Bertahun-tahun menjadi pekerja asbes di pabrik Gland Packing Cikarang, Sriyono divonis menderita penyakit asbestosis, sebuah penyakit paru-paru yang bisa berkembang menjadi kanker akibat menghirup debu asbes. Gejala awal yang dirasakan seperti mudah lelah dan batuk ringan sama sekali tak terbayangkan dibenaknya bahwa pada akhirnya, ia akan mengidap penyakit asbestosis.
Sriyono hanyalah sebagian kecil masyarakat yang menjadi korban akibat kelalaian perusahaan dalam melindungi pekerjanya dari resiko dalam bekerja, apalagi di pabrik asbes. Pasalnya asbes telah dilarang digunakan di 60 negara di dunia, namun penggunaan di Indonesia masih tetap menjamur seperti biasanya.
Mengenal Bahaya Asbes
Asbes atau asbestos merupakan bahan tambang, yang terdiri dari serat silikat mineral dan komposisi kimiawi yang berbeda, lebih tahan dengan asam dan api daripada bahan lainnya. Indonesia telah mengkonsumsi asbes sejak tahun 1950-an, hingga saat ini Indonesia mengimpor asbes dari negara lain seperti Rusia, China, Brazil, dan Kazakhstan. 97 persen asbes yang impor ke Indonesia dijadikan bahan baku untuk produk atap semen asbes, plafond, partisi dan bahan bangunan lainnya. Sedangkan sisanya menjadi bahan baku untuk rem dan kopling kendaraan, isolasi termal dan bahan industri lainnya.
Namun dibalik segala kelebihannya sebagai bahan industri, asbes menyimpan bahaya yang sangat mengancam para penggunanya. Menurut World Health Organization (WHO), serat asbes yang mengendap dalam paru-paru dapat menyebabkan sejumlah penyakit, seperti kanker paru-paru, mesohteolima, dan asbestosis. Zat karsinogenik (penyebab penyakit kanker) ini disebut bertanggungjawab atas kematian 100 ribu orang setiap tahunnya.
Kemudian yang cukup memprihatinkan adalah kebanyakan pengguna asbses adalah masyarakat menengah ke bawah. Ada cara yang bisa dilakukan bagi masyarakat yang sudah terlanjur memakai asbes, yaitu melapisinya menggunakan cat basah agar serat yang ada pada asbes tersebut tidak menyebar. Namun jika asbes itu mulai rapuh, debunya akan tetap menyebar dan terhirup oleh orang yang berada di sekitanya.
Salah satu tim advokat dan jaringan LION, Firman Budiawan mengatakan bentuk dari partikel asbes ketika kita melihat debunya memang sangat halus, akan tetapi ketika diperbesar dengan alat medis ternyata bentuknya tajam dan ketika terhirup partikel tersebut akan menempel pada saluran pencernaan dan pernafasan. “Setelah paparan asbes, biasanya membutuhkan waktu antara 10 sampai 30 tahun sebelum gejala mesothelioma dan prognosis mesothelioma berkembang, kemampuan hidup penderita rata-rata 12 sampai 48 bulan semenjak diagnosa ditegakkan,” kata Firman, Senin (18/12).
Menurut WHO semua jenis asbes telah dinyatakan bersifat karsinogen, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia merupakan pengimpor asbes terbesar ketiga. Pada tahun 2012-2015 jumlah import asbes ke Indonesia sejak 2007 sampai 2012 mengalami kenaikan dari 74% sampai 162%, namun di tahun 2015 impor asbes ke Indonesia turun di angka 120%.
Abai permasalahan K3
Tidak banyak yang peduli terhadap nasib Sriyono, pun pekerja lainnya. Tetapi, delapan tahun yang lalu, seorang lelaki bernama Darisman gelisah menyaksikan nasib para pekerja pabrik. Darisman kerap melakukan perjalanan dari satu pabrik ke pabrik lainnya untuk menemui pekerja. Dalam perjalannya, Darisman harus menyaksikan kawan pekerjanya menderita penyakit akibat kerja hingga meninggal dunia.
Berbekal kegelisahan tersebut, tahun 2010 Darisman melahirkan organisasi Local Initiative for Osh Network (LION) yang konsen terhadap isu permasalahan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). LION juga banyak melakukan kampanye K3 kepada serikat pekerja, perusahaan, dan aktivis.
“Oleh sebab itu LION berdiri karena memang isu permasalahan K3 ini dipandang sebagai isu yang penting dalam dunia kerja, masih tersisihkan dalam dunia ketenagakerjaan,” ujar Tim Advokasi dan Jaringan LION, Rian Irawan, (26/12/2017). Lanjutnya, Rian mengatakan bahwa saat ini LION sedang mengusahakan agar isu permasalahan K3 tidak lagi menjadi isu pinggiran. Karena selama ini yang sering dibahas adalah perihal upah, kebebasan berserikat. Sedangkan permasalahan K3 masih dianggap kurang penting.
Fungsi lain dari organisasi ini ialah untuk memberitahu pekerja dan serikat pekerja tentang bahaya di tempat kerja. Sampai saat ini, K3 masih menjadi isu yang diabaikan di tempat kerja, padahal dalam praktiknya sangat memperihatinkan. Hal tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa hal seperti lemahnya pengawasan oleh pemerintah di bidang K3, kurangnya perhatian dari pengusaha yang melihat persoalan K3 sebagai bagian dari biaya serta tidak tersedianya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran K3.
