Kolom

Panic Buying: Antisipasi Tak Semestinya Kesampingkan Kemanusiaan

Ilustrasi: Shania Anwar/Suaka

Oleh: Siti Hannah Alaydrus*

Mewabahnya virus corona ke beberapa negara menyebabkan banyak dampak, salah satunya dampak sosial. Kepanikan sosial melanda banyak sudut dunia, tak terkecuali Indonesia. Sejalan dengan meningkatnya jumlah kasus terinfeksi Covid-19 atau wabah virus corona, implementasi pengurangan aktivitas juga semakin banyak diterapkan. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Indonesia diliburkan dengan mengubah metode pembelajaran menjadi belajar jarak jauh atau secara daring, beberapa aktivitas ekonomi fisik yang dihentikan, dan tak sedikit perusahaan juga menerapkan bekerja dari rumah (work from home) kepada para karyawannya. Selain itu segala aktivitas peribadatan diseluruh tanah air diimbau untuk ditiadakan sementara waktu.

Selain dampak di atas, dampak sosial lain yang saat ini cukup tersorot ialah terjadinya pembelian massal terhadap komoditas-komoditas esensial seperti kebutuhan pokok, perlengkapan kesehatan dan kebersihan, seperti: masker, hand sanitizer, dan tisu. Banyak orang yang rela mengantre untuk membeli sejumlah kebutuhan pokok dalam jumlah besar. Ada juga yang melakukan penimbunan dengan alasan pemenuhan kebutuhan dalam beberapa waktu kedepan karena terhambatnya aktivitas ekonomi dalam periode tersebut. Fenomena ini dikenal dengan istilah panic buying. Pertanyaannya, apakah penyebab utama panic buying ini? Apakah seluruh hasil penimbunan benar diperlukan sebagai bahan pokok selama isolasi diri ke depan? 

Respon Psikologis Otak terhadap Ketidakpastian           

Dilansir dari BBC News, berdasarkan teori psikologi yang paling umum, panic buying merupakan respons manusia untuk bertahan hidup. Menimbun merupakan cara manusia merespons situasi yang serba tak pasti. Lockdown dan corona adalah dua hal yang tak pasti itu. Sedang dari segi istilah, panic buying berasal dari terminus psikologi. Terminus itu diperkenalkan dalam teori perilaku konsumen. Istilah ini kemudian kerap digunakan secara umum di masyarakat. Panic buying termasuk dalam teori herd behaviour. Yakni teori yang melihat tingkat seseorang yang bergerak secara kolektif dan tanpa komando. Teori ini melihat bahwa manusia tak ubahnya hewan yang bergerak bersama dalam situasi yang tak menguntungkan.

Berangkat dari situ, menurut penulis sendiri, istilah panic buying ini erat kaitannya dengan kehilangan kontrol diri. Pada kondisi ini, bagian otak yang memproses rasa takut dan emosi menjadi aktif. Aktivitas tinggi ini menghambat untuk berpikir rasional. Disaat manusia tak lagi punya kendali atas lingkungannya, mereka akan berupaya sebisa mungkin untuk memiliki kendali. Dalam hal ini, membeli kebutuhan pokok dan menimbunnya jadi semacam cara agar kembali memiliki kendali.  

Panik sendiri bisa timbul karena kecemasan disertai rasa takut yang luar biasa, beriringan dengan timbulnya perasaan bahwa suatu bencana akan terjadi, atau adanya ketidakmampuan untuk mengendalikan diri sekalipun sebenarnya tidak ada sesuatu yang buruk yang benar-benar terjadi. Pembelian massal dalam kurun waktu singkat, sebagai akibat dari kepanikan, turut memberikan dampak pada tingkat kepanikan yang sudah ada. Panic buying merupakan respon psikologis masyarakat yang merasa membutuhkan suatu produk meskipun sebenarnya produk tersebut bukanlah prioritas utama, melainkan untuk menenangkan kepanikan diri. 

Fenomena yang Bukan Hanya di Indonesia          

Di lansir dari kumparan.com,  di Malaysia fenomena panic buying terjadi usai pemerintah setempat memutuskan lockdown atau menutup seluruh akses terhadap negara tersebut. Jauh sebelum Malaysia, Italia sudah lebih dahulu melakukan lockdown pada maret 2020. Tak ubahnya warga Malaysia, warga Italia juga memborong kebutuhan pokok usai PM Giuseppe Conte mengumumkan lockdown. Dalam laporan The Sun, selasa (10/3/2020), disebutkan bahwa rak-rak supermarket kosong melompong, ludes tak bersisa. Antrean pun mengular dengan keranjang yang terisi penuh. Mulai dari daging, makanan cepat saji, hingga tisu toilet.

