SUAKAONLINE.COM – Krisis politik yang parah sempat melanda Korea Selatan di penghujung tahun 2016 dan berhasil menarik perhatian dunia. Sebagaimana laporan berita BBC per tanggal 30 November 2016, kala itu jutaan warga sipil Korea Selatan turun langsung dalam aksi demonstrasi yang menuntut turunnya Park Geun-Hye dari jabatannya, akibat terlibat skandal penyalah gunaan jabatan dan suap.
“Kalian tahu demonstrasi yang melibatkan jutaan warga Korea Selatan, yang menuntut turunnya presiden (Park Geun-Hye –red) mereka karena kasus suap dengan melibatkan perusahaan-perusahaan besar di Korea? salah satu penyebab kenapa kasus tersebut menjadi sangat besar, itu karena adanya peran media sosial,” jelas Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Siti Juliantari Rachman saat memaparkan materi terkait upaya kampanye anti korupsi, dalam acara Social Media for Social Good 2019 di Lo.Ka.Si Coffe and Space, Sabtu(16/02/2019).
Kehadiran media sosial memberikan ruang baru untuk sistem demokrasi bukan hanya di Korea Selatan seperti pada kasus di atas, tetapi juga di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Pemberitaan LKBN Antara, Akhmad Kusaeni bahwa media sosial menurutnya telah ikut ambil bagian dalam menentukan bahasan isu yang ada di masyarakat. Hal itu diungkapkannya dalam muatan berita antaranews.com pada tahun 2012 yang lalu.
Begitu halnya dengan yang terjadi pada Prita Mulyasari, kasusnya tentu masih lekang diingat masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, dukungan kepadanya dengan memanfaatkan kekuatan media sosial facebook, berhasil mengumpulkan jutaan koin untuk mendukungnya membayar tuntutan sejumlah uang kepada RS OMNI Internasional. Bahkan kasusnya berakhir pada pembebasan Prita dari status bersalah di hadapan pengadilan. Belajar dari kasus tersebut, potensi yang sama juga sangat mungkin jika kampanye anti-korupsi terus digalakan di media sosial.
Keterlibatan Pengguna Media Sosial
Saat wawancaranya dengan Suaka, perempuan yang akrab disapa Tari itu, juga mengatakan bahwa sehubungan dengan kian pejalnya kampanye anti-korupsi yang beredar di media sosial, tidak lepas karena makin banyak penggunanya yang tertarik dengan isu tersebut, serta adanya kegemaran berkomentar saat menemukan isu yang mereka anggap menarik.
“Gerakan anti-korupsi di medsos sudah semakin masif, dan pembicaraan tentang anti korupsi itu juga menjadi salah satu isu yang paling banyak orang perbincangkan di medsos. Kalau ngomongin anti-korupsi di medsos itu pasti banyak yang mau berkomentar,” tuturnya.
Pun gencarnya perbincangan kampanye anti-korupsi di media sosial merupakan buah dari makin bertambahnya jumlah pengguna media sosial itu sendiri. Berdasarkan hasil riset yang dikeluarkan oleh We Are Social bekerjasama dengan Hootsuite, mencatatkan bahwa terdapat 130 Juta orang atau hampir dari setengah jumlah penduduk Indonesia, menggunakan media sosial. Sehingga isu-isu anti-korupsi di media sosial akan terus laris seiring banyaknya kasus yang diungkap.
Tari juga menyebutkan, yang ikut turut menyumbang ramainya isu ini ialah makin gemarnya pejabat negara dan orang-orang penting yang ikut bersosial media. Salah satunya ialah Mahfud MD, ia pernah menuliskan cuitannya di Twitter dengan menuliskan bahwa koruptor tak ubahnya adalah drakula yang menghisap darah negara. Analogi tersebut memperlihatkan dukungannya terhadap kampanye anti-korupsi, yang tentunya telah marak sejak cuitan itu dibuatnya pada Agustus tahun 2017 yang lalu.
