Tabloid Suaka Edisi Maret-April 2016
Editorial
Percayalah
Kebijakan pada dasarnya membatasi, khususnya menghindari mudharat supaya tidak terjadi. Sayangnya kampus melihat seluruh mahasiswa dengan pandangan sama, misalnya menganggap semua kegiatan malam mahasiswa akan merusak citra kampus. Stereotipnya lebih dominan ketimbang berusaha bijaksanaa. Padahal katanya mahasiswa adalah peserta didik yang paling merdeka, sayangnya di kampus ini kemerdekaan baru sebatas unjuk rasa atau aksi, belum membuka ruang argumentasi yang lebih beradab.
Alasan yang diutarakan oleh Wakil Rektor III UIN SGD Bandung, Muhtar Solihin atas diberlakukannya jam malam ialah gara-gara adanya protes dari masyarakat yang merasa terganggu dengan aktivitas kampus di malam hari. Tentu saja aktivitas tersebut yang menimbulkan kegaduhan. Pemangku kebijakan di kampus yaki mahasiswa akan menolak jam malam, maka kebijakan tersebut diterapkan secara sepihak. Kampus tidak menaruh kepercayaan kepada mahasiswa untuk turut andil merumuskan kebijakan, bahkan dalam membuat kebijakan untuk mahasiswa.
Alasan lainnya ialah amoral yang dilakukan oleh mahasiswa, khususnya di gedung Student Center (SC). Meskipun tidak ada pembuktian yang paasti dan menguatkan, kampus menilai mahasiswanya tidak bisa dipercaya untuk diam di SC selama 24 jam. Mau tidak mau,mahasiswa secara seluruhnya harus rela, terkena imbas dari oknum mahasiswa amoral (yang entah siapa) itu.
Rupanya pemangku kebijakan mulai menutup diri untuk berbincang dengan mahasiswa, menyelesaikan persoalan, menentukan regulasi dan menemukan titik masalah bersama-sama. Padahal adanya ruang komunikasi pemangku kebijakan dan mahasiswa ialah cara beradab untuk saling menyalurkan pendapat. Bukan memendam ketidakpercayaan hingga berujung saling mengumpat.
Lalu apa kabar dengan mahasiswa? Ketika kebijakan ini diterapkan pada era kepemimpinan Deddy Islatullah, beberapa kali mahasiswa melakukan aksi, hampir seluruh penghuni SC turun ke jalan, menegaskan penolakan terhadap peraturan tersebut. hingga berlangsung audiensi dan kebijakan jam malam berujung pada kesepakatan.
Kini kampus memiliki peraturan baru. Jam malam kembali diterapkan, sekitar pukul 21.00 SC akan padam. Ditambah dengan pembatasan penggunaan ruang mahasiswa lainnya, semisal Aula Multipurpose, Auditorium dan Gazebo. Penghuni SC pada khususnya seperti bosan mencari perhatian lewat aksi. Mereka memilih berinisiatif mencari alternatif cahaya, dengan menggunakan lilin atau senter dari smartphone. Bahkan ada yang tetap melakukan kegiatan dalam keadaan gulita.
Kampus harus segera membenahi diri, mengaja mahasiswa untuk saling memahami dan memberi ruang. Bukan memperliahtkan ketidakpedulian atas apa yang terjadi di kampus. Percayalah, persoalan yang diselesaikan dengan usyawarah jauh lebih abik ketimbang audiensi berkali-kali pasca aksi mahasiswa menuntut ruang dan haknya terpenuhi. [Redaksi]