Kolom

Tahun Baru Bersama Sindiran Gus Mus

Dok. Net

Oleh Nizar Al Fadillah

Sebuah tahun yang selesai melekaskan tahun baru yang siap dimulai. Lalu tak sedikit dari kita, makhluk yang diberi akal oleh tuhan, menciptakan pengharapan – pengharapan di tahun yang baru, membayangkan tahun yang datang akan lebih baik dari tahun yang lalu. Resolusi – resolusi bergema dimana – dimana, sebuah itikad untuk berubah nyaring terngiang tanpa sedikitpun terdengar gundah.

Hingga kemudian seorang Ulama sekaligus Penyair, Ahmad Mustofa Bisri (dikenal juga dengan nama pena Gus Mus), lewat puisinya, mengajak kita untuk diam, duduk sejenak dan memperhatikan syair – syairnya tentang penghayatannya pada sebuah tahun yang sebentar lagi menjadi baru pada puisinya yang berjudul “Selamat Tahun Baru Kawan”.

Puisi ini Gus Mus ciptakaan pada tahun 2003, tepatnya dibuat untuk memperingati datangnya tahun baru 1345 Hijriyah. Namun semoga tak menjadi sebuah dosa bagi penulis untuk mengulas dan memaknai puisinya di tahun baru Masehi ini. Gus Mus pasti bisa memakluminya, semoga begitupun dengan para pembaca.

Gus Mus lagi – lagi berhasil menciptakan syair dengan dua sudut pandang berbeda yang selalu serasi : sebagai ulama dan penyair. Dua jiwa ini menyatu padu dan selalu syahdu dalam merangkai kata – kata sederhana namun tetap bergizi untuk direnungi.

Lewat puisi ini, Gus Mus melakukan apa yang sering orang – orang katakan saat dihadapi tahun yang baru, yaitu memberi ucapan selamat, sangat tesurat pada judulnnya. Lalu ketika kita menemukan isi baitnya, perlahan – lahan, Gus Mus mengajak kita memaknai, merenung dan seolah memberikan kita cermin untuk berkaca tentang diri kita yang masih ‘seperti ini’ saja.

Kawan, sudah tahun baru lagi — Belum juga tibakah saatnya kita menunduk memandang diri sendiri – – Bercermin firman Tuhan, sebelum kita dihisab-Nya,” Bait pertamanya langsung memukul tenang manusia tentang bagaimana nilai dirinya dihadapan Tuhan. Meski diksi dalam puisi ini  beberapa terasa pedas, namun puisi ini tak bisa dilihat sedang menyudutkan siapapun. Pemilihan kata yang sederhana, keras namun tegas, tak arogan membuat penulis merasa nyaman untuk disindir sekaligus secara sadar mentertawai dan menelanjangi diri sendiri tentang suatu keimanan yang harus diintropeksi.

Unsur rukun islam menjadi pondasi puisi ini. Rukun per rukun Gus Mus bahas dan bahasakan sebagai sesuatu yang belum tentu kita sebagai muslim (?) sudah menjalankannya dengan baik.

Syahadat kita rasanya lebih buruk dari bunyi bedug, atau pernyataan setia pegawai rendahan saja

 Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam ibu-ibu, lebih cepat dari pada menghirup kopi panas dan lebih ramai daripada lamunan 1000 anak pemuda

 Zakat kita jauh lebih berat terasa dibanding tukang becak melepas penghasilanya untuk kupon undian yang sia-sia

 Puasa kita rasanya sekadar mengubah jadual makan minum dan saat istirahat, tanpa menggeser acara buat syahwat, ketika datang rasa lapar atau haus

 Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri, mencari pengalaman spiritual dan material, membuang uang kecil dan dosa besar

 Diatas adalah beberapa bait yang bisa saja benar apa adanya tentang kondisi keimanan seseorang. Iya, bisa saja. Hingga kemudian puisi berpindah pada konteks perkembangan zaman yang membuat manusia tak lagi terlihat wajar, yang tersirat dari bait “Kawan, tak terasa kita semakin pintar, mungkin kedudukan kita sebagai khalifah mempercepat proses kematangan kita paling tidak kita semakin pintar berdalih,”.

Puisi ini pun diakhiri dengan mengembalikan semuanya pada diri sendiri. Gus Mus tak sedang menghakimi, Ia hanya menerka dan memberi perenungan serta mengkoreksi resolusi – resolusi bagi masing – masing kita sebelum menyambut sebuah tahun yang baru.

 

Selamat Tahun Baru Kawan !

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas