurnalis sulit sekali untuk memiliki akses ke sana karena selalu dihadang oleh aparat setempat. Menurutnya, hal itu terjadi karena negara merasa takut atas keluhan masyarakat Papua yang dapat menimbulkan riak masa yang lebih besar. Juga, negara merasa takut kehilangan pendapatan besarnya yang terdapat di Papua, yaitu tambang emas.
Terakhir, Deti secara tegas menyerukan kepada khalayak luas untuk berhenti tutup mata atas segala bentuk penindasan yang terjadi di Tanah Papua, “Kita jangan menutup mata bahwa di Papua terjadi penjajahan. Tahun 2023, PBHI juga memonitor bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan di Papua. Selain kekerasan seksual, banyak juga pembungkaman hak sipil. misalkan penangkapan sewenang-wenang dan tidak diadili,” keluhnya, Kamis (7/3/2024).
Reporter: Ighna Karimah Nurnajah/Suaka
Redaktur : Zidny Ilma/Suaka