Oleh: Faiq Rusydi*
“Aku adalah anak zaman yang lahir dari rahim seorang perempuan.
Perempuan yang melilit benang rajut dari tumit sampai ubun.”
….
21 April diserenadekan buat R. A. Kartini
Ia hempas pada 25 tahun pijakan bumi
Silih 4 surya mengendus kening sang buah hati
Sewaktu muda
Ia serukan tinggi maha kepada rani
Ia punyai semangatnya utuh ke penjuru nadi
Abadi sekarang dalam genang mata putri indie.
Tapi, adakah mungkin ia dapati buah pikir beda
Jika buah hati wujud dalam nafas tiap geraknya?
Gontai langkahnya kubayangi
di tiap angin yang mengangan
Mengapa 21 April cuma buat R. A. Kartini?
Mengapa bukan Dewi Sartika-Cut Nyak Dien?
Kenangkanlah Nagarawarddhani dari Wirabhumi
Pun Kusumawardhani; ia lebih tinggi duduknya dari sang suami
Juga Sanggramawijaya Tunggadewi
yang memilih menjadi terpelajar
Kutandaskan; wanita dan pria punya kesejajaran dalam Sansekerta
Toh, kedudukan dan peran tak selalu sama.
Kenangkanlah lagi,
1300 tahun sebelum R. A. Kartini dengan emansipasinya
Kalingga berdiri dengan Ratu Shima-nya
Naik ia ke tampuk 674 Masehi
Berkatnya, Jawadwipa dapati reputasi yang apik
Terpatri dalam catatan Dinasti Ming
Marsinah muncul jauh kemudian tanpa tampuk
Tanpa kekuatan dan tanpa ketakutan
Marsinah berdiri dalam tongak dan kokang.
Entah, anak zaman sepertiku suka pandai berceloteh
Bergumam gurau tajam di pandangan yang tua
Menyenandung yang aneh-aneh.
….
Adakah yang tahu, siapa yang merajut?
Sesaat fajar telah menyingsing
Berlaksa terimakasih pada perempuan negeri ini kuhatur.
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Sejarah Peradaban Islam semester dua dan anggota magang LPM Suaka 2020