Meski telah banyak pihak dan pengguna media sosial yang ikut berpartisipasi untuk usaha tersebut, dibutuhkan upaya lebih agar kampanye anti-korupsi menjadi ramai perbincangan publik dan tujuannya tersampaikan. Tari juga selalu menegaskan bahwa makin ramainya orang-orang membicarakan isu anti-korupsi, maka atensi untuk menuntaskan persoalan itu akan cepat terwujudkan.
Sementara itu, dalam ranah akademik mahasiswa yang juga pengguna aktif media sosial berperan besar dalam pasrtisipasi untuk gerakan anti-korupsi. Menurut Tari, mahasiswa dapat menjadi agen persuasi anti-korupsi bagi orang-orang dekatnya, keluarga juga teman media sosialnya.
“Mahasiswa sangat berpotensi, karena mereka adalah anak-anak muda yang kritis dan yang banyak menggunakan media sosial . Mereka bisa menularkan isu-isu anti korupsi itu kepada temannya, keluarganya, follower IGnya yang tentunya dengan menggunakan media sosial,” paparnyanya.
Medium Baru Kampanye
Selain itu, kemunculan media sosial sebagai medium baru untuk mengkampanyekan anti-korupsi, rupanya dipandang lebih efektif dibandingkan cara lama seperti di media cetak, radio ataupun lainnya. Hal tersebut yang kembali disebutkan Tari, bahwa media sosial unggul dengan kemampuannya dalam menjangkau masyarakat yang lebih luas.
“Melalui media sosial, kita meliat bahwa ini menjadi ruang untuk anti korupsi itu menjangkau orang-orang yang mungkin selama ini tidak pernah terjangkau. jadi kita menggunakan media sosial itu,” ungkapnya.
Meski begitu, saat media sosial kian masif menjadi medium untuk mengkampanyekan anti-korupsi, sayangnya justru berkebalikan dengan kinerja media informasi konvensional saat ini. Rupanya banyak media-media mainstream, yang tidak begitu tergiur untuk serius mewartakan berita-berita yang melibatkan kasus korupsi dalam jumlah besar. Jikapun ada, pasti pihak-pihak yang terlibat adalah orang penting, sehingga pemberitaan mampu menarik perhatian masyrakat media sosial dengan headline menggunakan nama tokoh tersebut.
Tari menyinggung hal tersebut dan mencontohkannya dengan kasus korupsi Bupati Kotawaringin Timur (Kotim), yang masih hangat terjadi beberapa minggu lalu dan merugikan triliunan uang negara. Sementara masih banyak orang yang belum tahu banyak atau menaruh perhatian lebih tentang kasus tersebut.
Urgensi Konten dan Framing
Hal yang sama juga diungkapkan oleh desainer sekaligus redaktur di media indonesiabaik.com, Edy Pang menurutnya, banyak media mainstream saat ini yang hanya meliput berita kasus korupsi saat baru saja terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK. Pendapatnya bahwa hal tersebut tak lain karena adanya framing pemberitaan yang dibawa ke arah politik, bukan menitik beratkan pada besarnya kerugian yang mereka perbuat.
“Kalau isunya itu KPK baru saja menangkap koruptor, media mainstream iya banyak yang memberitakan. Hanya saja masalahnya saat ini adalah karena isu ini dibawahnya ke ranah politik jadi terkadang ada yang sebetulnya isu korupsi, tapi sayang sekali kadang korupsi-korupsi yang jumlahnya besar kemudian pemberitaannya kurang berimbang,” ujarnya, Minggu (17/02).
Saat ditemui di tempat yang sama, Edi pun menyarankan bahwa penting pula bagi seseorang untuk memperhatikan konten saat memposting di media sosial. Menurutnya hal tersebut agar menarik perhatian, itu diwujudkan dengan menghadirkan kualitas konten yang baik.
“Untuk membuat konten ini menarik caranya yaitu menangkap momen, kualitasnya bagus dan ada pesan yang bisa melibatkan pengguna media sosial. Atau dengan membuat konten yang dekat dengan kehidupan sehari-hari,” jelasnya.
Reporter : Abdul Azis Said
Redaktur : Dhea Amellia