Di Indonesia, meski tak diberlakukan kebijakan lockdown, melainkan hanya pembatasan sosial, nyatanya panic buying bisa terlihat dengan jelas yaitu terhadap hand sanitizer dan masker. Tidak hanya stok yang menipis, ini juga menyebabkan harga barang melonjak tak karuan. Barang yang semula mudah ditemui, seketika menjadi langka dan serasa benar-benar dibutuhkan. Tak sedikit juga, hal ini menyebabkan kelompok tenaga medis yang sebenarnya sangat membutuhkan hal itu untuk penanganan korban, malah kekurangan. Atau masyarakat yang benar-benar membutuhkan pangan pokok menjadi kehabisan.

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah manusia sungguh begitu egoisnya, walaupun dalam kondisi krisis? Kemana nilai kemanusiaan dan “gotong royong” yang kita agung-agungkan? Ataukah justru, tindakan seperti ini merupakan bentuk rasionalitas yang wajar, dan sejatinya mencerminkan tabiat manusia? Orang membeli masker, makanan, dan barang penunjang kesehatan, atau komoditas lainnya sebagai antisipasi kelangkaan. Dalam kasus ini, sebenarnya sangat masuk akal apabila orang membeli barang karena mereka takut kehabisan. Tetapi, apabila semua orang berbondong-bondong membeli sebelum menjadi langka, bukankah hal itu yang sebenarnya menyebabkan kelangkaan? Hal ini jugalah yang dimanfaatkan oleh para penjual untuk kemudian meningkatkan harga komoditas secara eksponensial yaitu dua hingga tiga kali lipat bahkan lebih dalam jangka waktu yang pendek.

Moralitas Dibunuh Rasionalitas     

Ada sebuah ungkapan yang berbunyi “manusia adalah hewan yang pandai”, dan hal yang membedakan manusia dengan binatang adalah bahwa manusia dapat membuat dirinya berpikir rasional dikarenakan kemampuan kognitif yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, sebagaimana ungkapan “homo est animal rationale” yang artinya ”manusia adalah binatang yang berakal budi”. Namun apakah berarti keputusan yang diambil manusia selalu lebih baik dari binatang? Masker ditumpuk di rumah walaupun orang lain membutuhkannya. Berbagai seruan telah didengungkan untuk tidak menumpuk masker secara berlebihan. Begitu juga dengan beras, sebanyak apapun beras yang dibeli sekaligus, jumlah beras yang dikonsumsi per harinya tidak akan berubah. Lalu apa yang berbeda? Yang berbeda adalah pemanfaatan nilai kegunaan dari barang tersebut. Barang yang seharusnya dapat dipakai pada bulan itu menjadi tidak berguna pada periode tersebut. Hal ini terjadi karena perilaku heuristik dan egoistik manusia yang menunjukkan diri.

Dalam istilah psikologi, heuristik mrupakan metode sederhana untuk membuat keputusan atau menarik kesimpulan dari kemudahan informasi yang asuk ke pikiran secara praktis. Heuristik membantu manusia menyederhanakan keadaan dan menghemat waktu dakam mengambil keputusan, kadang tanpa memperhatikan realita sosial. Dalam hal ini, dengan arus informasi yang cepat dari dunia internasional dan kondisi Indonesia yang ‘terlambat’ mengalami outbreak Covid-19, keadaan yang secara tiba-tiba berubah disandingkan sifat egoistik individu yang merasa kepentingan sendiri lebih besar dari kepentingan sosialnya.

Orang-orang dengan cepat merasa panik atas pandemi yang menghampiri dan merasa harus bersiap-siap untuk mencegah situasi buruk terjadi pada dirinya. Atas dasar antisipasi, tentu kepanikan dianggap wajar dan hal inilah yang mendorong panic buying. Pada keadaan seperti ini, beberapa orang berpikir “bagaimana aku bisa terhindar” tanpa melihat kembali ke realita sosial yang lebih kompleks.

Kontrak Sosial dan Sifat Dasar Kebiasaan Manusia

Manusia pada dasarnya bersifat barbar dan egois, seperti binatang buas yang rela membunuh untuk berebut wilayah atau mangsa. Filsuf Inggris ternama Thomas Hobbes menyatakan bahwa kondisi alamiah manusia adalah “Bellum omnium contra omnes,” di mana manusia terus menerus saling berperang dengan tujuan utama kepuasan diri. Namun kondisi tersebut sangat berisiko, sehingga muncul dorongan kolektif untuk mengesampingkan kepentingan individu, untuk berdamai dan bekerja sama dengan membentuk “kontrak sosial” demi kepentingan bersama dan keuntungan yang lebih besar.

