
Salah satu aktivis Sapa Institut, Dindin Elkenis memaparkan materi dalam diskusi yang diadakan oleh Women Study Centre (WSC) pada Senin (1/10/2018). Diskusi tersebut mengusung tema “Menolak Diam Pelecehan Seksual di Kampus”. Menurut Dindin, untuk mengatasi kasus pelecehan seksual di kampus harus ada komitmen bersama dari tingkat rektorat. (Anisa Dewi/ SUAKA).
SUAKAONLINE.COM – “Kekerasan seksual adalah kekerasan berbentuk gender. Akan sangat sulit mengungkap sebab sifatnya privasi hingga untuk melapor pun sulit karena tidak ada saksi,” papar Didin Elkenis selaku pembicara dari Sapa Institut, Senin(1/10/2018) di pelataran Aula Abdjan Soelaeman UIN SGD Bandung.
Diskusi yang digelar Women Study Center (WSC) dengan mengusung tema “Menolak Diam Pelecehan Seksual di Kampus” menghadirkan Dindin Elkenis dari Sapa Institut dan perwakilan korban, Muhammad Liabtary bin Thalib. Vini selaku anggota WSC dan moderator diskusi menguraikan bahwa kita perlu mengusut tuntas hal yang belum usai. Dikatakan belum usai sebab korban masih ada dalam tekanan ditambah pula belum adanya tanggapan dari pihak LP2M yang justru memberhentikan kasus ini. Bahkan kata maaf belum terucap oleh LP2M kepada korban.
Faktor penyebab kekerasan seksual salah satunya masih menjadikan perempuan sebagai objek. Ketika yang menjadi sasaran itu perempuan tuduhan perempuan menggoda, kecentilan, ingin digoda, baju seksi. Dindin yakin tidak ada satu perempuanpun yang ingin digoda dan niat untuk diperkosa. Pakaian yang minim bukan menjadi alasan mewajarkan kekerasan seksual terhadap perempuan. Permasalahan yang paling krusial justru ada di otak dan pikiran.
“Pikiran yang tidak terbatas pada bentuk fisik atau memang pikiran yang sudah seksis dan negatif. Pakaian tertutup atau tidak kalau otak ngeres tetap perempuan menjadi bahan eksploitasi,” ujar laki-laki setengah baya berkaus hitam tersebut.
Muhammad Amir alumni Aqidah Filsafat, UIN SGD Bandung angkat bicara menanggapi terkait pikiran atau perempuan yang salah. Laki-laki berambut gondrong itu mengaitkan dengan RUU AP tahun 1997 tentang pornografi. Menurutnya tujuan dari RUU AP itu memanipulasi rangsangan, terlalu semangat melibatkan dalam tontonan aurat, kita bisa bicara agama, atau standar moral yang partikular itu serta menganggap bahwa semua itu pornografi.
Salah satunya adalah pakaian yang dikhususkan pada perempuan. “Apakah lantas seolah-olah ketika pakaian sudah menutup aurat problem moralitas sudah selesai? Itu kedangkalan berfikir yang naif. RUU AP ini menstigmasi pemikiran kita . Di pesantren yang pernah saya tinggali ada standar moral yang berlaku tapi saya tidak pernah melihat aurat,” ungkapnya.
Artinya ada manipulasi aurat, bukan oleh diri sendiri tapi oleh sesuatu yang lain. Akhirnya ada pemaksaan standar moralitas partikular, ketika perempuan membuka sedikit auratnya dan ditindak oleh polisi moral. Pikiranpun sudah dimanipulasi oleh RUU AP. Saat standar moral sehelai tidak digunakan perempuan mendapat stigma yang negatif.
Perlunya Dukungan
Salah satu hambatan yang menekan angka pelecehan seksual adalah nihilnya dukungan dari lingkungan terdekat korban. Ketika korban hendak melapor justru lingkungan turut menyalahkan. Dukungan menjadi penting untuk dapat bergerak bersama lalu menjadikan kasus ini sebagai isu bersama.. Strategi yang bisa dilakukan mesti lebih kreatif lagi jangan berhenti di aksi, misal dengan melibatkan media. Media menjadi penting sebab menjadi wilayah strategis bahkan mendorong menjadi isu nasional.
Dindin mengapresiasi adanya aliansi yang bersedia mengadvokasi.tetapi titik fokusnya adalah orang-orang yang dekat dengan korban bagaimana mereka seharusnya mendukung penuh bukan memperparah traumatis korban dengan terus menyalahkan.
Kampus UIN Bandung bukan kampus penjaga moral tetapi ruang akademis. Masalah perempuan tidak boleh merokok bukan jadi urusan kampus, kampus tak perlu menjelma jadi intansi penjaga moral. Tidak ada yang berhak mengadili kasus semacam itu, tidak ada pengadilan moral di negeri ini bahkan ulama sekalipun, tambah Dindin lagi.
Kembali pada kasus, lawan dengan relasi dan komunikasi pada lembaga-lembaga terkait yang mendukung. Solidaritas menjadi penting dalam pergerakan. Revolusi pernah bergulir karena adanya pergerakan. WSC bersama dengan Angin Malam, Komite Aksi Mahasiswa, LPIK, Pembebasan dan Rumah Diskusi akan mentukan langkah selanjutnya dengan digelarnya konferensi pers, hanya saja belum ada komunikasi lebih jauh terkait waktu dan teknis.
Menangani Kekerasan Seksual
Bersiul boleh saja asal tidak menjadikan perempuan sebagai objek. Kalaupun menganggap bahwa seseorang adalah objek seksual yang dieksploitasi itu yang tidak diperkenankan, Dindin menjelaskan lebih lanjut bahwa Jangankan pelecehan seksual yang jelas tidak ada persetujuan berhubugan intim pun bila dengan paksaan dan intimidasi oleh salah satu pihak termasuk dalam kekerasan sesksual.
Dindin menceritakan pengalamanya ketika menghadapi kasus perempuan yang diperkosa pacarnya. Hubungan pertama ,kedua ketiga atas persetujuan bersama. Lalu yang keempat merasa tidak nyaman dan ada paksaan, jelas ada unsur intimidasi. Hubunganya menjadi tidak sehat sebab pelaku memegang rekaman, pembicaraan dan mengancam menyebarluaskan. Itu yang dijadikan alat untuk memaksa korban terus mengikuti apa yang pelaku inginkan.
Kasus lain yang pernah ditangani Dindin dan SAPA institute agar pelaku jera dengan memiskinkan pelaku. Pernah suatu ketika pelecehan seksual dilakukan oleh oknum pegawai negri sipil di salah satu instansi ternama. Mereka punya kekuatan politik dan ekonomi. Artinya jejaring dan kekayaan modal tidak perlu dipertanyakan. Uang yang dimilikinya bisa menutup berita-berita yang dirilis. Mereka terus mem-blow up melalui media hingga pelaku benar benar kehabisan dana. Hal itu dapat diterapkan kepada rektorat. Dindin menyarankan bahwa goal juga perlu dipikirkan, apakah sekadar bentuk apologi saja atau harus ada komitmen bersama dari tingkat rektorat menghadapi kasus ini.
“Jangan takut diintimidasi, justru ketika merasa takut mereka akan menjadi imun dan kebal. Kita tidak bisa melihat kasus itu besar atau kecil tetapi seberapa jauh berlaku adil. Saya ingin, gerakan ini menjadi momentum untuk gerakan mahasiswa terhadap kasus-kasus selanjutnya,” pungkas Dindin.
Repoter : Anisa Dewi A
Redaktur : Muhamad Emiriza