Pendidikan dan Budaya

Menyiasati Musik Anak  Tetap Hidup

Dries Putra Hidayat, salah satu anak yang menyayikan album Nyanyian Anak Bintang tengah menulis namanya di sampul depan majalah Nyanyian Anak Bintang pada acara sesi dengar dan diskusi album Nyanyian Anak Bintang di Co-op Space, Universitas Parahyangan (Unpar) pada Minggu, (14/1/2017). Talkshow tersebut dihadiri para aktivis, pegiat musik, Perpus Jalanan (Pusjal) Bandung dan Musisi indie, Oscar Lolang. (Rendy M. Muthaqin/Suaka)

SUAKAONLINE.COM –Kemarin paman datang, pamanku dari desa, dibawakannya rambutan pisang, dan sayur mayur segala rupa…”  penggalan lirik lagu yang dipopulerkan oleh Tasya Kamila  tahun 2000 tersebut selalu melekat diingatan anak generasi  90an. Pelantun lagu Anak Gembala itu sukses dengan album bertajuk Libur Telah Tiba berkat kerjasama dengan Sony Music Kids. Rupanya Tasya tidak sendiri untuk meramaikan kancah permusikan anak, munculnya Trio Kwek Kwek yang digawangi Leony Vitria Hartanti, Dhea Ananda dan Alfandy menjadikan album mereka laris dipasaran.

Justru di tahun yang sama banyak yang merasakan musik anak telah hilang, dan dengan cepat lantunan gembira khas anak-anak digantikan dengan musik pop-melayu yang sedang digandrungi semua kalangan. Masuknya ST12 dengan lagu andalan mereka berjudul Puspa sangat melakat di hati musik Indonesia. Disusul dengan munculnya Vagetoz, Kangen Band, d’Bagindas, Wali, Armada dan Hijau Daun.

Pada tahun 90an, akses menemukan media untuk anak-anak sungguh terbuka, banyak acara tv yang secara khusus menayangkan konten untuk anak-anak. Sebut saja acara produksi Tralala Trilili pada tahun 1998 ditemani host Agnes Monica dan Feri ME, kadang juga Indra Bekti nongol di acara yang menyuguhkan hiburan serta memutar lagu-lagu sesuai usia mereka pada waktu itu.

Seperti kata Pegiat Jurnalisme Musik, Idhar Resmadi, industri anak tergeserkan oleh musik pop-melayu, sekarang tidak merasakan karya musik otentik oleh anak itu sendiri. Ditambah lagi,  media belum melihat hal ini sebagai kebutuhan serta industri musik melihat musik anak sudah tidak lagi menjanjikan.

“Musisi pada dekade 60an hingga 70an seperti Koes Plus menyanyikan lagu anak berjudul Pok Ame-Ame, Tari Selendang dan Anak Manja. Ada juga lagu Sang Kodok yang sering dulu kita dengar. Disusul dengan Adi Bing Slamet, White Shoes and The Couple Company (WSTCC) menyanyikan lagu Aksi Kucing. Mungkin sekarang berpikirnya siapa yang mau membuat musik anak soalnya tidak menjanjikan,” tutur Idhar, Minggu (14/1/2018).

Dikutip dari jurnal Kembalikan Lagu Anak-Anak Indonesia karya Ardipal, karakter lagu anak-anak memiliki ciri-ciri nadanya cenderung lucu dan khas, liriknya mudah dipahami dan tidak terlalu panjang. Sebaiknya memberikan pesan moral atau nasihat serta kosakata yang digunakan sederhana. Tema lagu yang digunakan tidak jauh dari kehidupan sehari-hari yang dikemas dengan nada yang menyenangkan. Selanjutnya, nada yang digunakan dapat dipadukan dengan gerakan atau tepukan tangan. Terakhir, isi lagu tersebut mengandung unsur kegembiraan, tidak tentang keluhan, pesimis dan sifat desktruktif lainnya.

Saat ini, hegemoni musik anak kebalikan di era 80an hingga 90an. Indonesia pernah mengalami kejayaan dalam produksi lagu anak, munculnya Joshua Suherman dan membawakan lagu Air atau yang akrab berjudul di Obok-Obok pada tahun 1999. Seperti penggalan lagu tersebut ‘ada air hujan, rasanya tawar. Ada air laut, rasanya asin. Ada air susu, rasanya manis…’ secara tidak langsung lagu tersebut mengedukasi anak dengan mengetahui rasa air tanpa perlu dipelajari di sekolah formal.

Hal tersebut diamini oleh Pengamat Musik Anak, Yuddhaswara, menurutnya efek umum musik bagi anak ia mengambil contoh ketika anak dihadapkan dengan angka, timbul lah rasa bosan, belajar matematika bagi anak-anak adalah hal yang menjenuhkan. Untuk mensiasati itu, angka tersebut dipadukan dengan nyanyian. Walaupun ia menyadari pola kehidupan anak era milenial sangat berbeda dengan dulu. Pentingnya peran orang tua untuk mengawasi dan mengatur pemakaian gawai dengan wajar kepada anak-anak, serta mengasah intelektual anak ke arah yang lebih baik.

“Akhirnya muncul lagu anak ‘satu ditambah satu, sama dengan dua, dua ditambah dua sama dengan empat’ dengan nada yang dipadukan dengan angka, anak-anak mudah mencerna dan mempermudah dalam mengingat tanpa perlu menghitung sebelumnya, karena sudah melekat di kepala sepaket dengan lagu tersebut,” tuturnya, Minggu (14/1/2018).

Menanggapi hal tersebut, Idhar mengatakan musik berpengaruh terhadap intelektual dan imajinasi anak. Musik bagi anak-anak ialah sebagai wahana bermain, mendengarkannya memiliki pengalaman tersendiri dan pasti menyenangkan. Ia pun sepakat dengan Yuddha dengan perilaku anak era sekarang yang bekutat dengan teknologi, tidak bisa disamakan dengan anak zaman dulu.

“Kita gabisa narik habitat mereka yang selalu main gawai, buka Youtube, terus kita larang enggak boleh main smartphone, enggak boleh nonton tv lah, disuruh main ke sawah seperti kita dulu itu pasti enggak akan bisa. Pola nya sudah beda sekarang,” terangnya.

Pola yang baru untuk menggelorakan musik dengan inisiatif anak-anak itu sendiri. Walaupun tidak bisa lepas tangan sepenuhnya diserahkan ke anak itu dalam proses pembuatan lagu, tetap butuh sosok yang mengaransemen menjadi lebih apik. “Akan lebih potensial jika memanfaatkan habitat mereka seperti kecanggihan teknologi dan informasi zaman sekarang dipadukan dengan musik anak. Salah satunya bisa di Youtube, atau seperti Sherina Munaf membuat produksi film Petualangan Sherina di dunia perfilman,” ujarnya.

Lanjutnya, ini menjadi tantangan besar untuk memunculkan musik anak ke permukaan kembali, ditambah lagi masyarakat Indonesia melihat musik hanya pakeman hiburan semata. Padahal ada edukasi di dalamnya yang bisa diambil. Serta mengikuti pola anak-anak yang berbau visual bisa menjadi tugas film maker jika ingin membuat drama musikal, tugas game development membuat game yang mengedukasi. Karena bukan hanya musik, literasi, aspek sosial dan pendidikan pun berpengaruh. Apabila medianya tidak ada, bakal sulit memunculkan hal tersebut.

 

Reporter : Rendy M. Muthaqin

Redaktur : Hasna Salma

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas