Oleh Fadhilah Rama*
Terdapat sebuah pepatah tua latin yang berbunyi ‘Penem et circuses’, yang artinya ‘roti’ dan ‘sirkus’. Bercerita tentang rakyat Romawi kuno yang menukar keterlibatan dan hak asasi politiknya dengan makanan dan hiburan. Bagi masyarakat tidak ada yang lebih penting dari makanan dan hiburan gratis. Namun hal ini justru menjadi boomerang bagi mereka bahwa biaya hidup, harga makanan, harga sembako, harga listrik, semuanya bergantung pada keputusan politik.
UIN Bandung saat ini sedang disibukkan dengan persiapan akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa setiap PTN wajib melakukan peng-akreditasian pada instansinya masing-masing setiap lima tahun sekali. Setelah berhasil meraih akreditasi B pada tahun 2015 lalu, tahun ini akreditasi kembali dilakukan dengan harapan akan mendapatkan akreditasi A. Maka dari itu pihak kampuspun bergerak dengan cepat mulai dari mempersiapkan seluruh berkas-berkas, memoles gedung-gedung, menambah infrastruktur, dan meminta kerjasama dari kalangan mahasiswa.
Kampus bergerak dengan sangat cepat, dalam hitungan hari UIN Bandung menjadi lebih hijau dan bertumbuh pesat. Bisakah hal ini terjadi bahkan saat diluar kegiatan akreditasi ? maksudnya adalah bekerja sesuai tupoksi dan mentaati waktu yang sudah dicanangkan ketika rapat kerja. Mahasiswa punya deadline, masa sekelas birokrat kampus gapunya.
Kampus terkesan ‘gerak cepat’ hanya karena akreditasi. Ketika dikonfirmasi, mereka berdalih ini memang proyek lama yang belum terealisasi, dan akhirnya tereliasi saat menjelang akreditasi. Apakah harus menunggu saat akreditasi agar birokrat cepat berbenah ? Kampus terlalu mendewakan akreditasi sehingga menihilkan kerja maksimal, seperti berleha-leha karena waktu masih panjang. Mungkin ini sirkus yang coba dipertontonkan pihak birokrat. Sirkus yang cepat, mulus, dan fana. Gagap dalam meningkatkan mutu pelayanan serta sumber daya infrastruktur sebagaimana mestinya hingga menciptakan paceklik berkepanjangan.
Melempem-nya Gerakan Mahasiswa
Menyangkut roti dan sirkus, ada korelasinya dengan kehidupan mahasiswa saat ini. Terjajah secara ekonomi dan terjajah secara mental. Malas mengamati pergerakan politik di negeri sendiri, berpalis muka kepada setiap kebiadabapan tindak politik yang tak berpihak kepada kepentingan publik. Lagi-lagi mahasiswa mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa.
Ketika mengetahui akan ada demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa tepat dihari peng-akreditasian dilakukan dalam rangka mengawal kinerja Rektor selama 4 tahun. Saya bergumam bahwa ternyata mahasiswa masih memiliki taringnya. Namun begitu mengetahui keesokan harinya bahwa demonstrasi dibatalkan karena ada audiensi sebelumnya dengan pihak kampus. Prasangka buruk memenuhi relung pikiran saya. Seperti dua mata sisi uang, mereka mencoba berbagi keuntungan dari sebuah koin politik.
Tan Malaka pernah mengatakan bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda (mahasiswa). Lantas apa yang perlu diagungkan oleh mahasiswa selain idealismenya ? Mahasiswa kembali hipokrit dengan tujuan awalnya. Yang membuatnya seperti tidak memiliki power dan integrasi, seperti ada maunya. Momentum yang tepat untuk mendapat respon yang cepat dari kampus, hangus dengan sebuah audiensi yang belum jelas misinya. Polanya selalu sama, audiensi-selesai, makan bersama-selesai. Demonstrasi tidak pernah berujung kepada penyelesaian yang lugas dan tegas.
Dengan jalur demonstrasilah (salah satunya) mahasiswa mampu menyalurkan aspirasinya. Ketika engkau merasa dirimu biasa-biasa saja, padahal kamu adalah mahasiswa . Sudah sepatutnya merekonstruk kesadaran diri demi menghindari tuna gagasan dan hilangnya idealisme dalam diri. Memang terdengar seperti utopis, tapi percayalah dulu mahasiswa adalah sebuah status atau predikat yang mewah. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menyabet predikat ini. Maka jangan jual idealismu hanya untuk materialistik.
Harus diakui bahwa gerakan mahasiswa saat ini mengalami kemunduran kapasitas. Ketidakmampuan gerakan mahasiswa dalam mengkritisi ideologinya sendiri adalah rahim dari gagalnya pisau analisa mereka dalam memberikan solusi-solusi konkrit. Apakah demonstrasi dlakukan hanya untuk pengembangan kompetensi diri, menambah pengalaman, memperluas koneksi, atau agar disebut kritis dan aktivis saja ?.
Tak dipungkiri birokrasi punya kemampuan untuk melunakkan gerakan mahasiswa, salah satunya adalah dengan memberikan roti. “Berilah rakyatmu roti dan sirkus, maka semua akan baik-baik saja”. Mengalihkan perhatian bahwa momentum juga digunakan hanya untuk menggertak supaya kampus memberikan roti dan ya siapa yang tidak mau roti. Menjadikan mahasiswa hanya sebatas boneka emosional yang berlindung dibalik kebebasan.
Bibit-Bibit Budaya Patronase
James Scott dalam bukunya The Moral Economy of The Peasant mengatakan bahwa hubungan patronase (patron-klien) adalah pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan.
Seorang penguasa (patron) disebut adil ketika tidak membiarkan (memberi bantuan) kepada seorang yang sedang mengalami kesulitan. Sebaliknya, imbal balik dari sikap yang demikian adalah sebuah kebutuhan simbolis atas penghormatan dari para klien terhadap patron-patron mereka. Hubungan simbiosis ini memberi sebuah legitimasi bagi para patron untuk dapat mengendalikan sumberdaya yang ada.
Hubungan-hubungan tidak resmi ini dijadikan modus para petani untuk mengamankan tingkat subsistensi dasar mereka ketika terjadi masa-masa sulit atau gagal panen, dengan harapan mendapat bantuan dari para patron. Dalam hubungan inilah kemudian menciptakan sebuah sistem hubungan normatif tentang makna keadilan.
Patronase adalah bibit dari money politics yang sering terjadi di negara berkembang. Secara kasat mata ini menjadi momok menakutkan di masa mendatang apabila budaya ini masuk ke dalam kampus. Mahasiswa tidak lagi netral dan bebas, melainkan menjadi alat bagi birokrat untuk melanggengkan kekuasaannya.
Mahasiswa sebagai masyarakat berintelektual punya tanggung jawab mengawal kinerja birokrat dan memelihara idealismenya supaya peran dan fungsi murni dari seorang mahasiswa tidak mengalami peyorasi di mata publik. Pun birokrasi harus mampu mengemban amanat yang diberikan dengan tanggung jawab penuh sesuai etika profesi dan etos kerja yang baik. Penulis sangat berharap pengembangan terhadap Kampus Hijau ini bisa dilakukan secara progresif dan sistematis tidak hanya ketika menjelang akreditasi saja.
*Penulis adalah mahasiswa Jurusan Teknik Elektro semester 4 dan merupakan Koordinator PSDM LPM Suaka Periode 2019