Kontrak sosial memberi batasan terhadap ambisi manusia untuk mengambil keuntungan maksimum secara individu dengan menyesuaikan dengan realita yang ada demi meraih suatu keuntungan yang hanya bisa diraih secara kolektif. Kontrak sosial yang paling umum di masa sekarang adalah sistem regulasi pemerintahan. Kebiasaan dan kebudayaan yang telah lama mengikat masyarakat dalam berperilaku dan mengambil keputusan juga merupakan kontrak sosial.  Stereotip mengenai masyarakat Indonesia yang bergotong royong dan saling membantu juga merupakan kontrak sosial. Namun apa yang terjadi saat Covid-19 datang? Kontrak sosial kehilangan kuasanya karena realita telah berubah. Meningkatnya risiko di masyarakat akibat informasi yang asimetris membuat masyarakat hidup dalam ketakutan, takut akan ketidakpastian di masa depan.

Pengaruh Media dan Ketidakpercayaan terhadap Pemerintah

Kasus yang meningkat cukup drastis, kabar kematian yang terus terdengar setiap harinya, serta semakin melonjaknya harga-harga komoditas terkait yang terus menerus disebarkan mendorong orang untuk mengantisipasi. Kabar yang disebarkan media inilah yang memperkuat perasaan individu terhadap adanya kelangkaan dan keadaan mendesak. Tentu hal ini juga yang semakin mendorong fenomena panic buying.

Simpang siurnya informasi yang sampai pada masyarakat, ditambah tindakan Menteri Kesehatan yang kurang efektif dalam menangani pandemi ini membuat kepercayaan masyarakat turun terhadap jaminan dari ‘kontrak sosial’ mereka, yaitu pemerintah. Keuntungan yang ditawarkan ‘kontrak sosial’ melemah dan manusia melindungi diri sendiri. Akibatnya, anjuran pemerintah untuk “jangan panik” pun terabaikan. Sebagaimana presiden Jokowi telah memposting sebuah ilustrasi di akun intagramnya dengan keterangan mengarah pada imbauan “jangan panik dan kehilangan rasa kemanusiaan” namun tetap tak berdampak banyak.

Solidaritas adalah Kunci

Pada akhirnya, kita harus sadar bahwa himbauan pemerintah untuk social-distancing hanya berlaku secara fisik. Sedangkan secara prinsip, kepedulian dan kerja sama kita harus kuat untuk menghadapi pandemi Covid-19 ini. Panic buying merupakan salah satu fenomena yang wajar terjadi dalam krisis seperti ini, namun bukan berarti benar. Sadar tidak sadar, dengan kita hanya “melindungi diri sendiri” akan ada banyak orang pula yang merasa “berjuang sendirian” untuk melewati pandemi ini. Di garda terdepan, contohnya. Ada banyak tenaga medis yang kekurangan, salah satunya terkait Alat Pelindung Diri (APD). Kalau dipikir, mereka sudah kewalahan dengan berjatuhannya korban, haruskah mereka juga merasakan kelangkaan barang-barang esensial? Disaat orang-orang bisa berbelanja untuk memenuhi kebutuhan mereka selama isolasi, mereka bahkan untuk sekadar tidur, makan dan minum pun tak punya banyak waktu.

Fenomena seperti panic buying menunjukkan bahwa kondisi wajar manusia sebagai makhluk rasional, namun egois apabila tidak terkontrol. Sifat tersebut dapat berujung kehancuran untuk seluruh masyarakat secara kolektif. Dalam masyarakat yang kapitalistik dengan nilai-nilai kolektif yang lemah, warga sepertinya belum dapat dibebaskan untuk bertindak baik dan beradab dengan sendirinya, terutama pada masa krisis. Pada kondisi ini, kontrak sosial yang kuat dibutuhkan untuk meyakinkan agar masyarakat tetap tenang dan kondusif. Sejatinya, kita hanya akan bisa menghadapi krisis bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Antisipasi boleh, tapi jangan pikirkan diri sendiri. Panik adalah wajar, tapi jangan sampai kewajaran itu menghilangkan nilai kemanusiaan dalam diri kita. Siapalah manusia, jika hanya bergelut pada egoisme dan ingin ‘menang’ sendiri? Siapalah kita, jika untuk merasakan empati pun sudah tak bisa?

*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Manajemen Keuangan Syariah semester empat dan Anggota Magang LPM Suaka 2020

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ke Atas