Tahun 2009, Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) dan Asia Monitoring Resource Centre (AMRC) melakukan kegiatan lokakarya dan mengundang para serikat pekerja dan korban akibat kerja untuk berbagi pelangalamannya. Saat itu mereka mendengar cerita tentang buruh pabrik di ruangan yang panas, berdebu, dan tidak berventilasi, bekerja tanpa respirator atau alat pelindung lainnya. Bahan-bahan yang digunakan dalam pabrik itu pun tergolong berbahaya, seperti menggunakan pelarut, asbes, dan merkuri, tanpa disadari itu adalah bahan yang berbahaya.
Seorang pekerja melaporkan sakit karena paparan kimia hingga tidak bisa diobati, ada juga seorang pekerja tekstil dengan tangan yang terluka permanen dan tidak mendapatkan perawatan dan kompensasi pasalnya atasannya tidak mendaftarkan ke program jaminan sosial pemerintah (Jamsostek).
Banyak pekerja yang belum mengerti bahwa kondisi di tempat kerja membuat mereka sakit dan menyebabkan luka-luka. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan peraturan terkait, sayanganya banyak perusahaan gagal mematuhi sepenuhnya.
Telah banyak Korban, Pemerintah harus Revisi Undang – Undang
Menurut data statistik tahun 2010 dari Kementrian Tenaga Kerja Indonesia, 98.700 pekerja terluka dan 1.965 karyawan meninggal di tempat kerja. Kini, menurut data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Ditjen Binwasnaker & K3) Triwulan II Tahun 2017, jumlah kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja pada 2017 mencapai 11.028 kasus, 118 terkena penyakit akibat kerja, 147 jiwa meninggal dunia, dan 136 orang cacat.
Salah satu tim Advokasi dan jaringan LION, Iryadi mengatakan dalam Undang-Undang Keselamatan Kerja Nomor 1 Tahun 1970 menyebutkan, adanya ancaman pidana bagi perusahaan yang abai terhadap keselamatan kerja. Namun hukuman pidana bagi pengusaha yang menyebabkan kecelakaan dan kematian pekerja sangat jarang terdengar di Indonesia. Oleh sebab itu LION mendorong pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan.
“LION mendorong agar Undang-Undang ini direvisi karena dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini, di pasal 4, 5 dan 6 itu tidak ada yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban perusahaan itu tidak ada, selalu dibebankan kepada negara. Dan di pasal 15 itu sanksi bagi perusahaan hanya 100 ribu dan denda kurungan 3 bulan,” papar Iryadi saat ditemui Suaka di ruang kerjanya, Selasa (26/12/2017).
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja mengatur pedoman penerapan Sistem Manajemen K3 (SMK3) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 tahun 2012. Namun peraturan-peraturan yang ada belum dapat secara efektif digunakan untuk membuat jera pengusaha yang abai terhadap kesehatan dan keselamatan kerja.
“Selain mengadvokasi, LION juga fokus memberikan informasi mengenai Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), mengadakan pelatihan, training, wokrshop, penelitian dan riset di pabrik industri,” ujar divisi Pengumpulan K3 dan Media Kampanya, Ajat sudrajat.
Pada 2016, LION bekerjasama dengan Pergimpunan Spesialis Dokter Okupasi Indonesia (Perdoki) untuk melakukan riset dua parbik industri, saat itu diambil 20 orang pekerja, adri 20 orang tersebut 50 persen terdiagnosa mempunyai penyakit asbestosis, penyakit yang berkaitan dengan asbes. Salah satu dari 20 orang tersebut adalah Pak Sriyono, sisanya sampai saat ini baru sampai tahap advokasi
Saat ini, LION sedang fokus terhadap isu penggunaan asbes. Pasalnya data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa setiap tahunnya, ada sekitar 90.000 penduduk di seluruh dunia meninggal dunia akibat penyakit yang berhubungan dengan asbes yang disebabkan oleh pekerjaan.
Mengadvokasi Pekerja
Sampai saat ini LION telah mengorganisir 100 pekerja yang terkena penyakit akibat asbes dan yang menjadi korban kecelakaan kerja dari tiga wilayah yaitu Bekasi, Karawang, dan Bogor, dari 100 pekerja tersebut ada sekitar 20 orang yang yang terkena penyakit asbes. Namun kebijakan penggunaan dan impor asbes di Indonesia masih belum diterapkan, mengatakan bahwa dalam Keppres No. 22 tahun 1993 menyatakan bahwa asbestosis, kanker paru-paru dan mesotheolioma dikategorikan sebagai penyakit akibat hubungan kerja.
Rian menambahkan, arah LION bukan untuk memberhentikan penggunaan asbes dan menutup pabriknya, tetapi mendorong pemerintah untuk melarang serta mensubstitusi perusahaan untuk mengganti bahan yang lebih ramah lingkungan dan tidak membahayakan. Selanjutnya, LION menyarankan kepada masyarakat yang sudah terlanjur menggunakan atap berbahan asbes agar mengecat debu atau partikel asbes itu agar tidak menyebar dan terhirup.
Karena menurut data BPS, Jawa Barat masuk dalam peringkat ketujuh dari sepuluh daerah pengkonsumsi atap asbes terbesar di Indonesia. Jumlah pemakaian di perkotaan dan pedesaan 10,54 persen. Selain itu juga, saat ini pusat kota menjadi konsumen terbesar dalam pemakaian asbes. “Saat ini LION sedang mendorong pemerintah untuk membuat sebuah kebijakan untuk membatasi pemakaian asbes, karena saat ini asbes banyak digunakan tempat umum seperti sekolah, rumah sakit, pasar, kantor BUMN, dan kantor pemerintah,” pungkas Rian.
Reporter : Puji Fauziah
Redaktur : Nizar Al Fadillah